Pak Farhan diam. Sang istri menceritakan tentang menantu perempuan mereka, tapi secara tidak langsung menunjukkan pada dirinya sebagai seorang suami, betapa sakitnya hati Bu Tiwi berpuluh tahun lalu. "Rin bisa hidup tanpa Daffa, tapi bagaimana dengan anak kita? Apa Daffa bisa tanpa Rin dan anaknya?" Bu Tiwi menarik napas dalam-dalam. Pak Farhan diam."Kalau rumah tangga Ika tidak mungkin diselamatkan karena terlalu fatal, jangan biarkan rumah tangga Daffa dan Rin hancur berantakan. Kesalahan Rin tidak merugikan perusahaan. Kesalahan Bobby tidak hanya membuat rugi perusahaan, tapi menghancurkan reputasi kita dihadapan keluarga besar papa."Pak Farhan kian beku. Serasa tertampar berulang kali. Dipikirnya sang istri sudah baik-baik saja setelah sekian lama permasalahan itu berlalu. Luka yang demikian membekas, pasti ada penyebabnya. Mungkinkah Bu Tiwi telah tahu semuanya?"Kubikinkan kopi, Pa." Bu Tiwi memindahkan tangan Pak Farhan dari bahunya. Lantas bangkit dan keluar kamar.Tinggal
Ika melempar tasnya ke sofa. Wajahnya penuh kemurkaan. Rasa sakitnya bertambah-tambah setelah menemui mertuanya siang itu. Tanggapan mereka diluar dugaan. Pak Farhan dan Bu Tiwi muncul dari dalam dan duduk di sofa depan putrinya."Nyesel aku menemui mereka, Pa." Ika bicara sebelum papanya bertanya."Mertuamu bilang apa?" tanya Pak Farhan."Mereka nggak mau tahu tentang tingkah Bobby. Aku disuruh menyelesaikan masalah ini sendiri. Mereka bilang nggak komunikasi sama sekali dengan Bobby. Bohong mereka. Nggak mungkin Bobby nggak menelepon mama atau adiknya. Mereka pasti menutupi keberadaan Bobby."Wajah Pak Farhan memerah. Sakit hati mendengar penjelasan putrinya. Sedangkan Bu Tiwi diam memandang si sulung yang tampak marah dan frustasi.Apa yang terjadi pada Ika sekarang, itulah yang mereka lakukan pada Rinjani ketika Daffa ketahuan selingkuh. Bu Tiwi sedih. Semua berbalik pada anaknya.Ika masih memiliki orang tua dan saudara yang lengkap. Sedangkan Rinjani tidak memiliki siapa-siapa
RINDU YANG TERLUKA - Maaf"Kita mau ke mana, Pa?" tanya Bu Tiwi setelah beberapa saat mobil meninggalkan rumah, dipandu oleh sopir mereka. Melaju di jalanan yang padat kendaraan. Hari Minggu atau hari biasa, Surabaya selalu seperti ini.Suami yang ditanya tersenyum sembari meraih jemarinya untuk di genggam. Kejutan seperti apapun tidak istimewa bagi Bu Tiwi. Jalan-jalan, perhiasan, atau bermalam di resort, sudah bisa ditebak. Setelah pengkhianatan itu, yang ada hanya meneruskan dan menjalani hidup serta beribadah. Semoga jika sewaktu-waktu kembali dalam keadaan tidak terlalu banyak dosa yang memberatkan timbangan.Mobil memasuki gerbang tol. Bu Tiwi sudah mengira kalau akan menempuh perjalanan ke Malang. Apa dirinya diajak mencari tahu keberadaan Bobby atau menyusul Daffa?Seperti biasa Tol Surabaya-Malang padat kendaraan. Hampir setiap hari ribuan kendaraan melalui jalur itu. Mulai dari truk besar pengangkut barang, juga para pengendara mobil pribadi dan wisatawan yang ingin menjela
"Mas, nggak ganti baju?" tanya Rinjani yang duduk di puff bentuk persegi di depan meja rias dan mulai menyapukan bedak ke wajahnya."Pakai ini saja nggak apa-apa." Daffa mengambil jam tangan di nakas dan memakainya. Dia tidak mengganti celana cardinal pendek warna hitam yang dikenakannya sejak pagi, juga kaus hitam pekat berkerah.Lelaki memang lebih simpel. Ke mana-mana tidak seheboh perempuan yang mempersiapkan segala pakaian dan printilan.Waktu di telepon sang papa dan dimintai alamat, Daffa memutuskan untuk bertemu dengan mereka di luar saja. Jauh dari tempat tinggal istri dan anaknya. Meski dari nada bicara sang papa tadi terdengar kalem dan tenang, Daffa tetap saja waspada. Dia tahu papanya ini seperti apa. Susah payah ia membangun kepercayaan Rinjani, tidak akan membiarkan siapapun mengusiknya lagi. Termasuk keluarganya sendiri.Mungkin saja papanya memang sudah berubah setelah anak perempuannya dikhianati sang suami. Pintu hatinya terbuka dan bisa mengerti akan keputusan Daf
