258“Mentari ….”Dengan tertatih-tatih, Samudra keluar dari mobil, lalu mengejar wanita berkerudung yang berjalan di trotoar.“Tari ….” panggilnya lagi dengan terus mempercepat langkah walaupun terseok, hingga ia dapat menggapai lengan baju si wanita. Ditariknya lengan itu agar pemiliknya menghadap padanya. Pakaian dan kerudung yang mirip dengan yang dipakai Mentari tadi pagi membuatnya yakin jika itu adalah sang istri. Namun ….“Ada apa, ya?”Samudra tertegun. Ia mundur dan pundaknya meluruh, sebelum berbalik dan berkata.“Maaf, keliru orang, Mbak.”Pria itu berjalan gontai menuju kembali ke mobilnya yang terjebak di lampu merah. Sampai semalam ini, ia belum juga menemukan Mentari. Padahal Hamish dan beberapa orang yang menyertainya sudah mencari hingga seluruh penjuru ibu kota.Rumah Mentari tak luput dari tujuan mereka. Dengan melompati pagar dan mendobrak pintu, ia dapat masuk ke sana. Namun, bukan menemukan Mentari seperti tujuannya, hatinya malah dibuat semakin remuk redam karen
259“Kalau aku meminta statusmu, apa suami dan ibu mertuamu tersayang itu akan memberikannya?” tanyanya dengan mencondongkan kepala.“Apa maksudmu?”Ratri mengibaskan tangannya. “Jangan berpura-pura bodoh! Kalian semua tahu apa yang aku inginkan, tapi kalian berpura-pura tidak tahu dan tidak mau tahu. Kalian semua malah sengaja mempermalukanku. Kalian pikir aku akan diam saja, hah?” Kembali Ratri membentak. Bukan hanya itu, sepatunya menginjak punggung kaki Mentari yang tanpa alas, hingga wanita itu menjerit kesakitan. Namun, gegas tangan Ratri membekap mulut Mentari agar teriaknya tidak terdengar keluar.Alhasil Mentari hanya menggeram dengan punggung kaki yang terasa remuk karena Ratri bukan hanya menginjaknya, tetapi juga menekan dan menuusukkan ujung sepatunya.Mentari merasakan tubuhnya lemas pasca Ratri menghentikan aksinya. Air mata yang sejak tadi ditahannya, kini meluncur bebas sudah karena rasa sakit yang tidak terkira. Wanita itu menangis mengenaskan.Apalagi yang dapat ia
260“Bos yakin mau ikut masuk?” Hamish menatap wajah Samudra yang semakin kusut.“Tentu saja, aku harus menyelamatkan istriku.”“Tapi kondisi Bos ….”“Sudah kubilang lukaku tidak lebih penting dari keselamatan istriku.”“Aku hanya takut mereka dalam jumlah banyak, Bos. Kita kan, tidak tahu bagaimana kekuatan mereka. Lagipula, ini baru praduga. Ada yang mencurigakan di sana. Belum tentu juga itu istri bos disekap di sana.”“Makanya kalian pastikan dulu, baru setelah itu beritahu aku. Jika benar istriku di sana, aku akan masuk sendiri.”Hamish mengangguk dan menginstruksikan beberapa pengawal yang sudah disewanya untuk mengecek lokasi gudang terbengkalai dekat bangunan yang terbakar. Sementara beberapa lainnya menginterogasi petugas keamanan yang berjaga.Pasca gulung tikar tempo hari, perusahaan itu memang memiliki beberapa ruangan yang terbengkalai karena Samudra mengefektifkan fungsi-fungsi bangunan menjadi hanya beberapa saja yang dipakai setelah ia mengoperasikannya lagi. Ada sebua
261“Mendekatlah, dan istri tersayang Bapak akan terbang bebas.”Seringaian menghiasi wajah wanita yang memegang tali yang terhubung ke tangan wanita lainnya yang terduduk lemas.Wajah Samudra memucat seketika seolah darah tidak mengalir ke sana. Kedua tangannya mengepal. Sungguh, tidak pernah menyangka jika akan melihat wanita tercintanya diperlakukan sampai seperti ini.Mentari pernah mendapatkan perlakukan buruk juga dari wanita yang menginginkan dirinya, tapi ini jauh lebih buruk. Ratri lebih menakutkan dari Lucy. Atau mungkin sama saja? Hanya karena dulu ia tidak melihat langsung bagaimana Lucy memperlakukan mentari, bukan berarti apa yang Mentari rasakan lebih ringan.Sumpah demi apa pun rasa bersalahnya kepada sang istri menjadi berlipat-lipat. Karena menjadi istrinya, Mentari yang tidak bersalah harus dua kali merasakan diperlakukan semena-mena oleh dua wanita yang menginginkan dirinya.“Ratri, apa kamu sudah gila?” Walaupun dengan suara bergetar, Samudra membentak. “Lepaskan
