266“Ham, bagaimana kondisi Heru?” tanya Samudra saat mereka dalam perjalanan menuju komplek pemakaman. Selama seminggu ini hampir setiap hari ia menyempatkan diri mengunjungi tempat peristirahatan terakhir sang ibu. Rasa rindu sedikit terobati jika sudah menyambangi tempat itu.“Sudah lebih baik, Bos. Luka-luka di wajahnya sudah mengering.”“Aku tidak tahu jika Heru memiliki saudara.” Ada nada penyesalan dalam suara Samudra.“Wajar Bos salah sangka. Siapa pun akan melakukan hal yang sama dalam keadaan panik seprti itu, Bos. Istri hilang dan tangkapan kamera terakhir menunjukkan ia bersama orang yang kita kenal. Tentu saja tuduhan akan mengarah padanya.”“Apa aku terlalu cepat mengambil kesimpulan?”“Saya sudah katakan siapa pun akan melakukan hal yang sama dalam keadaan panik. Jika berada di posisi Bos, saya pun akan melakukan hal yang sama. Mungkin lebih buruk.”Sebuah tarikan napas panjang terdengar dari mulut Samudra. “Bagaimana saudaranya Heru sekarang?”“Kalau itu, Bos nanti tan
267Samudra berjalan tergesa menuju sebuah ruangan di rumah sakit, setelah sebelumnya membuat janji dengan seseorang di dalam sana. Hamish dan pengawal ia minta menunggu di depan ruangan itu. Sekembalinya dari makam sang ibu, sebuah ide melintas begitu saja.“Sudah tidak ada jawdal, dok?” tanyanya setelah menutup pintu dan melihat dokter Rena sudah melepas jasnya. Baginya sekarang, dokter Rena sudah seperti pengganti sang ibu. Padahal usia mereka tidak terpaut jauh, karena sang dokter seusia dengan Benny.“Aku baru akan pulang. Ada apa?” dokter senior itu memicingkan matanya.“Aku sudah menemukan gadis itu, dok.”“Gadis?” Kening Rena berlipat. Sang dokter kembali duduk saat melihat tamunya juga duduk di depannya.“Ya, aku yakin ia bersedia menikah.”Kening Rena semakin berlipat-lipat.“Kamu mau menikah lagi, Dek? Kamu baru saja rujuk sama Mentari, lho. Dan ingat betapa perjuanganmu untuk mendapatkannya lagi.” Dokter Rena melipat tangannya di dada.Samudra memejam. “Kenapa jadi aku?” Sa
268“Ta-ri, kamu di sini?” Bastian terkejut.Mentari yang tak kalah terkejut, mengatupkan bibirnya. Ia tak dapat berkata-kata. Bukan ibu mertua yang ia dapatkan di sana seperti sangkaannya, tetapi ….“Nya-ri Om Sam, ya?” Lagi, Bastian bertanya meski gagap. “Dia baru saja per-gi.” Dengan lirikan mata, laki-laki itu menunjuk pintu.Mentari tidak tahu apa yang harus dilakukannya, ia masih mematung. Kenekatannya mencari tahu malah membuatnya mendapati kenyataan berbeda.Entah berapa lama sang wanita mematung. Pandangannya menyapu kondisi tubuh Bastian ari ujung kepala hingga kakinya yang tak ubahnya mummi hidup. Penuh perban, penuh bebatan kain putih.Setelahnya, wanita itu gegas berbalik sambil menguasi dirinya, lalu berjalan kembali menuju pintu ruangan tanpa berkata-kata.“Tari!” Panggilan Bastian meski tidak keras, cukup membuat wanita yang meraih gagang pintu menghentikan gerakkannya.“Apa kamu sudah sembuh?” lanjut Bastian meski tidak mendapat sambutan. “Aku senang akhirnya bisa mel
269“Ka-mu bilang apa, Mas?” tanya Mentari dengan menelengkan kepala. Keterkejutan tampak jelas di sana.Samudra memejamkan matanya sejenak. Sebenarnya ini bukan waktu yang tepat untuk megatakannya, tapi sikap Mentari yang terus membenci membuatnya takut sang istri terlalu lama memendam penyakit hati.“Apa pendengaranku bermasalah?” tanya Mentari lirih seolah untuk dirinya sendiri. Sangat kentara ia menyangkal apa yang tertangkap telinganya.“Sayang.” Samudra meraih tangan sang istri, kemudian digenggamnya erat.“Bisa Mas ulangi kalimat yang tadi? Sepertinya pendengaranku sedang bermasalah.”Samudra menggelengkan kepalanya. “Sayang, maaf Mas tidak mengatakan ini dari awal. Mas takut kamu ….”“Mas, jangan berbelit-belit. Aku mau kamu mengulang kalimat yang tadi. Kenapa keponakan palsu kamu itu berada di sana?”Samudra menatap lekat sang istri untuk beberapa waktu tanpa kata. Kedipan berkali-kali mengakhiri aksinya.“Mas ….”“Iya, Sayang … Bastian yang menolong kamu malam itu. Bastian y
