RINDU YANG TERLUKA
- Penolakan "Rin, kamu nggak makan?" tanya Daffa saat melihat Rinjani hanya menyuapi Noval dan tidak mengambil nasi untuknya sendiri. "Nanti," jawab Rinjani lirih. Noval makan dengan lahap. Binar itu tak lekang dari wajahnya semenjak sang mama kembali ke rumah. Dia sangat ceria dan bersemangat. Lantas, apa Rinjani tega merenggut kebahagiaannya. Jika bertahan, apa dia sanggup? Di usianya yang sekarang apa Noval mengerti apa itu perceraian? "Udah, Ma. Noval udah kenyang." Bocah lelaki itu mengusap-usap perutnya. Rinjani menghabiskan sisa nasi sang anak yang hanya tinggal tiga suapan. Setelah itu dia bangkit untuk mencuci tangan di kitchen sink. Daffa memperhatikan. "Rin, makan dulu." "Aku sudah kenyang," jawab Rinjani tetap tanpa menatap suaminya. Wanita itu kembali duduk dan memberi minum pada putranya. Mana mungkin kenyang kalau makan hanya tiga suapan. Selesai makan, Noval mengajak mamanya belajar di kamar. Lastri menepi di ruangan bawah bersama Mak Sum sambil menyetrika pakaian majikan kecilnya. Mereka bicara pelan, mengungkapkan rasa prihatin dengan kondisi majikannya sekarang. Kenapa pasangan yang sangat serasi itu harus diterpa badai perselingkuhan. "Mak, kurang apa ya Bu Dokter. Sudah cantik, baik, selalu memperhatikan dan mengutamakan suami dan anaknya. Kok tega Pak Daffa meng-" "Ssttt." Mak Sum memotong kalimat Lastri. "Kita doakan yang terbaik buat mereka. Semoga mereka baik-baik saja." "Secantik Bu Dokter saja masih diselingkuhi, gimana dengan saya, Mak. Item, jelek ...." "Triiiiii, wis ah. Diem," tegur Mak Sum sambil meletakkan telunjuknya di bibir. Sementara di kamar Noval, Rinjani membantu putranya mewarnai, sambil membalas pesan dari dokter Ratih dan Desy. Dua temannya itu turut prihatin dengan apa yang terjadi hari ini. [Jangan khawatir, Dok. Anda masih banyak kesempatan untuk berkarier. Tenangkan diri dulu untuk sekarang ini dan menata hati. Surat itu bukan akhir dari segalanya. Percayalah, pasti ada kesempatan di lain waktu. Saya dan suami membuka tangan lebar-lebar jika Dokter Rin membutuhkan kami. Jangan sungkan.] [Rin, yang kuat dan tetap semangat. Aku kenal kamu sebagai perempuan tangguh. Kamu nggak akan menyerah dan putus asa. Kamu hanya butuh waktu untuk bangkit lagi. Semangat, Say. Aku selalu ada buatmu. Kapan pun kamu butuhkan.] Membaca pesan mereka, netra Rinjani berkaca-kaca tapi membuat adem hatinya. Bersyukur masih ada yang bersimpati dan peduli. Ah, sebenarnya bukan mereka berdua saja. Banyak pesan masuk dari rekan-rekan di rumah sakit. Memberikan semangat dan dukungan, juga mendoakan. Rinjani menarik napas dalam-dalam. Meletakkan ponsel lantas menatap putranya yang sibuk mewarnai. Noval memang paling gemar mewarnai. "Mama, besok ke rumah sakit nggak?" tanya Noval. Mungkin dia heran karena sang mama tak lagi pergi bekerja seperti biasanya. "Nggak, Sayang. Mungkin mama akan pindah kerja." Rinjani berkata dengan nada pelan dan hati-hati. Mungkin sudah waktunya dia mulai bicara. Namun Daffa yang hendak masuk ke kamar, mendengarnya. Pria itu berlindung dan bersandar pada dinding dekat pintu yang terbuka separuh. "Pindah ke mana? Apa ke tempat yang kemarin? Nanti mama lama nggak pulang-pulang. Nggak telepon." Bocah lelaki itu meletakkan krayon yang dipegangnya dan fokus memandang sang mama. Ada kekhawatiran dari sorot matanya. Dia anak yang cerdas. Bicaranya tidak cedal dan artikulasinya