354Malam ini, Bastian duduk di halaman belakang kediaman Hanggara, memandangi api yang menyala dari dalam drum yang terbuka. Di sebelahnya, Nuri berdiri diam, memperhatikan suaminya dengan tatapan penuh pengertian.“Aa yakin?" tanya Nuri, memecah keheningan.Bastian menarik napas panjang, matanya menatap api yang perlahan melahap kayu-kayu kecil yang telah disusun dengan rapi. "Jika aku tahu ini sejak awal, tentu aku sudah melakukannya sejak dulu," jawabnya pelan.“Dulu, saat Novita pergi ninggalin aku, kodisiku sangat mengenaskan, Nur. Aku gila, aku hancur, mana sempat memikirkan ini.”“Aa hancur karena ditinggalin Novita?” tanya Nuri lagi dengan kening berkerut. Hatinya tak urung cemburu. Sebegitu hancurnyakah Bastian ditinggalkan Novita? Secinta itukah suaminya pada mantan istrinya itu?Bastian tersenyum tipis dengan tatapan masih terfokus api yang menyala. “Bukan, bukan karena Novita pergi, walaupun jujur saat itu aku ingin dia tetap di sampingku.”“Lalu, kenapa Aa sehancur itu?”
355Malam ini, Mentari berdiri di depan cermin besar yang tergantung di kamar hotelnya, memindai pantulan dirinya dengan gaun panjang berwarna emerald yang elegan. Gemerlap kristal kecil menghiasi beberapa bagian gaunnya, memantulkan kilauan cahaya lembut dari lampu gantung di langit-langit kamar. Pasmina warna senada, membingkai wajah cantiknya yang dipoles make up flawless.Ia menghela napas, berusaha menenangkan debar jantung yang tak kunjung berhenti sejak pagi. Sebenarnya ia tidak nyaman berpenampilan terlalu glamour, tapi sang suami –Samudra, mengatakan jika dirinya tidak boleh kalah dengan mereka, karena ia pun bintang malam ini.“Aku tidak percaya ini...,” bisiknya pada dirinya sendiri sambil memejam dan memegang dadanya.Samudra yang baru dari kamar sebelah, melangkah masuk. Pria itu tampak gagah dalam setelan hitamnya. Matanya yang tajam namun penuh kehangatan menatap Mentari dengan bangga. Dia meraih tangan sang istri, lalu mencium punggung tangannya lembut.“Kamu sudah sam
336Mentari tertegun, matanya masih terpaku pada sosok yang berdiri di antara hiruk-pikuk kesibukan malam itu. Bima. Pria yang pernah menjadi bagian dari masa lalunya, pernah mengisi kekosongan hatinya selepas ditinggalkan Samudra. Pernah sangat dekat bahkan lebih dari jarak hati dan jantung. Pernah mewarnai hari-harinya yang hampa. Bahkan menjadi ayah pertama untuk si kembar karena ia laki-laki pertama yang dikenal kedua anaknya.Kini, sosok itu kembali muncul di depan matanya. Tentu saja, bukankah pencapaiannya ini atas jasa Bima? Tanpa jasa Bima, mungkin ia tidak akan menjadi bintang malam ini.Langkah Mentari yang terhenti, membuat Samudra yang masih menggenggam erat tangannya menyadari ada sesuatu yang tak beres. Ia mengikuti arah pandangan Mentari, hingga menemukan sosok pria tinggi berwajah teduh yang juga tampak menatap mereka dari kejauhan.“Kenapa berhenti, Sayang?” Samudra bertanya pelan, nadanya masih tenang meski mata tajamnya menyiratkan kekhawatiran.Mentari mencoba men
357Mentari duduk di kursi penumpang, menghela napas panjang sambil memandang jalanan yang sepi di luar jendela mobil. Udara sejuk dari mesin pendingin yang seharusnya menyejukkan terasa begitu berat, seolah memikul segala kecamuk di dalam dadanya. Samudra di sebelahnya, mencengkeram kuat handel stir, tak mengucapkan sepatah kata pun sejak mereka meninggalkan acara itu. Malam yang seharusnya indah, berujung kecanggungan.“Kamu marah?” Samudra akhirnya memecah keheningan, suaranya rendah namun ada nada kekhawatiran yang kentara.Mentari tidak langsung menjawab. Matanya masih tertuju pada lampu jalan yang berlarian di sepanjang jalan. Mobil membawa mereka kembali ke hotel. Pikirannya bercampur aduk, antara kesal, jengkel, dan sedikit tersinggung.“Aku tidak marah, Mas.” Nadanya datar, namun jelas sekali itu bukan sekadar jawaban asal. “Aku hanya tidak suka kamu cemburu dengan hal-hal yang tidak perlu.”Samudra tersenyum kecil, meski hatinya tertekan. “Tidak perlu? Kamu tahu Mas sejak du
