363Pagi itu, suasana meja makan yang biasanya hangat mendadak canggung. Nuri duduk diam di samping Bastian.“Nuri, kalau kamu benar-benar mau sekolah lagi, kita kembali ke Jakarta.” Ucapan Bastian tegas, tak memberi ruang untuk penolakan. Matanya menatap lurus ke arah Nuri, seolah menuntut jawaban yang cepat.Nuri menelan ludah, tak yakin harus menjawab apa. Bastian mendadak kasar, dan itu di depan semua keluarganya. Apakah ucapannya tadi salah? Sungguh, ia tidak ingin kembali ke Jakarta. Ia merasa nyaman tinggal di sini. Kehangatan keluarga ini berbeda, membuatnya merasa diterima.Nuri memberanikan diri menatap wajah suaminya yang merah padam, sangat kontras dengan kulit putihnya.Namun, sebelum Nuri sempat memberikan jawaban, Richard menyela, "Bas, tenanglah. Jangan terburu-buru mengambil keputusan. Mungkin semua tidak seperti yang terlihat. Mungkin Nuri hanya terbawa suasana karena melihat Karin yang setiap hari memakai seragam sekolah. Tapi, kalaupun Nuri ingin mengambil paket, k
364Nuri berdiri terpaku di pantai, napasnya tercekat saat melihat Bastian yang langsung berbalik tanpa sepatah kata. Tubuhnya terasa beku, bukan hanya karena angin malam dan air hujan yang dingin, tetapi juga karena kecemasan yang merayap perlahan.Tangan Andra masih menggenggam pergelangan tangannya, tapi Nuri segera menarik tangannya, menyadari bahwa situasinya semakin buruk."Aa..." bisik Nuri, suaranya teredam oleh deburan ombak dan hujan yang semakin deras.Tanpa berpikir panjang, Nuri berlari mengejar Bastian yang sudah menjauh. Hatinya dipenuhi kekhawatiran, takut Bastian salah paham. Hujan membasahi tubuhnya, namun ia tak peduli. Bastian harus tahu bahwa ia tak bermaksud seperti ini. Hanya butuh sedikit penjelasan, hanya itu yang ia harapkan."Aa, tunggu!" seru Nuri, namun Bastian tak menoleh. Langkah-langkah kakinya semakin cepat, seolah ingin melarikan diri dari apa yang baru saja dilihatnya.Nuri berlari, meski napasnya mulai tersengal-sengal. Sandal yang dikenakannya hamp
365Bastian berdiri di depan jendela kamarnya, memandang pemandangan kota Jakarta dengan segala kesibukannya. Tangannya masih menggenggam ponsel. Ia sedang menelepon Richard, dan hatinya terasa lebih ringan. Sungguh, walaupun sudah dewasa dan memiliki keluarga, ia sangat membutuhkan sosok ayah yang bisa menuntunnya ke jalan yang benar, seperti Richard."Terima kasih, Pak. Aku tahu Bapak sengaja mengirim Andra ke Yogyakarta bukan cuma untuk kuliah. Bapak pasti paham kalau Andra punya perasaan sama Nuri," kata Bastian yakin.Richard hanya tertawa kecil di seberang, nada suaranya tenang tapi tegas. "Bapak cuma ingin semuanya berjalan dengan baik dan normal. Bapak sudah sangat bahagia kamu mau menerima Bapak, dan kita bisa berkumpul. Bapak ingin semua anak-anak Bapak rukun dan saling menyayangi. Bapak tidak ingin kehilanganmu lagi, tapi juga tidak mau Andra kecewa. Rasanya, ini jalan terbaik untuk kalian."Bastian menahan napas mendengar ucapan sang ayah yang mencoba netral. Jika menuruti
366Nuri tertegun. Suara lembut Bastian menghantamnya lebih kuat daripada apa pun. Ia menunggu, siap menghadapi ledakan kemarahan, tetapi yang ia dapatkan hanyalah ketenangan. Suaminya tidak marah. Bastian hanya menatapnya dengan mata yang tenang, seolah-olah semua masalah yang ia takutkan tidak pernah ada.“Aa nggak marah?” Nuri memberanikan diri bertanya dengan takut-takut, suaranya terdengar gemetar.Bastian diam, membuat Nuri tidak sabar menunggu jawabannya, hingga sang suami mengangkat alisnya sedikit. Lalu menyimpan ponsel Nuri kembali ke nakas.“Apa menurutmu aku harus marah?” Lelaki itu malah balas bertanya sambil memiringkan kepalanya.Nuri menunduk dalam, kedua tangannya saling bertaut. Seharusnya dan biasanya memang akan marah. Namun...“Itu hanya perasaan sepihak, kan? Hanya Andra yang menyukai kamu, kan? Atau kamu juga—”“Enggak, A...!” Nuri mendongak dan menggoyangkan tangan. Wajahnya memucat. “Saya bersumpah tidak memiliki perasaan apa pun sama dia. Dia adik Aa, mana mu
