Share

9. Kamar 2

"Nggak usah cemas gitu. Aku sudah nggak shock lagi sekarang. Bahkan aku sudah siap jika pernikahan kita selesai." Ucapan Rinjani membuat Daffa menatapnya tajam. Wanita itu berdiri. "Mana kuncinya, Mas. Aku mau keluar. Aku nggak bisa sekamar lagi denganmu."

"Jangan seperti ini, Mas. Kita bisa bersikap secara dewasa menghadapi kemelut ini. Biarkan aku keluar menemani Noval." Suara Rinjani melembut dan berkata bijak saat melihat Daffa masih diam.

Rinjani sendiri yang memilih Daffa dan mengabaikan beberapa nasihat temannya. Ia juga yang memutuskan untuk menerima lamaran dan hidup bersama dengan lelaki ini. Jadi ada permasalahan apapun ia harus bisa mengatasinya sendiri.

"Mas."

Akhirnya Daffa bangkit setelah beberapa saat membiarkan istrinya menunggu. "Tidurlah di sini, mas akan tidur di sofa. Katamu baru saja, kita harus bersikap dewasa, kan? Lagian di kamar Noval hanya ada satu tempat tidur yang dipakai Lastri. Kamu nggak mungkin tidur di lantai."

"Sebulan lebih aku sudah terbiasa tidur di lantai bahkan tanpa alas. Nggak masalah bagiku. Tidur sambil duduk juga pernah. Jadi nggak usah khawatir, lantai kamar Noval 1000 kali lebih nyaman daripada lantai sel penjara."

Ucapan Rinjani membuat Daffa tercekat. Walaupun dia tidak tahu pasti seperti apa rupanya, tapi dia bisa merasakan betapa tersiksanya Rinjani di sana.

"Wajar jika aku mendapatkan itu semua. Sebab sudah berani menyerang perempuan kesayanganmu."

"Rin, please ...."

"Tolong buka pintunya. Hanya untuk membuka pintu, apa perlu aku merengek padamu, Mas."

Daffa tidak menggubris. Ia membuka lemari. Mengeluarkan kaus dan celana pendek untuk ganti. Dengan santainya pria itu berganti pakaian di depan Rinjani. Yang membuat wanita itu membuang muka.

Selesai berganti pakaian, Daffa mengganti lampu kamar yang terang dengan lampu warm white yang temaram. Ia mengambil bantal dan selimut lalu membawanya ke sofa yang terletak mepet dinding samping lemari. "Tidurlah. Kamu pasti capek."

Mengalah lebih baik. Rinjani melangkah ke salah satu sisi tempat tidur. Merebahkan diri di sana dengan posisi miring membelakangi suaminya.

Bulir-bulir bening menetes dari sudut mata. Membasahi bantal. Peristiwa beberapa bulan terakhir ini kembali menjelma. Seolah menjadi film dilayar ingatannya. Sekuat apapun dia berusaha menahan diri dalam mendekap luka, tapi tangis itu tidak bisa dicegahnya.

Wajah perempuan itu terbayang. Cantik, masih muda juga. Selisih tiga atau empat tahun dari usianya. Lahir di keluarga kaya yang haus perhatian dan akhirnya melabuhkan hati pada pria yang salah. Padahal gampang baginya untuk mendapatkan lelaki di luar sana. Dengan modal kecantikan dan kekayaan, laki-laki tajir mana yang tidak takhluk akan pesonanya. Tapi kenapa harus suami orang? Kenapa suaminya?

Gadis itu yang kegatalan atau Daffa yang tidak kuat iman. Pasti dua-duanya. Perselingkuhan tidak akan pernah terjadi, jika salah satu pihak tidak menanggapi.

Sejak dia kembali ke rumah, Rinjani tidak mendengar bunyi ponselnya Daffa. Pun tidak melihat suaminya memegang benda itu. Sedari siang dia sibuk menemaninya dan Noval bermain.

Rinjani ingat ucapan Mak Ewok saat dia pamitan. "Selamat pulang ke rumah, Dokter. Bertemu kembali dengan keluarga dan buah hati. Bersumpahlah jangan pernah kembali lagi ke sini. Tempat ini tak pantas untukmu. Jangan korbankan kehormatan dan harga dirimu dengan mengotori tangan melawan perempuan seperti selingkuhan suamimu. Jangan. Kamu terpelajar. Lakukan perlawanan dengan cara yang paling elegan. Kariermu belum berakhir, Dok. Bangkitlah! Masa depanmu masih panjang."

