"Saya sudah diberhentikan, Tan. Barusan saya nerima suratnya pada saat masih mengetik surat pengunduran diri. Saya terlambat." Rinjani terisak sambil bercerita pada Bu Mila di telepon.
"Sabar, Rin. Pasti ada hikmah dibalik peristiwa ini. Setiap kejadian tidak ada yang sia-sia. Pasti Tuhan memberikan rencana lain padamu meski dengan cara membiarkanmu jatuh lebih dulu. Percayalah, ini bukan akhir dari karirmu. Perbanyak istighfar. Kamu akan mendapatkan jalan keluar. Mantan narapidana pun masih memiliki hak untuk bekerja. Sabar, ya." "Negara memang memberikan peluang, Tan. Tapi bagaimana dengan instansi dan para pasien. Apa masih bisa mempercayai saya." "Jangan khawatir. Jika mereka tahu cerita yang sebenarnya, pasti bakalan dimengerti." "Maafkan saya, Tan. Belum bisa membalas budi pada Tante Mila dan Om Haslam. Justru sekarang saya menambah masalah." "Sssttt, jangan bicara seperti itu. Om dan tante tahu bagaimana kamu. Nggak mungkin akan bertindak di luar kontrol jika tanpa sebab." "Saya belum bisa datang ke rumah Tante." "Nggak apa-apa. Tenangkan diri dulu. Anakmu nggak boleh tahu kalau ibunya sedang sedih. Kasihan Noval. Dia lagi seneng-senengnya melihat mamanya pulang ke rumah." "Bagaimana dengan Noval jika saya bercerai, Tan. Saya nggak sanggup dia kehilangan keluarga kecilnya, tapi saya juga tidak bisa bertahan dengan suami yang sudah berkhianat. Apalagi jika mereka sudah berbuat di luar batas, saya nggak bisa kembali, Tan." "Sejauh itu hubungan mereka?" "Saya nggak tahu. Saya nggak melihatnya sendiri dan punya bukti. Kalau saya tanya, mana mungkin maling mau mengaku." "Rin, tenangkan diri dulu. Jangan sampai kamu mengalami mental illness yang bakalan merugikan dirimu sendiri dan Noval, Nak. Bismillahirrahmanirrahim bangkit demi kamu dan anakmu. Noval masih dalam masa-masa golden age. Jaga dia baik-baik." "Ya, Tan. Makasih banyak sudah ngasih wejangan dan support. Salam buat, Om." "Oke. Jaga diri baik-baik. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." Selesai menelepon Rinjani kembali ke kamarnya. Membasuh muka, membenahi ikatan rambutnya, dan menyapukan bedak ke wajah supaya terlihat lebih segar dan tidak pucat. Dicarinya lagi buku nikah, tapi tetap tidak ketemu. Lantai atas sepi. Entah Daffa tadi pergi ke mana. Bisa jadi kembali ke kantor. Perset4n dengan Daffa. Mak Sum memasak di dapur. Sedangkan Lastri masih di sekolahnya Noval. Mereka terlihat kaku dan sungkan terhadap majikannya setelah perselingkuhan Daffa terkuak. Mak Sum dan Lastri melakukan pekerjaan pun dalam diam padahal biasanya masih suka bercanda. Semua sudah berubah. Rinjani mengetik pesan pada dokter Ratih untuk memberitahu surat pemecatannya. Rinjani juga memberitahu Desy. Namun belum ada balasan. Pasti mereka masih sibuk. Rinjani memandang foto pernikahan yang tergantung di salah satu dinding kamar. Foto ukuran 1X1,5 meter itu tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan mereka berdua saat itu. Apalagi sebulan setelah menikah, Rinjani dinyatakan positif hamil oleh dokter kandungan kenalannya. "Dokter Rin, selamat ya. Anda bunting pelamin ini namanya," ujar dokter berdarah Melayu itu. Daffa menyambut kabar itu dengan bahagia. Sebuah gelang dari emas putih bertahtakan batu rubi menjadi hadiah untuknya. Daffa membelikan apapun untuk memanjakan istrinya. Rinjani manarik nafas panjang. Ternyata semua perhatiannya tidak menjamin Daffa tetap setia. Padahal