262“Oh, mantan bosku yang terhormat juga datang rupanya. Suatu kehormatan bagiku.” Ratri menyambut Widya dengan wajah tenang seperti dulu, setelah beberapa saat lalu sempat tersentak kaget.“Kalian keluarga yang sangat kompak, ya. Baguslah, semua sudah berkumpul biar segera kumulai saja pertunjukkannya,” lanjutnya. Pandangannya bergantian terarah Samudra yang masih duduk bersimpuh dan juga wanita sepuh yang menatapnya tajam.“Pak Samudra, dan anda Bu Widya yang terhormat, apa ada yang mau disampaikan sebelum Mentari tercinta kalian ini terjun bebas ke sana?” Ratri menunjuk ke bawah sana.“Dasar wanita tidak tahu malu, tidak tahu diuntung! Apa urat malumu sudah putus? Kamu makan di rumahku selama ini, lalu mengais rezeki di perusahaan menantuku, inikah balasannya?” Widya mengecam.“Anda hanya menghitung kebaikan kalian saja, Bu. Seolah saya ini hanya pengemis di rumah kalian. Kalian lupa kalau aku bekerja. Bahkan dengan segala loyalitas tertinggi. Aku bekerja, Bu. Maka, pantas bukan k
263Di sini, di tempat yang sama dengan waktu sekitar satu setengah tahun lalu, Samudra bersimpuh. Poisis yang sama, gundukan tanah merah yang sama. Nisan yang sama. Namun, dengan kepedihan yang berbeda. Kali ini jauh lebih sakit dari sebelumnya.Jika dulu ia hancur, kini jauh lebih hancur berkeping-keping karena harus melihat semua dengan mata kepalanya sendiri. Semuanya terlalu menakutkan, semua terlalu mengerikan. Tidak pernah terduga semua akan terjadi seburuk ini.Air mata sudah tak terhitung yang terjatuh, Namun, semua tak merubah apa pun. Ia tetap di sini, kehilangan.Orang yang sama dengan delapan belas tahun lalu, berjongkok di sampingnya. Mengusap pundak sang pria sesaat.“Maaf, kali ini aku tidak bisa melakukan apa pun.” Kalimat itu tertangkap pelan telinga Samudra.“Semua di luar kendaliku. Tim kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi Tuhan berkehendak lain.”Samudra hanya bisa mengangguk lemah tanpa menoleh. Diusapnya nisan di hadapan dengan pedih.“Saranku jangan ter
264“Halo jagoan, halo juga princess Papa.”Samudra langsung mengangkat kedua anaknya yang antusias menyambut. Tak dipedulikan tubuhnya yang masih belum vit. Melihat kedua anaknya yang berebut ingin digendong, rasa perih di punggung dan tubuh yang masih lemah kalah dengan rindu yang sempat tertunda.Diciuminya kedua bayi yang kesenangan itu bergantian sebelum dibawa mendekati ranjang pasien di mana penghuninya terbaring lemah. Pasien itu salah satu pipinya ditutup perban, sedangkan mata kanannya masih tampak bengkak dan membiru.Samudra menyerahkan kedua bayi kepada wanita berkerudung instan yang berdiri di samping ranjang.“Abang Barra sama Adek Bulan main sama Mbak Rumi dulu, ya. Papa mau bicara sama Bunda dulu.” Kedua bayi awalnya menolak untuk dialihkan ke pengasuhnya. Namun setelah dibujuk dengan mainan, keduanya baru mau.Samudra tersenyum memperhatikan kedua anaknya yang kembali sibuk bermain. Setelahnya, langsung menghampiri ranjang. Mendekatkan wajah pada wajah pasien yang me
265“Istirahat dulu, ya. Biar kamu cepat sembuh.” Samudra membelai kepala Mentari yang terbungkus kerudung. Berusaha mengalihkan perhatian agar tak terus bertanya soal kejadian mengerikan itu.“Mas, siapa dia? Apa dia salah satu orang-orangnya Ibu? Aku ingin berterima kasih.”“Sayang ….”“Mas, aku berhutang budi padanya. Kalau ia tidak menyiapkan dirinya di bawah, pasti tubuhku sudah hancur atau minimal patah-patah. Dan saat ini aku mungkin tidak lagi berada di sini, melainkan di kubur—”“Sayang, jangan bicara yang tidak-tidak, jangan membuat Mas takut. Kamu selamat, itu sesuatu yang paling Mas syukuri dalam kejadian ini.” Samudra menggeleng kuat. Tidak mau membayangkan seandainya Bastian tidak datang tepat waktu dan sengaja menyediakan tubuhnya agar tubuh Mentari menimpa dirinya.Mungkin saat ini ia tengah gila ditinggalkan dua orang terkasih dengan cara mengenaskan.“Ya, aku bersyukur masih di sini. Masih bisa bertemu dan berkumpul dengan kamu dan anak-anak. Makanya aku ingin tahu s