Karirnya hancur. Impian menjadi dokter adalah cita-citanya semenjak kecil. Namun kini terancam tinggal kenangan.
"Pergi jauh dari kota ini. Mulai lagi karirmu. Penjara tiga bulan nggak akan membuat karirmu tenggelam." Mak Ewok tadi sore bicara begitu padanya. Namun apa masih ada orang yang percaya padanya? Profesi dokter sangat berkaitan dengan keselamatan pasien. Lantas bagaimana jika dirinya sendiri telah menganiaya orang. Apa mereka bisa menyakininya lagi? Rinjani mengangkat wajah. Melihat teman-teman satu sel yang terlelap di atas tikar. Mereka sudah terbiasa setelah berbulan-bulan menghuni ruangan dengan ukuran 4X4 meter itu. Bahkan dengkuran Mak Ewok yang terdengar di segala penjuru, tidak menjadikan itu sebuah gangguan. Mereka sudah terbiasa. Mungkin sekarang dirinya tengah menjadi perbincangan para tenaga kesehatan di rumah sakit, para kenalan, teman, kerabat, dan orang lain yang tahu tentang kasusnya. Emosi telah membuatnya berakhir di sini. Entah apa pendapat mereka tentang perbuatan yang ia lakukan? Akankah mendapatkan pembenaran karena telah menyerang perempuan yang menjadi orang ketiga dalam pernikahannya? Bisa jadi dibodohkan karena tindakan yang menjadikan dirinya kehilangan pekerjaan. Apa dirinya kurang sabar? Hampir lima bulan semenjak membaca chat sang suami dengan perempuan itu, Rinjani menekan emosi, menjaga sikap dihadapan suami. Sabar mencari tahu dan terus menyelidiki hingga akhirnya dia tahu kebenaran tentang perselingkuhan suaminya. Perempuan itu, sebenarnya hanya staf biasa di sebuah perusahaan yang menjadi rekan bisnis Jaya Gemilang. Perusahaan keluarga besar Daffa. Namun Abila ini anak dari keluarga kaya yang orang tuanya bercerai. Dia anak semata wayang . Ibunya menetap di Jakarta dan tinggal dengan berondongnya, sedangkan sang ayah pergi ke luar negeri. Sementara kakek dan neneknya pemilik kontrakan yang menyebar di penjuru kota besar ini. Dia li4r karena kurang perhatian. Soal uang jangan ditanya. Tak kan habis tujuh turunan bahkan tujuh tikungan. Abila bekerja hanya untuk mengisi waktunya saja. Untuk bersenang-senang dalam dunia yang mempertemukannya dengan banyak pebisnis muda. Para eksekutif yang kagum dengan kecantikannya. Keluarga besarnya memiliki kekuasaan di mana-mana. Makanya tidak susah untuk menjebloskan Rinjani ke dalam penjara. Sampai pembelaan kenapa dia melakukan hal itu karena Abila telah merusak rumah tangganya saja, sama sekali tidak mendapatkan pertimbangan dari pihak hakim. Dalam beberapa hari, Rinjani bisa tahu siapa tentang gadis itu. Tentu saja ada bantuan dari Desy, teman baiknya. Menunggu hari esok terasa begitu lama. Semoga proses pembebasan bersyaratnya bisa dikabulkan pihak yang berwenang. Rinjani sangat rindu pada Noval. ***L*** "Rin, om terlambat mengajukan pembebasan bersyarat untukmu. Ternyata pengacara Daffa sudah lebih dulu mengurusnya. Kemungkinan lusa kamu sudah bisa keluar dari penjara." Pak Haslam memberitahu sang keponakan saat besuk pagi itu. "Lebih baik saya tetap di sini daripada dia yang membebaskan, Om." Rinjani sangat kecewa. Walaupun yang menolongnya adalah suami sendiri. Lelaki yang sudah mengkhianati cintanya, kini sok jadi pahlawan dan bertanggungjawab padanya. "Nduk, yang penting kamu bebas dulu. Mungkin kamu hanya perlu dua kali saja wajib lapor karena masa hukumanmu tinggal tujuh minggu. Kamu ingin bertemu Noval, kan?" Rinjani mengangguk pelan. "Tapi saya nggak ingin kembali ke rumah itu, Om. Walaupun Mas Daffa yang menjamin, saya tidak harus ikut bersamanya. Om, bisa datang kan di hari kebebasanku." "Om, akan menjemputmu." Mendengar jawaban Pak Haslam, Rinjani tampak lega. "Tante Mila sudah sembuh, Om?" "Alhamdulillah, sudah. Tantemu hanya kecapekan saja." Hening