dulu sudah sungguh-sungguh berjanji. "Rin, mantan-mantannya Daffa itu bukan perempuan sembarangan. Rata-rata mereka dari keluarga terpandang. Wanita karir yang sukses. Kamu harus siap bersaing dengan masa lalunya," kata Desy waktu itu. "Mereka semua nggak ada yang sebanding denganmu. Kamu berbeda, Dokter Rin. Aku benar-benar serius." Kala itu Daffa sampai memohon padanya. Padahal Rinjani sudah berusaha menjauh karena mempertimbangkan saran dari teman-temannya. Namun pada akhirnya luluh. Siapa perempuan yang tidak suka pria seperti Daffa. Pernikahan mereka bahagia hingga kecurigaan Rinjani akhirnya membongkar perselingkuhan suaminya. "Mamaaa ...." Rinjani buru-buru bangkit dari tepi pembaringan saat mendengar teriakan putranya. Ketika membuka pintu, Noval berlari dari ujung tangga dan menubruknya. Bocah itu terlihat sangat bahagia. Ternyata sang mama menunggunya pulang sekolah. Daffa yang berdiri di belakang anaknya juga tersenyum. Sedangkan Lastri langsung masuk kamar untuk menaruh tas. "Yuk, ganti baju dulu!" Rinjani menggandeng anaknya masuk kamar. Lastri tergopoh keluar dan langsung turun ke bawah untuk membantu Mak Sum. Bocah lelaki itu dengan riangnya menunjukkan tulisan, hasil mewarnai, dan menceritakan aktivitasnya di sekolah tadi. Noval sangat antusias dan berbinar-binar. Dia ingin mamanya tahu dan bangga padanya. "Noval, akhir pekan ini kita ajak mama jalan-jalan. Ke taman safari mau nggak? Kita nginap di sana nanti." Daffa yang duduk di kursi bicara pada putranya. "Mau mau, Pa. Noval mau." Noval bersemangat. "Mas sudah minta izin ke Kepala Badan Pemasyarakatan. Dan kamu diizinkan ke luar kota." Daffa bicara pada Rinjani. Beberapa saat kemudian bocah lelaki itu memandang sang mama yang masih diam sambil memperhatikan buku gambarnya. "Mama, kok nggak jawab. Mama, bilang kalau diajak ngomong orang harus dijawab." "Iya, Nak," jawab Rinjani tanpa mengangkat wajah. Sebenarnya dia tidak ingin ke mana-mana. Ingin segera menemukan buku nikah dan mendapatkan bukti perselingkuhan Daffa. Lalu bagaimana dengan Noval? Ini yang sekarang menjadi dilema bagi Rinjani. Sanggupkah ia melihat anaknya terluka? Apa perceraiannya pun bisa berjalan dengan lancar nantinya? Begitu sulit posisi Rinjani sekarang ini. Next ....RINDU YANG TERLUKA - Penolakan "Rin, kamu nggak makan?" tanya Daffa saat melihat Rinjani hanya menyuapi Noval dan tidak mengambil nasi untuknya sendiri."Nanti," jawab Rinjani lirih.Noval makan dengan lahap. Binar itu tak lekang dari wajahnya semenjak sang mama kembali ke rumah. Dia sangat ceria dan bersemangat. Lantas, apa Rinjani tega merenggut kebahagiaannya. Jika bertahan, apa dia sanggup? Di usianya yang sekarang apa Noval mengerti apa itu perceraian?"Udah, Ma. Noval udah kenyang." Bocah lelaki itu mengusap-usap perutnya. Rinjani menghabiskan sisa nasi sang anak yang hanya tinggal tiga suapan. Setelah itu dia bangkit untuk mencuci tangan di kitchen sink.Daffa memperhatikan. "Rin, makan dulu.""Aku sudah kenyang," jawab Rinjani tetap tanpa menatap suaminya. Wanita itu kembali duduk dan memberi minum pada putranya.Mana mungkin kenyang kalau makan hanya tiga suapan.Selesai makan, Noval mengajak mamanya belajar di kamar. Lastri menepi di ruangan bawah bersama Mak Sum sambil me