"Kakek mana, Pa?" tanya Noval beberapa saat setelah duduk di bangku kafe dan tidak menjumpai sang kakek di sana."Masih diperjalanan. Sebentar lagi sampai."Fiveteen Cafe. Daffa menentukan tempat di mana mereka bisa bertemu. Keraguannya atas sikap sang papa yang mendadak berubah, membuat lelaki itu tetap waspada untuk menjaga kenyamanan istrinya.Cafe itu menjadi pilihannya. Tempat yang memiliki pemandangan mengagumkan. Dikelilingi panorama hijau yang menyejukkan mata. Dari ketinggian mereka bisa menikmati keindahan Gunung Panderman.Daffa dan Rinjani memesan beberapa makanan yang menjadi kegemaran Pak Farhan dan Bu Tiwi. Jadi mereka sampai bisa langsung makan siang."Kakek!" teriak Noval langsung berpegangan pada meja untuk turun. Bocah itu berlari dan memeluk Pak Farhan yang muncul dari tangga. Mereka mengambil tempat duduk di bagian luar atau outdoor, supaya bisa menikmati panorama alam. Pak Farhan menggendong dan memeluk erat Noval. Rasa kangennya juga tidak terkira. Bu Tiwi menc
RINDU YANG TERLUKA - Rumah Bercat Hitam Wajah Pak Farhan merah padam menahan amarah. Lelaki itu hendak merengsek ke depan untuk menghajar menantunya. Begitu juga dengan Daffa. Dadanya membara ingat kelakuan buruk Bobby yang mencoba menjebaknya tentang SPJ projeknya. Namun Bu Tiwi menahan mereka. "Jangan, Pa. Kita lakukan saja apa yang sudah kita rencanakan sebelumnya. Mari kita pergi. Ribut nggak akan menyelesaikan masalah."Bu Tiwi berkaca-kaca. Sungguh sakit melihat dengan mata kepala sendiri tentang perselingkuhan menantunya. Seperti dejavu, ia terlempar pada peristiwa berpuluh tahun lalu. Namun dia dituntut untuk kembali tegar dan kuat sekarang ini. "Kita pergi dari sini!" ajak wanita itu.Akhirnya mereka kembali turun setelah Daffa berhasil mengambil beberapa foto Bobby dan selingkuhannya. "Seperti yang mama bilang tadi siang. Kalau sampai kita labrak terang-terangan dan ada yang memviralkan, Zahra dan Altha akan ikut menanggung akibatnya. Terutama Zahra yang sudah besar. Mer
Daffa mengeratkan genggaman sambil terus melangkah di trotoar. Menikmati malam kota Batu yang semakin dingin. Daffa melepaskan jaket dan menangkupkan ke punggung istrinya. Mereka saling pandang dan tersenyum.Di mata Rinjani, Ika ini meskipun tidak begitu baik padanya, tapi dia sangat mencintai suaminya. Mereka pasangan yang serasi. Sering traveling hanya berdua saja dengan Bobby. Bukankah ini upaya untuk merawat cinta. Tapi kenapa Bobby selingkuh juga?Kadang heran dengan pemikiran pria-pria seperti ini. Apa yang dicari sebenarnya. Kalau urusan ranjang di kejar, tidak akan pernah ada habis dan puasnya. Mereka memelankan langkah. Memanfaatkan waktu untuk menikmati malam dengan rembulan yang bersinar penuh di angkasa. Ketika tengah ngobrol, ponsel Daffa berdering. Sang papa menelepon. Mengajaknya keluar malam itu ke alamat tempat tinggal Bobby.Lelaki itu sudah menunggu putranya di halaman hotel bersama dua orang kepercayaannya."Apa kita tidak dicurigai kalau ke sana malam-malam begi
"Minggu depan katanya, Mas. Tapi hanya anggota keluarga saja yang di undang, sebab calonnya sangat sibuk. Memangnya pekerjaan teman Mas itu apa?""Pengusaha, Bu," jawab Daffa sekenanya."O, pantesan. Mbak Utari baru saja dibelikan mobil sedan. Katanya juga dibelikan rumah di kota sana. Pembantunya yang cerita sama saya. Kalau Bu Utami hampir nggak pernah keluar rumah. Kalau pun pergi saat dijemput sama pria yang melihara dia."Daffa merinding mendengarkan bahasa yang digunakan oleh ibu pemilik warung. "Ibu, tahu mereka akan menikah hari apa?""Wah kalau harinya saya nggak tahu, Mas. Pembantunya cuman bilang minggu depan gitu saja.""Berarti dalam minggu-minggu besok ini ya, Bu. Sebab besok sudah hari Senin.""Iya. Wong pembantunya bilang sama saya pas hari Rabu kemarin, Mas. Tapi sebagai teman, apa Mas nggak dikasih tahu?""Kami jarang bertemu, Bu. Makanya saya mau ngasih kejutan di hari pernikahan mereka nanti.""O, gitu." Ibu itu tersenyum. Tentu seru kalau ada kejutan dari teman p