367Bastian berdiri terpaku di ambang pintu, kakinya seolah terpasung di lantai. Pemandangan di hadapannya membakar dadanya, membuat napasnya mendadak sesak. Hawa dingin pagi yang menyusup melalui lorong apartemen sama sekali tak mampu meredam panasnya. Pandangannya terfokus pada tangan Andra yang melingkar di bahu Nuri, seolah mengukuhkan kedekatan yang begitu menusuk perasaannya.“Nuri...” Bastian berbisik, lebih kepada dirinya sendiri, merasakan gelombang kemarahan yang seketika mendidih.Nuri dan Andra sama-sama tersentak, berbalik mendapati Bastian yang berdiri dengan tatapan tajam, sorot matanya dingin, penuh dengan kekecewaan yang terpendam lama dan akhirnya pecah seketika.“Aa…,” Nuri berlari menghampiri Bastian setelah berhasil menguasai dirinya. Namun, tubuhnya hanya dilewati pria yang sudah dikuasai amarah itu. Bastian berjalan dengan langkah tegas menuju Andra yang terpaku di lorong apartemen. Kedua tangannya yang mengepal kuat bergerak kaku di samping tubuhnya.“Aa…,” Nur
368Kedua tangan Bastian kembali mengepal kuat. Wajahnya yang sempat tenang kini kembali memerah dan tegang. Andai bukan karena gelengan Nuri yang menunjukkan ketakutan dan tatapan memohon dari Samudra agar ia tetap tenang, wajah Andra yang sudah babak-belur itu mungkin akan dibuatnya semakin tak berwujud.Bastian menahan napas, padahal dadanya sudah naik-turun dengan cepat."Aa..." Nuri mendekat. "Jangan dengarkan dia. Dia hanya mengada-ngada. Itu sama sekali tidak benar. Aa tahu saya hanya menyukai Aa." Wajah Nuri pucat, sorot ketakutan terpancar jelas. Tangannya meraih tangan Bastian."Saya hanya menganggapnya sebagai adik. Tidak lebih," lanjut Nuri mengiba. "Kalaupun tadi saya menemuinya, itu karena dia bilang mau pamitan sebelum ke Yogya. Kami tidak sempat bertemu sebelum kita kembali ke sini." Suara Nuri terdengar lirih dan bergetar."Sungguh, kalau saya tahu akan seperti ini, saya akan membangunkan Aa saat dia menelepon dari depan pintu. Aa, percayalah pada saya. Dia gila kalau
369Bastian mengusap wajahnya setelah mengembuskan napas berkali-kali. Laki-laki itu duduk di sofa dengan wajah menunduk, kedua siku bertumpu di atas pahanya.Suara langkah ayah dan adiknya semakin memudar di kejauhan, membawa kelegaan sekaligus kepedihan yang menyatu dalam dadanya. Rasa lelah dan berat di dadanya mulai bergulir. Ia tahu, sejak saat ini, hubungan dengan keluarga tidak akan sama lagi.Ia yakin, meski tadi sudah menjabat tangannya karena paksaan sang ayah, Andra tidak akan begitu saja melupakan semua ini. Dan Richard? Bastian sangat yakin bahwa mulai saat ini pria itu akan membatasi diri dalam memberikan kasih sayang dan perhatian padanya karena khawatir menimbulkan kecemburuan dari anaknya yang lain.Padahal Bastian sudah sangat bahagia memiliki keluarga. Siapa sangka kebahagiaannya harus diwarnai dengan drama kecemburuan dari adiknya yang berlanjut dengan percobaan merebut istrinya.Sebuah tepukan mampir di pundak Bastian. Sentuhan itu seperti jangkar yang membawanya
370Paris menyambut dua keluarga itu dengan segala pesonanya yang melegenda. Bastian, Nuri, Samudra beserta Mentari dan juga si kembar, turun dari taksi di depan hotel bergaya klasik yang berada di jantung kota.Gedung hotel itu berarsitektur ala Eropa kuno dengan detail balkon berornamen besi tempa dan jendela besar berbingkai kayu putih. Setiap sudutnya tampak seperti lukisan, begitu indah dan romantis. Paris memang terkenal dengan pesona abadinya, dan hari itu, senyum tak pernah lepas dari bibir Nuri.Wanita mungil itu langsung membulatkan mulutnya. Tak henti-henti ia mengagumi kota mode itu semenjak menginjakkan kaki di bandara Charles de Gaulle tadi.“Aa….” Nuri memekik seraya menyatukan kedua tangannya yang terkepal di depan dada. Tubuhnya sedikit membungkuk. “Kita benar-benar di Paris, ya?” tanyanya polos tanpa melihat Bastian karena pandangannya terus menyapu seluruh sudut kota.Bastian tersenyum. Pun dengan Samudra dan Mentari yang ikut mendengar. Antara bahagia yang Bastian