Terharu sekali saat Rinjani mengingat serangkaian kalimat wanita yang telah menyandang status narapidana bertahun-tahun lamanya.

Dibalik sikapnya yang memprovokasi dirinya untuk bersikap lebih kasar lagi, ternyata ada kalimat-kalimat bijak penuh makna yang dinasehatkan padanya di akhir pertemuan mereka.

Perjalanan panjang, pahitnya hidup, luka, air mata, dan segala peristiwa, telah menjadikan wanita itu sangat bijaksana meski awalnya terlihat sangat kasar dan menakutkan. "Mak Ewok, kuselipkan doa untukmu. Apapun keadaanmu, semoga Allah mengampuni dosa dan melindungimu."

Seperti halnya Rinjani, Daffa yang berbaring di sofa juga tidak bisa tidur. Bukan karena tubuhnya yang terpaksa harus menyesuaikan dengan sofa pendek itu dan membuat tak nyaman, tapi karena melihat punggung Rinjani yang terguncang pelan. Daffa tahu kalau istrinya sedang menangis. Namun ia memilih tidak mendekat. Diperhatikannya hingga Rinjani diam dan terlelap.

***L***

"Nanti Mama yang nganterin Noval ke sekolah, ya," pinta si kecil ketika sedang disuapi sarapan oleh mamanya.

"Noval berangkat bareng papa, ya. Mama belum bisa nganterin," tolak Rinjani sambil tersenyum.

"Mama, mau ke rumah sakit?"

"Nggak, Sayang."

"Tapi mama jangan pergi lagi ya. Kalau Noval pulang ke rumah tapi mama nggak ada. Noval bakalan nggak mau sekolah lagi," ancam sang anak dengan wajah cemberut.

"Mama akan nungguin kamu, Sayang. Yuk, habisin makannya. Nanti telat sampai ke sekolah."

Noval makan nasi putih dan ayam kremes dengan lahap. Daffa yang duduk berhadapan memperhatikan. Sepagi ini, Rinjani tidak mengajaknya bicara sama sekali. Pertanyaannya hanya dijawab dengan bahasa isyarat.

Sepuluh menit kemudian mereka selesai makan. Rinjani mengantarkan sang anak dan suami hingga di teras depan. Kemudian segera masuk kamar untuk mencari buku nikahnya. Sudah di ubek-ubek hingga ke walk in closet tapi tidak ketemu. Ganti beralih ke ruang kerja Daffa, tetap tidak ada. Di mana suaminya menyimpan benda itu.

Rinjani kembali ke kamar, kembali meneliti satu per satu laci, nihil juga. Wanita itu mengambil ponsel, memberanikan diri membuka layar notifikasi. Beberapa pesan masuk dari rekan rumah sakit, dari Desy entah berapa puluh pesan. Ada juga dari omnya. Yang membuatnya berdebar, ada pesan masuk dari dokter umum rumah sakit tempatnya bekerja. Dokter Ratih.

Dengan tangan gemetar dan hati berdebar-debar, Rinjani membuka pesan. Ucapan prihatin diungkapkan oleh seniornya. Ada kalimat yang membuatnya berkaca-kaca.

[Dokter Rin, ini saran saya. Sebaiknya tulis saja surat pengunduran diri sebelum pihak rumah sakit mengeluarkan surat pemecatan. Lebih terhormat dokter mengundurkan diri daripada diberhentikan. Ini hanya sekedar saran. Sebab saya mendengar, ada seseorang yang menginginkan Anda dipecat secepatnya.]

Siapa seseorang itu?

Apa ini pertanda kariernya yang baru beberapa tahun ini berakhir? Netra wanita itu berkaca-kaca. Tatapannya menerawang ke angkasa lepas yang terlihat dari jendela kamar yang terbuka. Merenung hingga tak menyadari sang suami sudah berdiri di belakangnya.

Next ....

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
mungkinkah ada campur tangan keluarga Abila dalam pemecatan Rinjani.. mungkin benar sebaiknya Rinjani ngundurin diri aja.. mungkin nanti bisa buka praktek di tempat lain..
goodnovel comment avatar
ghaurii
tunggu saja karma mu abila...semangat rinjani...apapun itu mari hadapi dengan kepala dingin. sehat2 mbak Lis...
goodnovel comment avatar
Amih Una Una
selalu suka dengan alur crita nya ka lis...trima kasih.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status