227[Cepet sembuh, cepat pulang. Biar bisa tidur di sini lagi.]Sambil tersenyum, Mentari mengirim foto ranjang mereka ke nomor Samudra. Sebelumnya, ia pun mengirim foto-foto ranjang si kembar yang baru dikirim tadi siang. Dua ranjang kecil yang terpaksa di simpan di kamar yang sama dengan dirinya, karena tidak ada ruangan lain di unit itu selain ruangan yang dipakai ruang kerja Samudra dulu dan kamar itu sendiri.[Jangan bilang nggak kangen tidur di sini. Jangan bilang juga nggak kangen sama parter di ranjang ini.]Mentari semakin menjadi. Entahlah kenapa ia jadi senakal ini. Yang pasti setelah kepulangan dari rumah sakit tadi, rasa rindunya pada Samudra semakin menggebu. Rasanya tidak ingin terpisah jauh dan lama. Tapi keadaan yang memaksa. Tidak mungkin ia egois membawa kedua anaknya untuk tinggal di rumah sakit lagi.Selain tidak baik untuk kesehatan anak-anaknya, itu juga akan mengundang kecurigaan orang lain jika Samudra sebenarnya sudah sadar. Karenanya ia terpaksa menekan rasa
228“Mbak Ratri benar kerja di kantor ayahku?” Mentari mengulang pertanyaan saat dua orang yang spontan menoleh padanya tidak ada yang menjawab.Kening wanita itu berkerut. Sementara orang yang ditanya hanya menatap lurus padanya. Ekspresinya seperti biasa. Datar. Tidak ada raut terkejut atau apa pun di sana.“Jadi, Nona Mentari belum tahu? Pak Samudra tidak pernah menceritakan?” Ratri balik bertanya dengan tetap tenang. “Sudah saya duga jika hubungan kalian memang tidak sedekat itu. Pak Samudra tidak mungkin menceritakan semua detail tentang hidupnya selama berpisah dengan Nona. Termasuk betapa besarnya kepercayaan Pak Samudra terhadap saya di kantor.”Mentari menahan nafas sebelum menelan ludahnya dengan susah payah. Ya, Samudra memang tidak pernah bercerita jika Ratri bekerja di kantor ayahnya. Pun tentang bagaimana ia menjalani kehidupannya selama mereka berpisah. Karena memang selama ini mereka belum banyak bicara.
229Mentari memejam dan mengembus napas sesaat setelah memasuki ruangan di mana Samudra dirawat. Moodnya menjadi buruk? Tentu saja. Bertemu dan bicara dengan Ratri membuat hati yang yang dibawa dari rumah dengan dipenuhi taman bunga. Kini mendadak dipenuhui kobaran api.Ia kesal dengan Samudra yang membawa Rati masuk perusahaan ayahnya. Tapi jika dipikir-pikir, itu terjadi dulu, saat hubungan mereka tidak baik-baik saja. Sayangnya, kini pun tidak ada itikad Samudra untuk menyampaikan padanya.Mentari menatap pria yang berbaring. Kali ini menelungkup. Mungkin pegal terus-menerus berbaring menyamping. Kini hanya wajahnya yang menyamping. Matanya memejam pertanda ia sedang tidur. Ingin rasanya langsung menghamburan berbagai omelan untuk meluapkan kemarahan, tetapi saat melihat luka bakar memenuhi punggungnya. Belum lagi di area tubuh lainnya, rasanya tidak tega.Entah berapa banyak kebaikan pria itu terhadapnya. Bahkan di saat hubungan mereka dulu memburuk, Samudra sama sekali tidak menin
230“Maafkan Mas, Sayang. Mas belum sempat bicara mengenai Ratri. Dulu, setelah kita berpisah dan ibu meninggal, Mas bingung tidak punya orang kepercayaan di perusahaan ayahmu. Tapi juga tidak mungkin meninggalkan begitu saja perusahaan yang sudah dibangun lagi dengan susah payah. Belum lagi Hanggara Enterprise yang juga morat-marit ditinggal Bang Benny. Mas merekrut Ratri karena berpikir dia bisa ditempatkan di sana.”Samudra bercerita dengan posisi duduk bersandar. Namun tetap menyamping karena punggungnya yang tidak boleh menempel dengan sesuatu. Ia memutuskan menceritakan semua, tapi sebelumnya meminta agar Mentari tidak memotong ucapannya.Ia hanya ingin didengarkan dulu tanpa disela atau bahkan dibantah.“Semua karena alasan professional semata,” lanjutnya dengan tatapan sendu nan serius.“Dia berkompeten, memiliki loyalitas yang tinggi yang sudah kita lihat selama menjadi asisten ibu. Dan pendidikannya juga mumpuni.”Mentari membuang muka. Walaupun kenyataannya memang begitu, r
