313“Jadi, salah Aa di mana?” Bastian terus mengekori Nuri ke mana pun wanita itu berjalan. Meski terpincang-pincang karena menggunakan kruk, tetapi tak menyurutkan langkahnya.Bastian tidak ingin Nuri terus mendiamkannya. Semua harus diselesaikan sesegera mungkin. Ia bahkan belum memakai bajunya sejak tadi. Masih dengan handukan terus merengek meminta penjelasan.“Pikirkan saja sendiri. Saya mau makan, lapar.” Nuri mendudukkan dirinya setelah menarik salah satu kursi di ruang makan ini. Setelahnya mulai menyantap nasi goreng yang dua kali digoreng.Bastian menarik napas. Sungguh ia pun merasakan lapar yang sama, karenanya menarik kursi di samping Nuri, kemudian menyodorkan piring kosong yang sudah tersedia.Nuri menghentikan aktivitasnya sejenak. Mengisi piring yang Bastian sodorkan dengan nasi goreng yang sama. Lalu melengkapi dengan sedikit sambal goreng buatannya. Tak lupa menaruh irisan timun dan tomat di atasnya. Untuk lauknya, Nuri sudah melengkapi nasi itu dengan telur dan sui
314“Nah, saya bilang apa, kan, mantan istri Aa itu selain tidak punya malu memang tidak tahu diri juga. Mau ngapain lagi ke sini coba?”Jangan bayangkan bagaimana rupa Nuri sekarang. Kekesalan yang sejak kemarin bercokol, kini semakin tersulut.Bastian tidak dapat berkata-kata. Ia sendiri bingung apa lagi yang diinginkan Novita. Apalagi wanita itu datang membawa ibunya.“Sudah tidak usah digubris! Abaikan saja. Toh Aa udah nggak ada urusan lagi, kan, sama dia.”Setelah mengatakan itu, Nuri langsung meninggalkan Bastian. Masuk kamar untuk berganti pakaian karena sejak tadi mereka masih handukkan.Wanita itu mengambil kaus tangan panjang dan celana kulot selutut di balik salah satu pintu lemari. Sebuah tangan terulur di sampingnya setelah suara ujung kruk yang beradu dengan lantai berhenti terdengar. Tanpa banyak kata, Nuri mengambilkan juga pakaian untuk Bastian. Karena biasanya sudah ia siapkan sebelum laki-laki itu keluar dari kamar mandi.Mereka berpakaian di depan masing-masing ta
315“Mohon maaf, Pak, Bu ada kendaraan mau lewat.” Lagi petugas keamanan itu mengingatkan karena mobil yang akan keluar sudah berada dekat dengan mereka.Terpaksa Nuri menggandeng Bastian untuk menepi. Bukan ke arah bangunan apartemen, melainkan ke arah pos penjagaan. Mereka membiarkan kendaraan itu lewat dengan tidak ada yang bicara. Berderat rapi di tepi bangunan seluas lima x lima meter itu.“Mohon maaf, Bapak, Ibu silakan lanjutkan menyelesaikan urusan internnya di dalam unit saja demi kenyamanan bersama,” ujar petugas keamanan lagi dengan sopan. Memang tidak elok sebuah keluarga apa pun masalahnya, menyelesaikan masalah di luar rumah apalagi di tempat umum tempat lalu-lalang para penghuni bangunan itu atau siapa pun yang keluar masuk ke sana.“Kami tidak akan kemana pun, Pak!” Bastian langsung menukas. Membuat petugas keamanan mengerutkan kening.“Kami tidak akan kemana-mana apalagi ke dalam unit, karena saya merasa tidak punya urusan dengan mbak ini.” Telunjuk laki-laki itu meng
316“Han-tu ….” Nuri bicara gagap sesaat setelah meneguk air yang disodorkan Bastian. Setelahnya, ia mengedarkan pandangan karena merasa asing dengan tempatnya berada saat ini.Bastian duduk di sofa yang sama dengannya.“Ini di mana, A?” tanyanya dengan suara lemah dan bibir masih bergetar.“Masih di pos, kamu pingsan tadi, dan Aa nggak bisa bawa kamu ke atas. Juga nggak mau kamu dibawa orang lain. Jadi kita masih di sini.”Nuri meraba kepalanya yang terasa pusing. Tadi ia memang tidak dapat menahan keseimbangan tubuhnya. Hal yang terakhir yang diingatnya adalah ….“Hantu, A. Tadi saya lihat hantu keluar dari sini.” Nuri mengguncang tangan Bastian, setelah sebelumnya mengedarkan pandangan lagi.“Tapi masa hantu keluar siang-siang begini, sih, A?” lanjutnya bingung sendiri.Bastian menarik napas yang terdengar berat. Setelahnya, mengusap kepala Nuri. Wajah itu masih menyisakan sedikit ketakutan.“Tidak ada hantu, Nur. Apalagi siang-siang begini.” Bastian meyakinkan.“Tapi saya lihat, A
317Bastian berjalan perlahan memasuki kamar, terpincang-pincang menggunakan kruk di tangan kanannya. Kakinya masih terasa nyeri akibat terjatuh saat mencoba mengejar Nuri tadi. Saat pintu kamar terbuka, pandangannya langsung tertuju pada Nuri yang sedang berdiri di depan lemari, sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas ransel yang tergeletak di tempat tidur. Hatinya mencelos.“Nuri, kamu mau ke mana?” tanyanya, suaranya bergetar.Nuri tidak langsung menjawab. Tangannya terus sibuk mengemas, seolah tidak ingin diganggu. Bastian bisa melihat wajahnya yang tegang, bibirnya terkatup rapat. Ia tahu Nuri marah, tapi tak menyangka akan sampai pada titik ini.“Nuri ....” Bastian mengulang, kali ini dengan suara lebih tegas. Ia maju selangkah, meski gerakannya terbatas oleh kruk yang menopang tubuhnya. “Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu berkemas?”Nuri akhirnya berhenti, menatap Bastian dengan tatapan yang tak bisa ia baca. “Aku mau pergi saja, A. Biar Aa leluasa mengurus mantan ibu mertua.”