Rinjani menepikan ego demi mental anaknya. Bertiga bercanda seolah tidak terjadi apa-apa. Dan bersandiwara seperti ini sungguh tak mudah sebenarnya. Melawan rasa sakit yang berontak dalam dada.Jam sembilan malam Noval sudah terlelap. Rinjani yang tengah membereskan perlengkapan menggambar, tangannya di tarik pelan oleh Daffa. "Biar dibereskan Lastri. Ada yang perlu mas bicarakan denganmu."Sejenak Rinjani diam, lantas melepaskan cekalan tangan Daffa. Tapi pada akhirnya ia melangkah keluar juga. Persoalan tidak akan terurai jika hanya diam. Waktunya bicara, karena Rinjani tidak ingin pergi dari rumah ini tanpa pamit pemiliknya. Pria yang sangat ia cintai dan telah menorehkan luka terdalam di jiwanya. Andai harus berakhir, jangan sampai meninggalkan sengketa.Daffa menutup pintu kamar. Rinjani merapatkan gorden jendela kemudian duduk di kursi meja rias. Daffa duduk tepat di hadapannya di tepi ranjang.Jika ia jujur sekarang, bukankah lebih mempersulit keadaan. Tapi bagaimana caranya ia
RINDU YANG TERLUKA - Aku yang Salah"Aku bisa menjadi istri yang taat, Mas. Apabila Mas pun bisa menjadi imam yang kokoh bagi makmumnya. Selama kita menikah, mana pernah aku membantahmu."Tapi Mas sudah mengkhianati pernikahan kita. Mas, lupa komitmen yang kita bangun dari sebuah cinta. Keluarga kecil kita ternyata tidak bisa membuatmu berhenti. Kamu tak cukup hanya dengan satu wanita."Daffa menatap frustasi pada istrinya saat Rinjani terus berbicara tentang kesalahannya dan berusaha mengelak dengan menahan dadanya. Semua kata-kata menusuk tepat di jantung, tapi tidak menyurutkan 'keinginan' yang kian menggebu."Rin," desis Daffa yang benar-benar sudah membara.Rinjani puas melihat Daffa yang belingsatan. Apa setelah penolakannya, sang suami akan menggila di luar? Mencari perempuan itu, mungkin."Kamu memang begitu sempurna, Rin. Suamimu ini yang bajing4n. Namun lelaki brengs3k ini, nggak akan melepasmu. Maafkan mas.""Egois kamu, Mas.""Aku mencintaimu," ucap Daffa dengan netra mem
"Saya memilih memaafkan karena dia menyesali dan berubah. Sakit memang. Tapi ketika dia memilih keluarga dan meninggalkan perempuan itu, makanya saya kasih kesempatan. Saya nggak peduli sejauh apa hubungan mereka, yang saya pikirkan tentang pernikahan kami dan anak-anak. Dan yang pasti suami sudah memutuskan untuk kembali."Maaf, ini hanya cerita, Dok. Bukan niat untuk mempengaruhi supaya mengikuti jejak saya. Semua saya kembalikan ke Dokter Rin. Saya nelepon cuman mau ngabarin kalau Klinik Semesta, sedang membutuhkan seorang dokter umum. Mungkin Dokter Rin berminat. Pemiliknya teman baik dokter Doni. Coba pertimbangkan, Dok. Kalau minat, biar suami saya yang menjembatani mumpung belum di share ke yang lain.""Terima kasih banyak atas perhatiannya, Dok. Saya jadi speechless. Nanti kalau ada waktu luang, pas kebetulan Dokter Ratih longgar, saya akan ke tempat praktek dokter.""Oke, saya tunggu. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Rinjani masih diam sambil memperhatikan layar ponselny
RINDU YANG TERLUKA - Terluka"Honey, tunggu." Daffa mengejar Rinjani yang menuruni tangga. "Rin." Tangan Rinjani diraihnya."Aku mau pulang. Urus saja perempuan simpananmu itu." Rinjani berkata ketus seraya menatap tajam suaminya. "Kita pulang barengan."Rinjani berusaha melepaskan pergelangan tangannya, tapi cekalan tangan Daffa sangat erat. "Lepasin, aku mau pamit sama mama."Daffa menggandeng istrinya masuk kamar sang mama. Bu Tiwi yang melihat mereka bergandengan tangan tersenyum. Wanita itu berusaha bangun dari pembaringan. Dia positife thinking melihat anak dan sang menantu. Karena tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi."Nggak usah bangun, Ma." Rinjani mendekati sang mertua setelah tangannya terlepas dari genggaman suami."Kalian mau pulang?" "Iya, kami mau pamit," jawab Daffa."Luangkan waktu untuk bicara berdua dari hati ke hati. Kalian butuh deeptalk. Mama nggak ingin melihat kalian berpisah. Daffa memang melakukan kesalahan fatal, tapi mama harap Rin bisa memberikan kes