231“Kita menikah lagi sekarang juga, Mas.”Hening menyergap setelah kalimat Mentari barusan. Kalimat yang dikira Samudra hanya rengekan karena kekesalan wanita itu terhadap Ratri. Samudra menatap sang wanita dengan senyum tertahan.“Sayang … Mas sedang meminta pendapat kamu. Iya, kita akan menikah lagi. Itu pasti. Tapi sekarang Mas sedang serius. Mas ….”“Dan aku juga serius, Mas!” Mentari memotong tajam. “Ayo kita menikah sekarang juga,” lanjutnya tegas.“Sayang ….” Samudra mengangkat tangannya tanda meminta pengertian sang wanita. Senyum geli berusaha ia sembunyikan.“Kita sedang membahas masalah Ratri. Dan ….”“Dan satu-satunya solusi memang menikah lagi secepatnya, Mas.” Lagi, Mentari memotong. Wajahnya sangat serius.Samudra bergeming. Matanya memancarkan tatapan lelah. Sungguh, ia berharap solusi untuk masalah ini. Bukan keinginan keras kepala Mentari. Dan satu yang baru ia tahu jika Mentari masih tetap yang dulu. Yang sifat kekanak-kanakkan masih belum bisa diganggu meski kini
232“Maaf ya, Sayang, baru bisa memberikan pernikahan yang alakadarnya dulu.” Samudra menatap wanita yang baru selesai bermake-up sendiri. Sementara ia baru saja dipakaikan jas longgar yang terdapat kancing di belakang punggungnya.Tadi Hamish datang atas permintaannya untuk membawakan barang-barang yang diperlukan. Tidak banyak sebenarnya. Hanya sebuah jas untuknya, set make up sederhana untuk Mentari dan sebuah cincin berlian. Meski dadakan dan terburu-buru, ia tetap ingin ada kesan istimewa pernikahan ulangnya ini.Tetap ingin meninggalkan kesan mendalam untuk dikenang di kemudian hari. Juga sebagai pengingat betapa berbesar hatinya Mentari menjalani pernikahan sederhana di rumah sakit. Semua untuk pelajaran hidup ke depannya agar ia lebih hati-hati menjaga lisan dan tentu lebih matang dalam mengambil keputusan. Apalagi yang berkaitan dengan pernikahan, ikatan yang sakral.“Mas janji setelah sembuh nanti, akan adakan pesta untuk pernikahan ulang kita. Kamu boleh minta acara yang sep
233“Tidak ada, dok. Kita mulai saja.” Samudra langsung menjawab agar cepat selesai. Ia malas harus mendengar sindiran-sindiran lainnya dari dokter pribadi ibunya itu. Bukan apa-apa, banyak orang asing di sana.Walaupun penghulu dan beberapa pria lainnya yang hadir di sana seolah tidak peduli, tetap saja ia tidak nyaman.“Oh, ya. Ini suami saya yang akan menjadi salah satu saksi pernikahan kamu Dek, Sam.” Dokter Rena menunjuk seorang pria berkemeja putih yang tersenyum. Tentu saja Samudra familiar dengan wajah sang pria walaupun tidak kenal dekat.“Dan ini, Bapak Husein marbot masjid di sekitar sini saksi lainnya.”Pria seusia Samudra yang berdiri di samping suami dokter Rena, tersenyum dan mengangguk.“Lalu ini Bapak Penghulu, dan sisanya Bapak ini imam masjid yang akan menjadi wali hakim Mentari. Benar kan, Nak Tari ini sudah tidak memiliki keluarga laki-laki dari pihak ayah?” tanya dokter Rena lagi untuk meyakinkan.“Iya, dok. Saya sebatang kara.” Mentari menjawab pelan. Tetiba hat
234Ruangan mendadak sepi, bahkan cenderung tegang. Tidak ada yang bersuara. Samudra, Mentari, dan Ratri larut dalam keterkejutan. Sementara beberapa pria yang dibawa dokter Rena mengerutkan kening mereka dalam keheranan. Hanya dokter Rena yang tetap santai. Wanita seumuran Benny itu memassukkan kedua tangan ke dalam saku jas putihnya.“B-bu … Wid-dya ….” Bibir Ratri bergetar menyebut nama itu. Sepasang matanya bahkan tak berkedip sejak tadi untuk memastikan jika dirinya tidak salah melihat. Tubuhnya yang semula berontak, kini mematung dalam pegangan dua laki-laki besar itu.“Ya, kenapa?” Wanita ber-sweeter dan ber-syal rajut di lehernya yang duduk di kursi roda, menggerakkan tangannya. Meminta seorang wanita muda yang mendampinginya untuk mendorong kursi rodanya.“Kamu pikir saya hantu? Oh, saya lupa jika kamu memang menginginkan saya mati agar bisa tetap mengatakan wasiat palsu saya.” Lanjut wanita sepuh dengan tatapan tak lepas dari wajah Ratri.Awalnya, semua orang mengira kursi r