sangat jelas. "Noval nggak mau mama pergi lagi." "Tapi kalau mama ngajak Noval, gimana? Noval, mau ikut mama?" Mendengar perkataan Rinjani, Daffa terkesiap. Apa maksudnya Rinjani berkata demikian. "Mau, Ma. Noval mau ikut mama," jawab Noval. "Papa ikut juga kan?" "Nggak, Sayang. Papa kan harus bekerja." Dada Daffa seperti di tembus oleh peluru. Panas dan mematikan. Apa ini bermakna istrinya memang sudah nekat hendak berpisah darinya. Daffa ingin masuk, tapi kembali di tahannya. Ia harus mendengar percakapan mereka. "Noval nggak bisa ketemu papa, dong. Kenapa papa nggak ikut saja." Bibir Noval cemberut. Wajah polosnya tampak keberatan. Dia ingin bersama mamanya, tapi juga sekalian dengan sang papa. Seperti saat ini, setiap hari selalu bersama. "Noval, masih bisa bertemu papa sesekali." Rinjani meraih tubuh si kecil dan memangkunya. Perih rasa hati. "Apa tempat kerjanya mama jauh?" "Iya." Air mata Rinjani luruh. Buru-buru di hapusnya sebelum sang anak melihat. Daffa yang masih di tempatnya menarik napas panjang. Jakunnya naik turun menelan saliva yang serasa menyekat tenggorokan. Ponsel yang diletakkan di meja depannya tampak berpendar tanpa henti. Ia tidak peduli. Ke mana Rinjani hendak pergi membawa anak mereka. Pulang ke kampung halaman, tapi di mana. Rinjani seperti halnya dirinya yang lahir dan besar di Surabaya. "Kita nggak tinggal di sini lagi, Ma?" tanya Noval. Rinjani tidak bisa menjawab saat mata bening Noval menatapnya. Sekecil ini dia harus menghadapi kemelut rumah tangga orang tuanya. Apa Noval akan mengambil nasib sama seperti dirinya, yang sudah tidak dibersamai orang tua semenjak kelas empat SD. Hanya saja penyebabnya berbeda. "Jangan khawatir, Noval masih bisa bertemu papa, ketemu kakek, dan nenek juga." Rinjani tersenyum supaya sang anak tidak sedih. Namun dari tatapan matanya, Rinjani tahu kalau Noval merasakan sesuatu. Daffa mengatupkan giginya rapat-rapat untuk menahan rasa sesak. Sebab tidak tahan lagi mendengar semua ucapan Rinjani, Daffa masuk kamar. Tersenyum pada istri dan anaknya, seolah dia tidak mendengar apapun percakapan mereka. "Wow, keren. Kenapa nggak dilanjutin?" Daffa memperhatikan gambar di atas meja lipat. "Pa, katanya mama mau pindah kerja. Tempatnya jauh kata mama." Noval yang polos langsung memberitahu papanya. Daffa menatap lekat istrinya yang diam memperhatikan sang anak. Rinjani juga kaget. Dia tidak menyangka kalau Noval langsung bicara pada papanya saat itu juga. Ah, bukankah anak-anak memang sepolos itu. "Lanjutin dulu mewarnainya. Papa mau lihat hasilnya." Daffa mengalihkan percakapan. Tidak ingin anaknya mendengar perbincangan orang dewasa. Nanti ia bisa bicara berdua dengan Rinjani.Rinjani menepikan ego demi mental anaknya. Bertiga bercanda seolah tidak terjadi apa-apa. Dan bersandiwara seperti ini sungguh tak mudah sebenarnya. Melawan rasa sakit yang berontak dalam dada.Jam sembilan malam Noval sudah terlelap. Rinjani yang tengah membereskan perlengkapan menggambar, tangannya di tarik pelan oleh Daffa. "Biar dibereskan Lastri. Ada yang perlu mas bicarakan denganmu."Sejenak Rinjani diam, lantas melepaskan cekalan tangan Daffa. Tapi pada akhirnya ia melangkah keluar juga. Persoalan tidak akan terurai jika hanya diam. Waktunya bicara, karena Rinjani tidak ingin pergi dari rumah ini tanpa pamit pemiliknya. Pria yang sangat ia cintai dan telah menorehkan luka terdalam di jiwanya. Andai harus berakhir, jangan sampai meninggalkan sengketa.Daffa menutup pintu kamar. Rinjani merapatkan gorden jendela kemudian duduk di kursi meja rias. Daffa duduk tepat di hadapannya di tepi ranjang.Jika ia jujur sekarang, bukankah lebih mempersulit keadaan. Tapi bagaimana caranya ia