Untung Daffa masih bisa berjalan meski menahan sakit di perut akhibat pukulan membabi buta tadi. Lelaki itu berbaring di ranjang kamar. "Ambilkan wahslap, air dingin, sedikit es batu, dan air hangat, Mak.""Njih, Bu." Mak Sum berlari keluar.Rinjani melepaskan kancing hem suaminya. Kemudian mengambil beberapa perlengkapan P3K dari ruang tengah lantai dua.Sambil menyeka air matanya sendiri, Rinjani membersihkan darah di ujung bibir Daffa. Menyeka rahang suaminya dengan air hangat dan mengompres area perut menggunakan air es di plastik yang dibungkus dengan handuk kecil.Perasaan Daffa luar biasa di dalam sana. Penyesalan begitu menikam saat melihat Rinjani dengan cekatan merawatnya. Walaupun ia tahu, hati istrinya sedang terkapar oleh perbuatannya. "Makasih, Rin," ucap Daffa seraya menahan perih di ujung bibir. Tangannya hendak meraih jemari Rinjani, tapi wanita itu menepis halus. "Istirahatlah, Mas." Rinjani berkata sambil meraih tali tas setelah dia selesai merawat suaminya."Rin,
RINDU YANG TERLUKA - Percayalah "Kalian sudah melakukan visum?" tanya Pak Farhan saat mengunjungi putranya di ruang perawatan. Tadi Rinjani yang mengabari mertuanya setelah Daffa selesai diperiksa dan pindah kamar."Nggak, Pa," jawab Rinjani."Loh, kenapa nggak melakukan visum saja sekalian. Kita bisa menuntut dengan kasus penganiayaan. Dari CCTV di halaman rumah kalian, bisa terdeteksi kan siapa dua lelaki itu. Sudah jelas juga kalau mereka orang-orang suruhan perempuan itu. Kamu dan Mak Sum bisa menjadi saksi." Pak Farhan tampak marah dan kecewa."Rin, kenapa nggak ada ide ini dalam pikiranmu?" Tatapan lelaki itu tajam pada sang menantu."Pa, bukan saya nggak kepikiran. Tapi kasus ini tentang perasaan. Tentang cinta antara Mas Daffa dan gadis itu. Apa mungkin Mas Daffa akan menuntut kekasihnya?" sindir Rinjani sambil melirik sejenak sang suami yang berbaring di brankar. Daffa menarik napas sejenak mendengar ucapan istrinya. Ulu hatinya masih nyeri jika dibuat menarik napas dalam-d
Daffa tahu itu hanya alasan. Namun ia tidak bisa menebak apa yang telah dilakukan oleh istrinya di luar selama dua jam. Apa yang direncanakan Rinjani. Semoga bukan perpisahan."Mas mau ke toilet, Rin." Daffa meringis menahan sakit di perutnya ketika hendak bangun. Sialan, dua orang tadi menyerang tanpa memberinya kesempatan untuk membela diri."Kuambilin pispot." Rinjani beranjak ke kamar mandi. Memapah Daffa pun rasanya tidak kuat kalau sendirian."Bisa kan sendiri?" tanya Rinjani sambil meletakkan pispot dan tisu di ranjang Daffa."Boleh dibantu?"Sejenak keduanya saling pandang. Kemudian Rinjani membantu Daffa duduk. "Nggak usah manja. Mulai sekarang harus dibiasakan semua sendirian," ujar Rinjani.Rasa hendak buang air kecil mendadak sirna saat Daffa mendengar ucapan istrinya. Apa maksudnya? "Aku tungguin." Rinjani duduk membelakangi suaminya. Namun ia dikejutkan oleh rangkulan yang mengunci pergerakannya. "Kita nggak akan berpisah." Embusan nafas Daffa hangat terasa menyapu teng