270Samudra dan Mentari saling menjauhkan tubuh mereka saat terdengar suara pintu dibuka, terlebih saat celoteh dua bayi memenuhi ruangan.“Maaf, Pak, Bu, Mbak nggak tahu kalau ….”Nada suara dari kalimat yang menggantung dan raut bersalah memenuhi wajah wanita berkerudung instan tak lama setelah sepasang suami istri itu saling memisahkan diri.Kecanggungan tercipta seketika. Semburat merah sudah pasti menghiasi wajah wanita di atas ranjang.“Tidak apa-apa, Mbak. Kami sedang ngapa-ngapain, kok.” Samudra gegas menguasi diri dengan berjalan menghampiri pengasuh itu. Sementara Mentari sibuk menetralkan hatinya. Semburat merah masih menghiasi wajahnya.“Abang Barra sama Adek Bulan dari mana?” Samudra langsung mengambil alih kedua anaknya dari pangkuan Rumi. Diciuminya dua bayi yang kegelian itu bergantian. Kemudian dibawa menuju ibunya yang masih sibuk menguasai diri.Kedua bayi yang merindukan Mentari itu langsung merentangkan tangannya. Meminta untuk digendong. Samudra meletakkan keduan
271Keheningan memerangkap untuk beberapa lama. Samudra menyesali ucapannya. Karena terbawa suasana, ia keceplosan, padahal belum waktunya menyampaikan berita ini. Ingin meralat, tapi tidak mungkin, Mentari sudah menyadarinya.“Mas, apa maksud kamu di alam sana? Alam mana?” Pertanyaan itu meluncur lagi, walaupun tidak dengan suara keras karena takut menganggau kenyamanan anak-anaknya, tetapi cukup jelas di telinga Samudra. Terlebih diucapkan dengan penuh penekanan.“Sayang … hmmm, bagaimana kalau kamu tidurkan dulu si kembar. Nanti baru kita bicara.”“Kamu mau mengalihkan perhatianku, Mas?” tanya Mentari kesal.“Tidak sama sekali, Sayang.” Samudra membelai kepala yang tertutup kerudung itu.“Atau kamu ingin membuatku mati penasaran dengan kebohongan-kebohonganmu?”“Tari … kamu bicara apa?” Samudra menggeleng. “Ok, memang ada banyak rahasia yang Mas sembunyikan dari kamu, tapi Mas punya alasan kenapa menyimpannya. Mas hanya menunda untuk menyampakikannya sama kamu, menunggu waktu yang
272“Sah.”Seruan beberapa orang di dalam ruangan itu, sesaat setelah Bastian mengucap ijab qabul pernikahan, menggema. Keharuan langsung menyelimuti, bahkan saat penghulu melantunkan doa, Bastian tidak bisa menahan air matanya. Tangisnya langsung pecah meski hanya air mata tanpa suara yang mengalir.Ia tidak pernah menyangka perjalanan hidupnya akan sampai di titik ini. Menikah di rumah sakit dalam kondisi hidup pun setengah mati. Nyawa masih bersarang di raga, tetapi raga sendiri tak lagi berfungsi.Ia terharu sekaligus heran, kenapa di saat kondisinya seperti ini, masih ada wanita yang mau ia nikahi. Padahal jangankan memberikan afkah lahir berupa materi, bahkan nafkah bathin saja ia tidak akan sanggup memberikan.Ia huga terharu sekaligus heran, kenapa Samudra yang sudah ia recoki hidupnya masih saja berbaik hati menikahkan dirinya. Bukan hanya itu, Samudra juga bertanggung jawab atas semua biaya pernikahan, perawatan, dan juga hidupnya ke depannya.Dan entah berapa banyak hal lag
273“Maafkan aku ya, Tari.” Entah untuk ke berapa kalinya kalimat itu terdengar.Sungguh, Mentari tidak nyaman dengan situasi ini. Namun, mau sampai kapan menghindar? Cepat atau lambat akan ada interaksi lagi antara dirinya dengan Bastian. Samudra tetap menganggap Bastian bagian dari keluarga Hanggara, tidak akan pernah membuang laki-laki itu. Jadi, sekuat apa pun ia ingin menghindar, rasanya Bastian akan tetap berada di sekitar dirinya dan Samudra.Dan yang terpenting dari semua itu, Bastian sudah mengorbankan dirinya agar ia selamat. Sepertinya tidak punya hati jika ia masih juga membenci laki-laki itu karena kesalahan masa lalunya.Mentari mengerjap dan memandang ke arah lain. Tidak tega sebenarnya melihat kondisi Bastian yang sangat mengenaskan itu, tapi lagi-lagi kebenciannya belum sepenuhnya hilang. Sebenarnya ia ingin segera pergi dari sana, tetapi tatapan penuh harap sang suami yang membuatnya masih bertahan di sini.Samudra meremas telapak tangan Mentari dengan lembut sebagai