343Hamish berkedip lemah dan lama, memberi isyarat pada Nuri yang jelas masih terkejut dan kebingungan melihatnya di sana. Setelahnya pria itu menatap tajam, penuh makna, seolah berkata, "Jangan sebut namaku, berpura-puralah tidak mengenalku."Nuri menggigit bibirnya untuk menahan tangis yang tetiba mendesak ingin keluar. Dadanya mendadak penuh, entah oleh apa. Ingin rasanya ia menghambur memeluk pria seumuran Samudra itu saking senang melihat seseorang yang dikenalnya di sana. Baginya saat ini, Hamish laksana malaikat yang bisa menyelamatkan hidupnya meski belum tahu untuk apa pria itu berada di sana.Untunglah Nuri segera menangkap kode Hamish dengan cepat. Tangannya masih terbelenggu oleh dua pria bertubuh kekar yang memaksanya mendekat ke Hamish.“Barang bagus, kan?” Mucikari berkomentar sambil tertawa lebar. Memperlihatkan deretan giginya yang sudahlah tidak rapi, berwarna kuning kecoklatan pula. “Baru aja datang, Bos. Jadi masih agak liar. Tapi tenang, sekiranya Bos kewalahan,
Suami344Hamish tertawa setelah beberapa saat bisa menguasai diri, berusaha meredakan kecurigaan mereka."Itu karena dia sudah tahu tak bisa melawan lagi. Semua perempuan pasti begitu setelah tahu siapa yang memegang kendali." Hamish menghabiskan sisa tawanya. "Kau terlalu curiga. Lagipula, dia bisa apa? Kabur pun percuma saja, kan? Kalian akan memburunya."Pria bertato itu terdiam beberapa saat seraya menatap Nuri yang menunduk dengan mengerutkan tubuhnya.“Mungkin.” Hamish berbisik di telinga pria itu. “Dia berpikir logis, tidak mau babak belur dua kali. Babak belur kalian siksa kalau kabur, juga babak-belur melayaniku.” Diakhiri tawa, Hamish melanjutkan.Pria itu masih terdiam dengan beberapa lipatan di keningnya. Hamish menepuk pundaknya.“Tapi kami harus memastikan dulu tidak ada yang aneh." Pria bertato bicara lagi.“Hei, tapi aku sudah tidak sabar menikmati barang baru istimewa tempat kalian. Bagaimana ini?” Hamish menunjuk bagian bawah tubuhnya dengan kerlingan mata. “Dan sepe
345“Dan asal kamu tahu, Bung. Jaya sudah meminta banyak uang sama keluarga suami Nuri di Jakarta. Itu artinya dia sudah menjual Nuri kepada keluarga suaminya, dan di sini … ia juga menjualnya padamu.” Entah ide dari mana, tiba-tiba terlintas di pikiran Hamish untuk mengadu domba Karta dan Jaya.“Dia bohong, Kang!” Jaya yang wajahnya sudah memerah, membentak dan menuding wajah Hamish. “Aku tidak pernah menjual Rina sama siapa pun selain sama Akang.” Jaya mulai terlihat panik dan kesal.Karta mendelik ke arah Jaya dengan kemarahan yang hampir tak tertahankan. Sebelah tangannya mengepal kuat, siap untuk melayangkan pukulan kapan saja. Satu tangan lainnya yang masih merenggut kerah baju Hamish, mencampakkan pria itu hingga jatuh terjengkang. Setelahnya ia berbalik menghadap Jaya."Apa yang kau lakukan?! Kau membawa wanita yang sudah menikah ke sini?!" teriak Karta dengan suara menggelegar, membuat ruangan itu seolah bergetar.Jaya tampak terpojok, tetapi dengan cepat mencoba membela diri
346 Di sebuah ruangan rumah sakit yang serba putih dan steril, hanya suara mesin-mesin medis yang mengisi keheningan. Nuri duduk di sisi tempat tidur Bastian, wajahnya basah oleh air mata yang tak henti-hentinya mengalir. Tubuh Bastian masih terbaring tak bergerak, sementara berbagai alat medis menempel di tubuhnya, seolah-olah mencoba mempertahankan hidupnya di dunia. Ini adalah hari kelima setelah kejadian di malam kelam itu, dan Bastian masih juga belum mau bangun. Padahal kondisi Nuri sendiri sudah perlahan membaik setelah beberapa hari mendapat perawatan. Bastian dianiaya orang-orang Karta dan katanya pula oleh Jaya yang memendam dendam kesumat, terlebih kondisi kakinya yang memang sudah fatal sejak awal, membuat kesehatannya semakin memburuk. Dengan segala penyesalan dan ketakutan akan terjadi hal buruk pada suaminya, Nuri terus mendampinginya meski ia sendiri terluka. Ia meminta pihak rumah sakit memberi keleluasaan padanya untuk menemani sang suami setiap saat. Membayangka