sejenak. Rinjani memainkan jemari tangannya yang bertaut di atas meja. Kemudian kembali memandang Pak Haslam. "Om, saya ingin mengajukan gugatan perceraian." Lelaki berkacamata yang sudah menduga tentang hal itu, tidak terkejut dengan ucapan Rinjani. Beberapa hari ini ia sudah membahasnya dengan sang istri. "Yang penting kamu bebas dulu sampai selesai masa wajib lapormu. Setelah itu, kita bisa membicarakannya." "Iya. Saya ingin memperjuangkan hak asuh Noval dan membawanya pergi dari kota ini. Buka praktek di desa kecil. Mungkin di sana tenaga saya diperlukan dan masih bisa dipercaya." "Kamu mau tinggal di mana? Di kota ini kamu masih bisa berkarier. Percayalah pasti masih ada peluang." Rinjani tampak ragu, rasanya tidak yakin akan mendapatkan peluang itu. Petugas penjara memberitahu kalau jam besuk sudah habis. "Om pulang dulu. Om akan datang lagi saat kamu dibebaskan bersyarat." "Terima kasih banyak, Om." Rinjani mencium tangan Pak Haslam cukup lama. Lelaki itu mengusap rambutnya. "Om akan selalu ada buatmu. Jangan merasa sendirian. Tante Mila pun selalu berdiri di belakangmu. Karirmu belum berakhir, pasti ada peluang lagi nanti. Tetap semangat, Dokter Rin." Pak Rosyam tersenyum menyemangati anak perempuan dari kakak lelakinya. Rinjani terharu sekaligus bahagia. Masih ada yang peduli padanya. Padahal setelah peristiwa itu, ia sangat khawatir kalau om sama tantenya bakalan mengamuk karena mereka yang menjaganya sejak kecil. Untuk biaya sekolah dan kuliah, Rinjani menjual pekarangan peninggalan kedua orang tuanya. Tapi tetap saja omnya memiliki andil dalam membiayainya. Sekolah kedokteran tidaklah murah. Awalnya memang kecewa, tapi setelah Rinjani menjelaskan apa alasan yang membuatnya nekat, mereka bisa mengerti. ***L*** Senyum Daffa merekah saat Rinjani keluar dari pintu besar itu dengan pakaian rapi. Blouse kembang-kembang warna putih dan celana bahan warna milo. Rambut wanita itu dibiarkan tergerai. Tampak indah ditiup semilir angin. Daffa berjalan menghampiri. Rinjani berhenti dan mengedarkan pandangan ke tepian jalan. Kenapa omnya belum datang. Karena terlambat atau tidak jadi menjemputnya? "Dokter Rin," ucap Daffa setelah berdiri tegak di hadapan istrinya. Wajah tampan itu menampilkan senyum manis. Ada kobar bahagia dan rindu menyala-nyala di binar matanya. "Jangan panggil seperti itu. Mungkin aku bukan dokter lagi. Btw, terima kasih sudah membebaskanku, Mas," ucap Rinjani dingin. "Ucapanmu terlalu formal, Dok. Mari kita pulang!" Daffa mengulurkan tangannya. "Noval menunggumu di rumah. Dia tidak sabar ingin bertemu mamanya." Rinjani masih diam. Membiarkan tangan suaminya mengambang di udara. Meski jiwanya menangis mendengar nama putranya disebut. Ia rindu. Sekali lagi pandangan Rinjani menyapu tepian jalan. Di mana Om Haslam? Hatinya lega saat melihat sebuah mobil muncul dan berhenti agak jauh dari mobilnya Daffa. "Maaf, aku nggak akan pulang ke rumahmu, Mas. Terima kasih banyak untuk kebebasanku hari ini. Aku akan membayarnya suatu hari nanti." Rinjani melangkah ke arah Pak Haslam yang baru turun dari mobil. "Rin," panggil Daffa. Lelaki itu tidak menyangka kalau Pak Haslam datang disaat yang tepat. Next ....RINDU YANG TERLUKA- Playboy "Om." Daffa mencium punggung tangan Pak Haslam. Tidak mengira kalau lelaki ini akan menjemput Rinjani. Tapi Daffa tahu kalau beberapa hari yang lalu Pak Haslam hendak mengurus pembebasan bersyaratnya Rinjani, hanya saja sudah keduluan dirinya yang memproses."Apa kabar, Nak Daffa?""Kabar baik, Om.""Aku akan pulang ke rumah Om, Mas," sela Rinjani."Kamu nggak kangen Noval? Dia menunggumu di rumah karena mas bilang kalau hari ini kamu pulang.""Hanya Allah yang tahu bagaimana hatiku saat ini," jawab Rinjani dengan netra berkaca-kaca. Kangennya sudah tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Bagaimana bisa suaminya bertanya apa dia tidak kangen anaknya?"Aku akan menemuinya nanti malam. Dia harus melihat ibunya dalam keadaan bahagia dan baik-baik saja. Bukan dalam keadaan seperti ini. Aku ingin menenangkan diri dulu." Rinjani menghindari bersipandang dengan suaminya.Ponsel Daffa bergetar di saku celana. Saat dilihat, tertera nomer rumahnya. Pasti Noval yan
