296“Seharusnya Om tidak memberinya uang. Untuk apa? Dia bukan siapa-siapa.” Bastian mengutarakan keberatannya saat mereka kembali memasuki rumah.“Tidak apa, Bas. Itu hanya untuk ganti uang bensin saja. Mereka ke sini dari kampungnya, muter-muter Jakarta mencari Nuri, kan, butuh bensin buat mobil. Apalagi sepertinya itu mobil bukan milik Jaya.”“Tetap saja itu sayang, Om. Om menghamburkan uang buat orang yang tidak pantas.”“Aku mau mereka cepat pergi, Bas. Capek dan buang-buang waktu berurusan dengan orang-orang seperti mereka. Lagipula, kita sudah peringatkan dia agar tidak mengganggu Nuri lagi, kan?”“Tapi orang-orang seperti mereka tidak tahu malu dan aku yakin tidak akan menepati janji. Seharusnya Om langsung laporkan saja ke polisi.”“Ya, seharusnya memang begitu. Tapi aku malas harus berurusan dengan polisi lagi, Bas. Baru saja kasus Ratri selesai, dan kami bisa bernapas lega setelah ia dinyatakan penjara seumur hidup. Semoga dia tidak berulah lagi. Tapi kalau berulah lagi, ya
297Mulut Samudra dan Mentari sampai menganga melihat kelakuan gadis yang bersimpuh sambil menangis itu.“Tolong Tuan, jangan pernah pecat saya. Saya bisa melakukan pekerjaan apa pun. Tetap pekerjakan saya di sini.” Gadis itu masih memohon dengan air matanya yang berlinang.“Membersihkan kamar mandi, memotong rumput, menguras kolam renang, atau apa pun bisa saya lakukan. Tidak apa gaji saya tidak besar, yang penting saya tetap bekerja di sini, Tuan.”Samudra masih menganga. Tidak mengerti kenapa Nuri sampai sebegitunya memohon pekerjaan. Pun dengan Mentari yang akhirnya bangkit, kemudian menghampiri gadis yang duduk bersimpuh di hadapan mereka.Wanita dengan outfit nuansa pastel itu berjongkok di samping Nuri, kemudian merengkuh pundaknya.“Kamu kenapa, Nuri?” tanya Mentari tidak mengerti. Kedua tangannya merengkuh pundak Nuri di kanan dan kirinya.“Bu.” Nuri beralih menghadap Mentari. “Tolong minta sama Tuan Samudra agar tidak memecat saya, biarkan saya tetap bekerja di sini, Bu. Say
298“Sini!” Bastian menepuk pangkuannya setelah Nuri membantunya duduk di tepi ranjang. Meminta gadis itu untuk duduk di sana.Baru saja keduanya menghabiskan sisa tangis mereka. Tangis yang sama-sama pecah karena berbagai perasaan yang bercampur aduk. Sedih, lega, haru, bahagia dan entah apa lagi yang mereka rasakan. Namun, satu yang pasti yang mereka syukuri, mereka masih bisa terus bersama.“Ayo duduk sini!” ajak Bastian lagi sambil menepuk pahanya. Senyum tipis terukir di wajahnya.Nuri menggeleng setelah mengusap pipinya.“Kenapa?” Alis lelaki yang tubuhnya kini lebih berisi itu terangkat saat melihat gadis di depannya menggeleng.“Nanti kaki Aa sakit, badan saya kan, berat.” Nuri menjawab polos.“Yang sakit kan, betis. Pahanya tidak.” Bastian tersenyum. “Ayo sini!” Lagi ia menepuk pangkuannya. Namun, Nuri masih ragu untuk memenuhi permintaan sang lelaki.“Ayo, sini, aku kangennn ….” Lelaki itu menggoda dengan berucap sambil memejamkan matanya genit.Nuri ingin menggeleng lagi, t
299“Itu artinya Aa berguna, Aa bermanfat buat sesama. Paling tidak buat keluarga, terlepas apa pun alasan Aa waktu nyelametin Bu Mentari.”Nuri mengakhiri uraiannya dengan mendaratkan sebuah kecupan lembut di bibir sang suami yang kedua pipinya masih ia tangkup. Sebelumnya, senyum teduh ia hadiahkan sebagai bonus agar lelaki di bawahnya tak lagi rendah diri. Jarak wajah mereka memanglah sangat dekat sejak tadi hingga embusan napas masing-masing teras menerpa wajah keduanya.Sesuatu yang hangat terasa menelusup ke dalam hati Bastian mengiringi setiap kata yang meluncur dari bibir mungil gadis pemilik bulu mata lentik di hadapannya. Membangkitkan semangat hidup yang sempat redup dan bahkan hampir padam.Kini, rasa hangat itu bahkan mulai menyebar ke seluruh tubuh lewat aliran darah. Menciptakan sensasi yang bukan hanya membangkitkan semangat hidup, tetapi juga perasaan lain yang lama tak ia rasakan. Bastian sampai menahan napasnya untuk meredam rasa itu.Namun, ia benar-benar tidak men