318Samudra muncul di ambang pintu, wajahnya merengut, seolah membawa beban dunia di bahunya. Bastian dan Nuri yang semula tengah terlibat perdebatan terpaksa memasang topeng tenang, berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Keduanya kompak menyambut saat tahu Samudra yang menekan bell. “Hai, Om Sam,” sapa Bastian dengan senyum tipis, meski di dalam hatinya, rasa sakit di kakinya akibat terjatuh tadi masih terasa nyeri. Ia duduk di sofa dengan kaki yang ditopang bantal, berusaha tampak lebih rileks daripada yang sebenarnya.Samudra, tanpa banyak bicara, melangkah masuk dan menghempaskan tubuhnya ke kursi di seberang mereka. Matanya mengamati keduanya dengan tajam sebelum akhirnya membuka mulut. “Kalian jangan terlalu memikirkan urusan Yulia.”Nuri sejak tadi duduk diam, matanya tetap terarah ke lantai, menghindari kontak mata dengan siapa pun di ruangan itu. Ingin rasanya mengadu pada Samudra betapa keras kepalanya Bastian hingga tak mempedulikan perasaannya. Namun, ia tak berani. Siapalah
319Bastian terus melirik Nuri yang masih memunggunginya. Entah wanita itu masih tidur atau sebenarnya sudah bangun, hanya saja seperti enggan terlibat obrolan dengannya. Tubuh wanita itu tidak bergerak. Masih meringkuk memeluk ranselnya.Setelah membaca pesan Nuri bersama temannya tadi, rasa bersalah menyeruak, memenuhi hatinya. Karenanya Bastian memutuskan membiarkan wanita itu istirahat. Padahal, rasa sakit di kakinya yang semakin terasa menyiksa, membuatnya ingin bermanja. Namun, itu tidak mungkin dilakukan. Bastian tahu Nuri masih marah—marah karena masalah ini tidak akan selesai hanya karena Samudra sudah mengambil alih urusan Yulia. Dengan hati berat, Bastian akhirnya ikut berbaring di sisi lain ranjang. Tubuh Nuri tetap membelakanginya, punggungnya kaku, menunjukkan seberapa jauh jarak emosional di antara mereka saat ini. Bastian mencoba memejamkan mata, tapi pikirannya terus berputar, tak bisa berhenti memikirkan semua masalah yang kini mengancam pernikahan mereka. Ya, me
320Dengan tertatih-tatih, Bastian menyusul Nuri yang ternyata langsung masuk ke kamar mandi. Tercium dari aroma amis dari pecahan telur di tubuh wanita itu. Berbagai perasaan yang berkecamuk di dada Bastian menemaninya menghampiri wanita itu. Saat membuka pintu kamar mandi, pemandangan yang ia lihat di dalam sana membuat hati Bastian hancur.Nuri duduk di lantai, memeluk kedua lututnya erat-erat, tubuhnya menggigil sambil sesenggukan. Pecahan telur yang masih menempel di rambutnya kini bercampur dengan air yang mengalir dari shower di atasnya. Nuri menangis tanpa suara, hanya terdengar napas tersendat-sendat dari tenggorokannya.“Nuri .…” Suara Bastian pelan, penuh penyesalan. Ia berlutut di depan istrinya dengan susah payah. Kaki yang masih sakit ia selonjorkan. Kondisi Nuri saat ini jauh lebih penting dari rasa sakit di lakinya. Kekhawatiran Bastian sudah memuncak. “Apa yang terjadi?” tanyanya lagi sendu. “Siapa yang menyakitimu?”Nuri tidak menjawab. Ia hanya menunduk semakin d