358Bastian duduk di jok belakang mobil, bersebelahan dengan Samudra. Jalan menuju Pantai Cimaja Sukabumi –tampak lengang, hanya sesekali mobil lain melintas, mengingat ini bukan akhir pekan atau hari libur. Angin pantai yang segar mulai terasa di udara meskipun mereka masih beberapa kilometer dari tujuan.Bastian merasakan hatinya sedikit gundah. Bagaimanapun, ia tidak mengenal Richard selama hidupnya. Pertemuan mereka baru terjadi sekali di rumah sakit. Baginya, cukup sulit menerima pria yang baru datang dalam hidupnya dan langsung mengaku sebagai ayah.Namun, setelah perenungan panjang yang memakan waktu lumayan lama, nasihat Samudra dan juga dukungan Nuri, akhirnya ia memutuskan ingin menyambung tali silaturahmi dengan pria bule itu. Mungkin, meski tidak bisa langsung menerima sebagai ayah kandung, mereka bisa menjalin hubungan layaknya seorang teman.Sepertinya apa yang Nuri pikirkan benar adanya. Ia beruntung masih memiliki keluarga di dunia ini. Bukankah keluarga adalah harta y
359Bastian mengusap wajahnya dengan kasar. Mengingat kematian tragis sang ibu tak lama setelah keributan besar di rumah Hanggara, memang menyesakkan dada. Lebih sesak karena ia yakin pelakunya adalah Benny, yang merasa tertipu oleh Esther. Namun, Bastian tidak mungkin mengatakannya kepada Richard. Terlebih Benny juga sudah meninggal dengan mengenaskan, setelah hidupnya tersiksa oleh penyakit yang menggerogoti tubuhnya.Ia hanya bisa menangis dalam batin jika mengingat nasib keduanya. Bagaimanapun, mereka adalah orang tua yang telah membesarkannya dengan limpahan harta. Bastian pernah merasa sangat bahagia menjadi anak Benny dan Esther. Biarlah kematian Esther menjadi rahasianya saja. Ia pun tidak meminta polisi untuk mengusutnya. Bastian hanya bisa berdoa agar dosa keduanya diampuni.Bastian terdiam cukup lama setelahnya, mencoba memproses setiap informasi yang Richard sampaikan. Ternyata, ayahnya yang selama ini dianggap pergi tanpa peduli, bahkan tidak tahu bahwa dirinya hadir ke d
360Ruangan serba putih, aroma obat-obatan, dan hiruk-pikuk rumah sakit sepertinya belum bisa mereka tinggalkan jauh. Rasanya baru kemarin Nuri dan Bastian meninggalkan tempat berpusatnya segala kegiatan medis itu. Namun, kini mereka harus kembali akrab dengan tempat itu.Di atas tempat tidur pasien, Nuri terbaring lemah. Matanya menatap kosong ke langit-langit, seolah tak mampu merasakan apa pun lagi. Tangisnya telah mengering, tetapi hatinya masih terasa remuk.Bagaimana tidak? Ia harus menerima kenyataan bahwa janin yang baru beberapa minggu bersarang di rahimnya kini telah tiada. Calon anak yang sempat membuat hidupnya berbunga karena akan menjadi seorang ibu, telah berpulang bahkan sebelum sempat ia berbentuk manusia.Rasanya tidak berlebihan jika dirinya tak lagi memiliki semangat hidup setelah tahu bahwa calon anaknya telah gugur dini. Rasa bersalah selalu menghantui karena ia tidak bisa menjaga anak itu. Menjaga anak Bastian. Padahal, sang suami sudah berkali-kali meyakinkan b
361Rumah itu terletak tak jauh dari pantai, tempat angin laut lembut sesekali berhembus masuk melalui jendela yang terbuka. Udara di dalamnya terasa hangat, bercampur dengan aroma asin lautan. Dinding-dinding rumah tersebut sudah lama akrab dengan terpaan cuaca pantai, namun tetap berdiri kokoh, memberikan kehangatan tersendiri bagi para penghuninya.Rumah itu adalah milik keluarga Richard, di mana lima minggu ini Bastian dan Nuri ikut tinggal di sana, di sebuah kamar yang terletak di samping bangunan utama.Di dapur, Nuri dan Sari sibuk menyiapkan makan malam. Suara berirama dari pisau yang mengiris sayuran dan panci yang bergemerincing menciptakan melodi sederhana, selaras dengan tawa ringan dan obrolan santai di antara mereka. Nuri sesekali menyeka keringat di dahinya, meski senyumnya tak pernah hilang. Sementara Sari terlihat tenang, dengan gerakan tangan yang cekatan saat mengaduk sup dalam panci besar. Keduanya bekerja harmonis."Masakan Ibu enak, pantas Bapak tidak mau pulang