300Nuri menggulingkan tubuh lunglainya ke samping. Kini, ia seolah wanita yang baru saja selesai mandi. Tubuhnya basah, tetapi bukan mandi dalam arti sesungguhnya. Melainkan basah karena bermandi peluh.Wanita itu memejamkan mata. Mulutnya terbuka karena napasnya masih tersengal. Tubuhnya masih sedikit bergetar efek kenikmatan puncak yang baru saja didapatkannya. Dinikmatinya sensasi indah yang baru pertama kaki dirasakannya itu. Kedua sudut bibirnya tertarik ke samping.Semua terjadi begitu cepat. Rasanya masih belum percaya jika ia baru saja melepas keperawanannya. Hari ini, yang ia pikir akan menjadi hari paling sial dalam hidupnya karena bisa diketemukan oleh sang paman. Lalu berlanjut drama yang ia pikir akan menjadi akhir hubungannya dengan Bastian, siapa sangka justru hari ini menjadi awal hubungan yang lebih serius dengan laki-laki itu.Ya, lebih serius. Karena mulai hari ini, mereka harus memikirkan masa depan pernikahan itu. Karena hari ini, mereka sudah menjadi suami istri
301Bastian bangkit. Duduk di samping wanita yang tertidur pulas dalam kelelahan. Tangannya bergerak menutupi tubuh yang masih polos itu dengan selimut. Lelaki setengah bule itu tersenyum sambil menatap wanita yang terlihat sangat menggemaskan meski sedang tertidur. Mulutnya terbuka hingga dengkuran halus terdengar dari sana.Dengkuran yang menandakan ia lelap dalam kelelahannya.Bastian menurunkan wajahnya. Satu kecupan menyapa bibir terbuka itu. Satu lainnya di pipi, kening dan juga dagunya. Semua ia lakukan dengan lembut dan pelan agar tidak mengganggu tidur sang wanita.Setelah puas menciuminya, ia menatap wajah itu dalam jarak sangat dekat. Ditatapnya lekat dan dalam hingga beberapa lama. Berbagai perasaan dalam dada menemani aksinya itu.Rasa terima kasih yang ia ucapkan tadi, bukan hanya di bibir semata. Tetapi benar-benar datang dari hati terdalam. Sungguh, belum pernah Bastian merasakan perasaan semendalam ini terhadap seorang wanita.Dulu, entah berapa banyak wanita yang men
302“Tidak apa-apa, kan, Bas?” tanya Samudra lagi berusaha mencairkan kecanggungan dan kekakuan yang tercipta.Bastian mengerjap dan tersenyum untuk membuang kecanggungan.“Tidak apa-apa, Om. Lagipula, yang mau aku bicarakan pasti terkait juga dengan persetujuan istri Om.”“Nah, kan, Sayang. Kamu tetap di sini, ya. Lagipula si kembar sedang anteng di sini.”“Iya, Tante, tidak apa-apa. Aku juga—”“Tunggu, tunggu!” Mentari memotong ucapan Bastian dengan matanya yang memicing dan kepala menggeleng. Tak percaya dengan pendengarannya sendiri.“Tante?” tanyanya dengan menatap lurus laki-laki di kursi roda.“Ya, Tan-te Men-tari.” Bastian menjawab ragu dan pelan. “Tante kan, istri Om Sam.”Mentari menggeleng kuat. “Tidak! Tidak! Panggil saja namaku!” Mentari ketus.“Kenapa, Sayang? Kamu memang istri Mas, dan Bastian ini keponakan Mas, wajar bukan memanggil tan—”“Tidak, Mas! Aku bukan Tante-tante, aku masih muda. Enak saja manggil Tante, umurku bahkan lebih muda dari keponakanmu.” Mentari men
303Bastian memejamkan matanya. Teringat jika dulu Mentari memanggilnya dengan nama lengkap, itu karena sedang marah padanya. Namun, kini ia yakin jika wanita itu tidak sedang marah, hanya menegaskan. Ia lega, mantan tunangannya itu akhirnya bisa bersikap biasa walaupun kedalaman hatinya manalah ia tahu.Semoga dengan berjalannya waktu, hubungannya dengan Mentari bisa normal layaknya keluarga tanpa ada dendam atau amarah yang tersisa.“Nah, kamu dengar sendiri, kan, Bas, istriku sudah setuju. Jadi tidak ada masalah, kan?”“Iya, Om. Aku benar-benar berterima kasih sama kalian berdua yang masih berbaik hati setelah aku repotkan berkali-kali.”“Aku bosan mendengarmu terus berkata seperti itu, Bas. Kita ini keluarga, kamu bahkan tinggal di rumah ini sejak lahir. Seandainya masih ada, ibu juga pasti mendukung kamu dan Nuri tinggal di sini.”“Aku malu, Om ….” Suara Bastian hampir tak terdengar.“Yang sudah lewat, biarkan berlalu. Kita jalani hari ini, dan pikirkan yang akan datang.” Samudra