347“Tuan, apa wartawan sudah tidak memburu anda dan keluarga lagi?” tanya Nuri saat mereka menuju ruang rawat Nuri yang sebenarnya tidak terlalu jauh. Dua pengawal yang tadi menunggu Samudra di depan ruang khusus Bastian, mengekor di belakang. Nuri heran kenapa Samudra sekarang leluasa keluar, bukankah kemarin-kemarin ruamhnya saja ramai dengan para pewarta dan masyarakat yang penasaran atas kasus kematian Yulia?Samudra menarik napas dalam sebelum menjawab. “Sebenarnya ada banyak hal yang ingin aku sampaikan sama kamu dan Bastian, tapi mengingat kondisi Bastian yang masih belum bangun, jadi aku memutuskan menunda.”Nuri menghentikan langkah, lalu menatap Samudra dengan mata sayunya.“Ada apa, Tuan? Tidak ada yang buruk, kan?” Raut cemas kembali berpendar di sana.Samudra tersenyum tipis. “Tenang saja, insyaallah semuanya berita baik.”Nuri menghela napas, sedikit kelegaan meski belum bisa bernapas lega sebelum Bastian benar-benar bangun dan sembuh."Nuri.” Suara Samudra terdengar lem
348Ruangan itu dipenuhi suara langkah cepat dan instruksi singkat. Nuri berdiri terpaku di pojok, ia memaksa masuk karena ingin melihat sendiri bagaimana Bastian ditangani dokter dan timnya. Dadanya terasa seperti dihantam batu raksasa. Matanya tidak lepas dari tubuh Bastian yang terbaring tak bergerak di atas ranjang rumah sakit. Mesin-mesin medis berkedip tak beraturan, memberi sinyal bahwa kondisi suaminya semakin kritis.Seorang dokter berteriak, “Siapkan defibrilator lagi!” Tim paramedis bereaksi cepat, memasang alat dan memberikan kejutan listrik yang membuat tubuh Bastian sedikit terangkat. Nuri terkejut, menutup mulutnya sendiri yang hampir memekik. Lalu memeluk dirinya sendiri, berusaha menenangkan rasa takut yang mulai menggerogoti setiap sudut jiwanya.Namun layar monitor tetap menunjukkan garis lurus. Pertanda tidak ada detak jantung di sana."Naikkan dosis adrenalin!" perintah dokter lagi, suaranya penuh ketegangan. Wajahnya yang sebagian tertutup masker, berkerut di bag
349Nuri berjalan perlahan, mendekati Bastian yang masih terbaring di ranjang. Namun, kali ini laki-laki itu terlihat berbeda. Wajahnya damai, tubuhnya tidak lagi lemah. Nuri semakin mendekat, dan ia merasa suaminya seperti tersenyum kepadanya.“Aa ...?” Suara Nuri bergetar, setengah tak percaya.Bastian perlahan membuka mata, menatap Nuri dengan tatapan lembut yang selama ini dirindukannya. “Aku di sini, Sayang ....” Suaranya terdengar jelas, seolah-olah waktu di sekeliling mereka berhenti.Nuri terisak, merasakan kehadiran Bastian begitu nyata. “Kita ... sudah bersama di sini? Di tempat yang sama?” tanyanya dengan suara parau, tangannya gemetar saat menyentuh pipi Bastian.Bastian mengangguk pelan. “Iya, kita sudah bersama. Tidak ada lagi rasa sakit, tidak ada lagi derita. Hanya kamu dan aku ... selamanya.”Nuri menatap suaminya, air matanya jatuh semakin deras. “Aku takut kehilanganmu, Aa. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpamu,” suaranya tersendat di antara isak tangisnya.
350Nuri membuka matanya dengan cepat, napasnya masih memburu seolah habis berlari jauh. Cahaya putih dari lampu di langit-langit membuat matanya sedikit perih. Dia masih terbaring di ranjang rumah sakit, tapi ... ada sesuatu yang berbeda. Suara mesin, aroma antiseptik yang kuat, dan embusan napas berat di sebelahnya. Hatinya tergerak, dan secepat kilat kepalanya berpaling ke arah sumber suara.Di sana. Dia ada di sana.Bastian. Terbaring di ranjang lain, hanya berjarak sekitar dua meter darinya."Ya, Tuhan ...!" Nuri menutup mulutnya, menahan isakan yang tak bisa lagi ia bendung. Bastian masih hidup. Meski terlihat lemah, dengan wajah yang masih penuh memar, tapi dia di sana. Dia bernapas."Aa ...?" Nuri bergumam, suaranya bergetar, seolah takut kenyataan ini akan menghilang seperti mimpi.Bastian berkedip lemah. Mata yang biasanya penuh tenaga kini tampak lelah, tapi tetap memancarkan kehangatan yang Nuri rindukan."Nur ...." Bastian berbisik pelan, suaranya terdengar serak, seolah