339"Apa yang kau pikirkan, Bas? Kenapa harus membawa Novita ke rumahmu?" Suara Samudra meski tidak keras, tetapi sarat kekesalan. Pria itu berdiri di depan Bastian dengan sorot mata tajam yang penuh dengan kemarahan. Masalah yang bertumpuk, membuatnya lepas kontrol, hingga sulit mengendalikan diri.Di hadapan Samudra, Bastian hanya bisa menunduk dengan ekspresi penuh penyesalan. Tadi ia langsung mendatagi pamannya itu di rumahnya karena mengkhawatirkan Nuri."Bodohnya kamu, kenapa kabur dari rumah sakit, Bas? Apa kamu tidak memikirkan kesehatanmu? Kakimu itu kalau tidak segera dioperasi, bisa fatal akibatnya. Kamu mau hanya memiliki satu kaki?”Bastian mengangkat pandangannya, menatap Samudra dengan mata yang berkaca-kaca. Tubuhnya tampak lemas, jelas menunjukkan bahwa ia menyesali keputusannya. "Aku ... aku hanya merasa hidupku tidak lagi berarti jika tanpa Nuri di sisiku, Om. Aku merasa tidak ada gunanya lagi aku hidup, tidak perlu juga aku sembuh jika dia tidak mau kembali.”Samud
340Samudra melangkah mendekat, suaranya semakin rendah karena lelah, "apa kamu punya bayangan siapa yang menculik istrimu?” tanyanya sambil menatap lekat.“Tidak mungkin Novita kan, Om? Dia ada di rumahku.”Samudra mendengus kasar. “Semua kemungkinan bisa terjadi, Bas. Jangan terlalu naif. Kamu tahu pasti siapa mantan istrimu itu.”Bastian memejam. Ya, ia terlalu bodoh untuk tidak bisa melihat keadaan. Masih juga percaya jika Novita dan ibunya layak dikasihani, nyatanya … mereka memperdaya.“Apa Novita dan Yulia sengaja menjebak kita, Om? Atau hanya Novita yang licik di sini? Ia sengaja membuang ibunya pada kita agar tak perlu mengurusinya lagi?”“Sudahlah, kita fokus mencari Nuri saja saat ini. Urusan Novita aku sudah meminta pengacara mengurusnya.” Samudra mengibaskan tangannya dengan lelah.Bastian mengangguk. Ia memang tidak bisa melakukan apa pun untuk saat ini tanpa Samudra. Semua ia serahkan pada pria itu. Apalagi untuk mencari Nuri. Karena dirinya jangankan memiliki kekuatan
341Bastian duduk tegang di dalam mobil yang terus melaju menembus hujan deras. Gemuruh hujan di atap mobil terdengar seperti detak jantungnya yang berdegup kencang. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, meski udara di dalam mobil terasa beku."Nuri...," bisiknya pelan, seolah menyebut nama istrinya akan membawa keberuntungan.Hamish menoleh padanya dengan ekspresi tenang seperti biasa. "Kita sudah dekat, Bas. Tenanglah. Orang-orang kita sudah memberi sinyal, mereka membawa Nuri ke kampungnya.” Mengerti dengan apa yang dirasakan Bastian saat ini, Hamish berujar."Kampung Nuri? Jadi benar yang membawa istriku si Jaya?" tanya Bastian, matanya membulat. Hatinya terasa mencelos mendengar itu. Ia tahu betul jika pamannya Nuri memang berambisi membawa Nuri pulang karena merasa wanita yang sudah ia nikahi itu tak lagi memberikan keuntungan untuknya.Dan Bastian sangat tahu ke mana Nuri akan dibawa. Ke tempat di mana para hidung belang datang untuk bersenang-senang. Untuk membeli kehangatan
342Hamish berjalan santai dan penuh percaya diri. Seorang pengawal menyertainya, hingga mereka terlihat benar-benar natural. Hamish seolah hidung belang yang diantar asistennya untuk menyewa seorang wanita di dalam sana.Selama berjalan menuju bangunan itu, matanya meneliti suasana sekitar dengan cepat. Di depannya, bangunan besar tapi kumuh yang menjulang tampak lebih mencolok dengan lampu-lampu neon yang berkedip-kedip, menyembunyikan kotoran dan keserakahan yang bersemayam di dalamnya. Hamish menarik napas dalam-dalam, bersiap untuk memainkan perannya. Ia tahu, bukan hanya rencananya yang dipertaruhkan, tetapi hidup Nuri yang diamanahkan Samudra padanya.Di dalam mobil, Bastian menggenggam kedua lututnya begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Matanya terus memperhatikan pergerarakan Hamish yang begitu luwes hingga asisten Samudra itu kini disambut beberapa orang bertubuh besar dengan tato memenuhi seluruh kulitnya.Tampak dari sini, Hamish bicara dengan orang-orang itu, seb