"Nggak usah." Rinjani melepaskan tangannya dan berbalik hendak keluar. Namun dengan cepat, Daffa berhasil meraih lengannya. "Sayang, kamu pilih bajunya."Ini untuk pertama kali, Rinjani merasa muak dengan panggilan 'sayang'. "Nggak perlu, Mas. Bajuku ini pantas kupakai. Segera pulang saja, aku ingin segera bertemu Noval.""Please." Daffa menahan istrinya. "Tidak." Rinjani mendongak dan menatap tajam netra suaminya. Daffa mengalah. Namun setelah keluar toko, Daffa menariknya untuk masuk ke sebuah toko perhiasan yang terkenal paling mahal di kota mereka. Mulai dari emas 24 karat sampai berlian-berlian mewah ada di sana dan bisa di memesan jewelry yang diinginkan."Nggak usah merayuku dengan benda-benda seperti ini, Mas. Simpan saja uangmu. Memelihara gundik juga butuh uang."Daffa terhenyak sejenak. Ucapan itu cukup menyengat dalam dada. "Coba kamu lihat-lihat saja dulu, siapa tahu ada yang kamu sukai."Rinjani melepaskan tangannya dan melangkah cepat ke arah mobil. Andai dia punya ua
RINDU YANG TERLUKA- Kamar"Aku tidur di kamar Noval," jawab Rinjani datar."Tidur di kamar ini saja. Kita bisa ngobrol, Rin."Rinjani melepaskan cekalan tangan Daffa. Namun jemari itu kuat mencengkramnya. Malah Daffa menjatuhkan lututnya dan memeluk kaki Rinjani. "Rin, please! Berikan mas kesempatan untuk bicara. Mas minta maaf, Sayang."Seringai tipis terbit di bibir Rinjani. "Jangan panggil aku Sayang. Aku muak mendengarnya, Mas. Sebutan yang kau pakai untuk perempuan itu juga." Rinjani berusaha melepaskan kakinya. Namun rangkulan Daffa menguncinya."Rin, maafkan mas."Rinjani diam. Membiarkan Daffa meracau dengan kalimat-kalimat penyesalannya. Tidak sepatah kata ia menjawab. Tatapan wanita itu terbuang di sudut kamar. Cinta, rindu, benci, kecewa, marah, muak, dan entah kata apa lagi berkecamuk dalam dadanya. Membuat sesak dan ingin mengamuk rasanya."Jangan diam, Rin. Bicaralah. Maki dan sumpah serapahi suami ini. Mas akan menerimanya."Wanita itu membeku. "Sayang." Daffa menggun
"Nggak usah cemas gitu. Aku sudah nggak shock lagi sekarang. Bahkan aku sudah siap jika pernikahan kita selesai." Ucapan Rinjani membuat Daffa menatapnya tajam. Wanita itu berdiri. "Mana kuncinya, Mas. Aku mau keluar. Aku nggak bisa sekamar lagi denganmu.""Jangan seperti ini, Mas. Kita bisa bersikap secara dewasa menghadapi kemelut ini. Biarkan aku keluar menemani Noval." Suara Rinjani melembut dan berkata bijak saat melihat Daffa masih diam.Rinjani sendiri yang memilih Daffa dan mengabaikan beberapa nasihat temannya. Ia juga yang memutuskan untuk menerima lamaran dan hidup bersama dengan lelaki ini. Jadi ada permasalahan apapun ia harus bisa mengatasinya sendiri."Mas."Akhirnya Daffa bangkit setelah beberapa saat membiarkan istrinya menunggu. "Tidurlah di sini, mas akan tidur di sofa. Katamu baru saja, kita harus bersikap dewasa, kan? Lagian di kamar Noval hanya ada satu tempat tidur yang dipakai Lastri. Kamu nggak mungkin tidur di lantai.""Sebulan lebih aku sudah terbiasa tidur
