321Pintu apartemen terbuka perlahan, menampilkan sosok Samudra yang melangkah masuk dengan wajah serius. Di belakangnya, seorang pria paruh baya mengenakan setelan jas rapi, membawa tas kerja hitam—jelas seorang pengacara.Samudra menatap ke arah Bastian dengan mata tajam namun tetap tenang. Ada banyak tanda tanya dan kekecewaan di mata itu, tetapi nyatanya sebagai seseorang yang dituakan dalam keluarga dan tentu saja yang akan selalu bertanggung jawab, ia tidak menampakkan jelas kekecewaan dan kemarahan itu. Ia mengerti Bastian yang belum terlalu banyak makan asam garam kehidupan karena dulu selalu hidup bahagia, ditambah pernah depresi berkepanjangan, membuat laki-laki hampir tiga puluh tahun itu belum matang dalam berpikir dan mengambil keputusan. "Bagaimana keadaan Nuri?" Samudra bertanya, tanpa basa-basi. Ada kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan di balik suaranya. Terlebih tak mendapati keberadaan Nuri di ruangan itu. Bastian menghela napas panjang. "Dia masih syok, Om. D
322Tatapan Bastian tak lepas dari Nuri yang berdiri di dekat Samudra. Rasa tidak rela menyeruak membuat sesak dadanya. Terlebih saat melihat tatapan wanita itu yang kosong, seperti sudah terlalu lelah untuk merasa marah atau sedih.Pakaian Nuri yang lusuh dan kusut menunjukkan betapa kacaunya dirinya. Tadi padahal Bastian sudah menawarkan sang istri untuk berganti pakaian sebelum turun. Namun, Nuri sudah benar-benar berubah seperti bisu. Tak mau berkata-kata, dan tidak pula mau mendengarkannya. Ia memilih turun dengan pakaian yang sama dengan yang dipakainya tidur. Wanita itu langsung meraih ranselnya saat disampaikan jika Samudra akan membawanya ke rumahnya. Seolah hal itu yang ditunggunya.Bastian tahu bahwa Nuri hanya pergi sementara bersama Samudra. Ia tahu itu keputusan terbaik saat ini. Dan ia juga bisa menyusul sepulang dari rumah sakit nanti, tapi Bastian tidak mengira akan seberat ini melepasnya. Terlebih, ia tidak berdaya dengan kondisi kakinya yang masih bengkak dan harus
323Jangan bayangkan perasaan Bastian saat ini. Ia bahkan merasa dirinya yang dianiaya sampai semua tubuhnya hancur lebur. Sakit luar biasa menyaksikan wanitanya diperlakukan demikian di depan matanya dengan dirinya yang tidak bisa melakukan apa-apa.Nuri yang diperlakukan buruk, tetapi jiwa raganya yang remuk-redam. Dan ia bersumpah ini sakitnya lebih kuat daripada saat tubuh Mentari jatuh menimpanya dan membuat tulang-tulangnya patah.“Bos, kita ke rumah sakit sekarang, ya. Pak Samudra sudah memberi instruksi.” Suara Rendra terdengar hati-hati. Ia tahu, saat ini Bastian tidak hanya terluka secara fisik, tetapi juga batin.Mobil langsung melaju pelan setelah Rendra berkata demikian. Melewati mobil yang terdapat Nuri di dalamnya. Mobil yang sebelah bodinya juga terkena lemparan telur. Bastian membuka kaca saat tepat melewati mobil itu. Berharap melihat Nuri, tetapi kaca mobil Samudra yang tertutup membuatnya tidak bisa melihat kondisi Nuri di dalam sana.Rasa sakit yang menggelegak dal
324Bola mata Mentari melebar sempurna saat melihat Nuri turun dari mobil suaminya. Meski sang suami sudah menghubunginya dan memintanya untuk tidak kaget saat mereka pulang, tetap saja ia tercengang melihat kondisi Nuri yang menyedihkan. Tubuh dan rambut yang lepek dan bau amis. Membuatnya seolah tikus kecebur got. Tak berbeda jauh dari Nuri, penampilan suaminya ternyata juga sama. Hanya saja tak terlalu parah karena samudra membawa jas cadangan di mobil. Walaupun sangat penasaran dengan yang terjadi, tetapi Mentari memutuskan memberi waktu untuk mereka membersihkan diri dulu. Ia memilih menyiapkan keperluan sang suami. "Kamu terlihat sangat khawatir, Sayang," kata Samudra saat keluar dari kamar mandi. Pria itu menggosok rambut basahnya dengan handuk kecil. Lalu mendaratkan satu kecupan hangat di pipi sang istri. Sesuatu yang seharusnya ia lakukan tadi saat datang. Namun, karena tubuhnya bau amis, terpaksa ia menunda mencium istrinya. Samudra dapat merasakan kecemasan yang terpan