343Hamish berkedip lemah dan lama, memberi isyarat pada Nuri yang jelas masih terkejut dan kebingungan melihatnya di sana. Setelahnya pria itu menatap tajam, penuh makna, seolah berkata, "Jangan sebut namaku, berpura-puralah tidak mengenalku."Nuri menggigit bibirnya untuk menahan tangis yang tetiba mendesak ingin keluar. Dadanya mendadak penuh, entah oleh apa. Ingin rasanya ia menghambur memeluk pria seumuran Samudra itu saking senang melihat seseorang yang dikenalnya di sana. Baginya saat ini, Hamish laksana malaikat yang bisa menyelamatkan hidupnya meski belum tahu untuk apa pria itu berada di sana.Untunglah Nuri segera menangkap kode Hamish dengan cepat. Tangannya masih terbelenggu oleh dua pria bertubuh kekar yang memaksanya mendekat ke Hamish.“Barang bagus, kan?” Mucikari berkomentar sambil tertawa lebar. Memperlihatkan deretan giginya yang sudahlah tidak rapi, berwarna kuning kecoklatan pula. “Baru aja datang, Bos. Jadi masih agak liar. Tapi tenang, sekiranya Bos kewalahan,
Bab 1“Bastian, ahhh … lebih cepat lagi–”Aku menajamkan pendengaran begitu tiba di depan pintu kamar Bastian, calon suamiku. Suara-suara aneh dari dalam sana membuat bulu di tubuh ini meremang.“Bas–oh ....”Aku tidak tahan lagi, tubuhku mendadak bergetar hebat karena mendengar suara-suara itu. Suara-suara khas sepasang manusia yang tengah mengarungi lautan kenikmatan.Brak!Kudorong pintu ruangan itu dengan kuat hingga dua orang yang tengah bergumul di atas sofa sontak terperanjat.Sepasang manusia tidak tahu malu itu kompak menoleh ke arahku.Si lelaki langsung loncat menarik diri dari atas tubuh wanitanya dengan gelagapan. Disambarnya bantal sofa untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Sementara wanitanya bukan melakukan hal sama, melainkan dengan tidak tahu malu melemparkan senyum penuh kemenangan padaku.Raut puas sangat kentara di sana–aku bisa melihatnya dengan jelas. Ia bahkan membusungkan dadanya seolah ingin menunjukkan padaku jika tubuhnya baru saja dinikmati calon suamiku.
Bab 2Aku menelan ludah dengan susah payah. Pandangan tajam ini mengabur dengan sendirinya karena kaca-kaca yang mulai menutupi bola mata.Sumpah demi apa pun, hatiku sakit. Sakit karena pengkhianatan Bastian dan Novita, juga karena ucapan busuknya.Aku ingin lebih memaki, tetapi rasanya percuma.Akhirnya aku membalikkan badan tanpa berkata-kata lagi. Lalu membawa kaki ini melangkah keluar. Meninggalkan ruangan yang baru saja digunakan perbuatan terkutuk manusia-manusia laknat itu.“Ini salahmu, kenapa tidak mengunci pintunya?”Langkahku terhenti di depan kamar saat mendengar suara Bastian. Walaupun tidak jelas karena diucapkan dengan mendesis, tetapi telingaku cukup baik menangkapnya.“Mana aku tahu dia mau ke sini?” Itu Novita yang menimpali. “Sudah kubilang lebih baik ke hotel seperti biasa. Tapi kamu malah mau di sini. Salahku di mana?”“Sial!” Bastian mengumpat.Aku memejam dengan kuat. Satu kesimpulan yang dapat diambil dari dialog singkat mereka, jika ini bukan yang pertama dan
Bab 3“Lelucon macam apa ini, Nek?” Bastian yang sekian detik lalu tersentak, kini berdiri. “Bagaimana bisa aku digantikan Om Sam, si laki-laki payah itu?” Lelaki itu melayangkan protes.“Tutup mulutmu, Bas!” Nenek Widya tampak tidak suka dibantah. Matanya melebar walaupun tetap bergaya anggun dan elegan. “Keputusan Nenek sudah bulat. Pernikahan tidak mungkin dibatalkan karena perjodohan ini amanah kakekmu dan kakeknya Mentari. Nenek harus memastikan amanah ini terlaksana sebelum Nenek meninggal.”“Tapi kenapa aku harus digantikan Om Sam, Nek? Dia itu laki-laki payah. Aku yakin dia tidak ingin menikah seumur hidupnya. Dia tidak menyukai perempuan!”“Tutup mulutmu, Bastian Hanggara!” Nenek Widya kembali menegur. “Jika memang kamu tidak bersedia Mentari menikah dengan pria lain, seharusnya kamu jaga sikapmu dan tidak mencoreng nama keluarga seperti ini!”Rahang Bastian mengeras, sementara wajahnya memerah.“Aku tetap tidak terima, Nek.” Bastian terus melayangkan protesnya dengan keras.