RINDU YANG TERLUKA - Ancaman Siapa orang yang menginginkan dirinya hancur? Kekasih gelap suaminya kah? Rinjani selama ini merasa tidak punya musuh, kecuali wanita itu.Saran dokter Ratih tepat. Lebih cepat lebih baik ia segera menulis surat pengunduran diri. Sekarang saja mumpung Noval belum pulang sekolah. Rinjani berbalik arah dan kaget saat tubuhnya menabrak sang suami. Keduanya saling pandang. Kenapa suaminya tidak ke kantor setelah mengantarkan sang anak ke sekolah? Malas bertegur sapa, Rinjani melangkah keluar. Hendak mengambil laptop di ruang kerja suaminya untuk membuat surat pengunduran diri sebelum terlambat.Daffa tersenyum. "Mas ingin mengajakmu jalan pagi ini sambil nunggu jam Noval pulang sekolah. Nanti kita jemput dia. Noval pasti seneng banget."Rinjani tidak menjawab. "Rin." Daffa menahan sang istri ketika wanita itu hendak melangkah. Menarik raga ramping Rinjani hingga merapat tubuhnya. Dan wanita itu masih tetap diam meski tangannya berusaha melepaskan diri. "P
"Iya, Dok. Lebih cepat lebih baik sebelum keduluan pihak rumah sakit memberhentikan, Dokter. Tampaknya ada satu kekuatan yang mempengaruhi pimpinan kita untuk melakukan pemberhentian tidak hormat pada, Dokter Rin. Kebetulan suami saya yang mendengar pembicaraan itu. Dia ngasih tahu saya, terus saya sampaikan ke Anda. Walaupun saya mikirnya, mungkin tidak akan dokter baca karena Dokter masih di tahanan. Tapi syukurlah Dokter Rin sudah di rumah."Sebenarnya, rekan-rekan kita di sini bisa memaklumi apa yang Dokter Rin lakukan. Namun kami tidak punya kuasa untuk membela. Keputusan tetap ada pada pihak direktur kita. Percayalah, Dok. Nggak ada yang menyalahkan tindakan spontanmu. Kami sangat paham situasimu saat itu.""Makasih banyak, Dok." Rinjani terharu. Rupanya mereka bisa mengerti posisinya."Yang sabar, Dok. Anda masih muda. Tetap semangat dan lanjutkan karir Anda di tempat lain. Semoga lebih sukses.""Aamiin. Makasih, Dok.""Sama-sama. Nanti ada waktu kita ketemuan, ya.""Baik, Dok.
RINDU YANG TERLUKA - Surat Suara ketukan di pintu membuat Daffa dan Rinjani menoleh. Lelaki itu bergerak membukanya. Lastri sudah berdiri di sana sambil menyodorkan sebuah amplop. "Ada surat untuk Ibu, Pak.""Makasih." Daffa terkesiap melihat siapa pengirimnya.Setelah menutup pintu Daffa kembali menghampiri istrinya. Rinjani berdebar-debar. Sekilas terlihat dia tahu surat itu dari mana."Berikan padaku. Itu surat untukku dari rumah sakit." Perasaan Rinjani sudah tak enak. Jemarinya gemetar. Namun ia harus kuat. Daffa pun merasakan hal yang sama. Makanya dia ragu untuk memberikan surat itu pada istrinya. Rinjani yang tidak sabar, mengambilnya dari tangan sang suami. Dengan perasaan tak karuan dan jemari gemetar ia membuka amplop.Pemberhentian Kerja. Ternyata surat itu lebih dulu ia terima disaat belum selesai menulis surat pengunduran diri. Netra Rinjani mengembun. Luka tak berdarah tapi bernanah.Sejenak Rinjani diam mengatur napas usai membaca isinya. Dipuncak rasa sakit dan kec
"Saya sudah diberhentikan, Tan. Barusan saya nerima suratnya pada saat masih mengetik surat pengunduran diri. Saya terlambat." Rinjani terisak sambil bercerita pada Bu Mila di telepon."Sabar, Rin. Pasti ada hikmah dibalik peristiwa ini. Setiap kejadian tidak ada yang sia-sia. Pasti Tuhan memberikan rencana lain padamu meski dengan cara membiarkanmu jatuh lebih dulu. Percayalah, ini bukan akhir dari karirmu. Perbanyak istighfar. Kamu akan mendapatkan jalan keluar. Mantan narapidana pun masih memiliki hak untuk bekerja. Sabar, ya.""Negara memang memberikan peluang, Tan. Tapi bagaimana dengan instansi dan para pasien. Apa masih bisa mempercayai saya.""Jangan khawatir. Jika mereka tahu cerita yang sebenarnya, pasti bakalan dimengerti.""Maafkan saya, Tan. Belum bisa membalas budi pada Tante Mila dan Om Haslam. Justru sekarang saya menambah masalah.""Sssttt, jangan bicara seperti itu. Om dan tante tahu bagaimana kamu. Nggak mungkin akan bertindak di luar kontrol jika tanpa sebab.""Say