325Mentari duduk di tepi ranjang, gelisah dengan pikiran yang berputar-putar tak menentu. Bayangan wajah Nuri yang penuh air mata, tubuhnya yang gemetar dalam pelukannya, terus menghantui dirinya. Terlebih pernyataannya yang ingin bercerai dari Bastian.Mentari pernah berada di posisi ini. Hancur dan menjadi korban. Karenanya empatinya sangat tinggi pada orang yang bernasib serupa. Mentari tahu jauh di dalam, Nuri mengalami tekanan yang luar biasa. Rumah tangganya bersama Bastian terancam bubar.Samudra berjalan mendekat setelah keluar dari kamar mandi. Wajahnya segar dan tenang, seolah tak ada hal serius. Pria itu langsung duduk di tepi ranjang yang berbeda dengan sang istri.Jam sudah menunjuk angka sepuluh, dan mereka seharusnya sudah bersiap tidur. Terlebih seharian ini Samudra sangat sibuk. Selain harus mengurus perusahaan, ia juga sibuk ke sana kemari mengurus kasus yang menimpa Bastian dan Nuri. Namun, tentu saja Mentari tidak ingin mereka langsung pergi ke alam mimpi. Ia ingin
326Mentari langsung berjalan keluar melalui pintu yang terdapat di dapur di mana pelayan tadi juga lewat. Ia langsung menuju bangunan paviliun di belakang bangunan utama kediaman Hanggara ini. Ada beberapa kamar yang berderet memanjang seperti sebuah kost yang ia lewati. Kamar-kamar para pekerja. Kakinya terus bergerak lumayan cepat menuju paviliun. Ia curiga suaminya menempatkan Yulia di sana. Namun, saat melihat pelayan yang tadi membawa makanan keluar dari salah satu kamar yang berderet, ia menghentikan langkah. Di sana rupanya Yulia berada.Pelayan yang baru menutup pintu, tampak kaget melihat Nyonya rumah sudah berada di hadapan tanpa ia sadari. Wanita seusia Mentari itu langsung mengangguk hormat. Setelahnya, menunduk dalam. “Yulianya ada?” tanya Mentari langsung. Tak peduli pelayan yang ketakutan. “Permisi, aku mau lihat.” Walaupun datar ucapan itu, nyatanya sang pelayan malah bergeming. Tak bergeser dari tempatnya seolah ingin menghalangi Mentari untuk masuk. “Mbak, maa
327“Nur, sekarang kamu makan dulu, ya. Jangan khawatir, semua akan segera membaik.” Mentari melerai pelukan. Lalu menghadiahkan senyum manis. “Lihat aku, berkali-kali aku mengalami keterpurukan dalam hidup. Tapi Tuhan selalu memberi pertolongan. Yang penting kita harus kuat. Jangan menyerah, jangan terpuruk, apalagi kalah oleh makar yang dibuat orang lain. Kamu tunjukkan kalau kamu bisa menghadapi ini semua. Kita tidak tumbuh dalam keluarga yang harmonis. Kita sudah terbiasa hidup keras kan, sejak kecil. Jadi, jangan karena masalah yang kini mendera, kita kalah. Aku yakin kamu bisa, Nur. Aku bersamamu.”Setelah mengatakan itu dengan penuh effort, sambil mengusap lengan Nuri, Mentari pamit. Tak sabar ingin menemui Yulia di belakang sana. Wanita itu tersenyum, lalu mengingatkan Nuri agar makan, sebelum benar-benar keluar dari kamarnya. Dengan tergesa-gesa, ia kembali ke belakang. Kali ini harus berhasil menemui Yulia. Mumpung Samudra tidak di rumah. Nuri sendiri tidak ia beri tahu k
328“Hakmu? Hak apa?” Mentari bertanya dengan nada tak percaya. Suaranya bergetar, meski ia berusaha keras untuk terdengar tenang. Di sana, Yulia duduk dengan ekspresi yang tak terbaca karena wajahnya memang sudah tak berbentuk. Mentari bisa merasakan darahnya mendidih, tapi ia mencoba untuk tidak terpancing lebih jauh. Sungguh rasa kasihan dan tidak tega yang sempat hadir, kini kembali terusik karena ucapan Yulia. "Kamu tahu maksudku, Mentari. Dalam harta peninggalan ayahmu, ada hakku juga sebagai istri yang tidak pernah dicerai sampai dia mati. Apa salah kalah aku menuntut hakku itu?”Sungguh, darah Mentari semakin mendidih. Bagaimana bisa Yulia masih menyinggung hak. Apa selain wajah dan kulit tubuhnya yang rusak, otaknya juga rusak? Mereka sama-sama tahu jika Bumi meninggal tanpa harta. Hanya meninggalkan utang yang tidak terkira jumlahnya. Jika pun ada rumah dan perusahaan, itu juga sudah dijaminkan ke Hanggara Enterprise yang saat itu dikelola Benny. Kalau sekarang semua bi