RINDU YANG TERLUKA - Aku yang Salah"Aku bisa menjadi istri yang taat, Mas. Apabila Mas pun bisa menjadi imam yang kokoh bagi makmumnya. Selama kita menikah, mana pernah aku membantahmu."Tapi Mas sudah mengkhianati pernikahan kita. Mas, lupa komitmen yang kita bangun dari sebuah cinta. Keluarga kecil kita ternyata tidak bisa membuatmu berhenti. Kamu tak cukup hanya dengan satu wanita."Daffa menatap frustasi pada istrinya saat Rinjani terus berbicara tentang kesalahannya dan berusaha mengelak dengan menahan dadanya. Semua kata-kata menusuk tepat di jantung, tapi tidak menyurutkan 'keinginan' yang kian menggebu."Rin," desis Daffa yang benar-benar sudah membara.Rinjani puas melihat Daffa yang belingsatan. Apa setelah penolakannya, sang suami akan menggila di luar? Mencari perempuan itu, mungkin."Kamu memang begitu sempurna, Rin. Suamimu ini yang bajing4n. Namun lelaki brengs3k ini, nggak akan melepasmu. Maafkan mas.""Egois kamu, Mas.""Aku mencintaimu," ucap Daffa dengan netra mem
"Saya memilih memaafkan karena dia menyesali dan berubah. Sakit memang. Tapi ketika dia memilih keluarga dan meninggalkan perempuan itu, makanya saya kasih kesempatan. Saya nggak peduli sejauh apa hubungan mereka, yang saya pikirkan tentang pernikahan kami dan anak-anak. Dan yang pasti suami sudah memutuskan untuk kembali."Maaf, ini hanya cerita, Dok. Bukan niat untuk mempengaruhi supaya mengikuti jejak saya. Semua saya kembalikan ke Dokter Rin. Saya nelepon cuman mau ngabarin kalau Klinik Semesta, sedang membutuhkan seorang dokter umum. Mungkin Dokter Rin berminat. Pemiliknya teman baik dokter Doni. Coba pertimbangkan, Dok. Kalau minat, biar suami saya yang menjembatani mumpung belum di share ke yang lain.""Terima kasih banyak atas perhatiannya, Dok. Saya jadi speechless. Nanti kalau ada waktu luang, pas kebetulan Dokter Ratih longgar, saya akan ke tempat praktek dokter.""Oke, saya tunggu. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Rinjani masih diam sambil memperhatikan layar ponselny
RINDU YANG TERLUKA - Terluka"Honey, tunggu." Daffa mengejar Rinjani yang menuruni tangga. "Rin." Tangan Rinjani diraihnya."Aku mau pulang. Urus saja perempuan simpananmu itu." Rinjani berkata ketus seraya menatap tajam suaminya. "Kita pulang barengan."Rinjani berusaha melepaskan pergelangan tangannya, tapi cekalan tangan Daffa sangat erat. "Lepasin, aku mau pamit sama mama."Daffa menggandeng istrinya masuk kamar sang mama. Bu Tiwi yang melihat mereka bergandengan tangan tersenyum. Wanita itu berusaha bangun dari pembaringan. Dia positife thinking melihat anak dan sang menantu. Karena tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi."Nggak usah bangun, Ma." Rinjani mendekati sang mertua setelah tangannya terlepas dari genggaman suami."Kalian mau pulang?" "Iya, kami mau pamit," jawab Daffa."Luangkan waktu untuk bicara berdua dari hati ke hati. Kalian butuh deeptalk. Mama nggak ingin melihat kalian berpisah. Daffa memang melakukan kesalahan fatal, tapi mama harap Rin bisa memberikan kes
Untung Daffa masih bisa berjalan meski menahan sakit di perut akhibat pukulan membabi buta tadi. Lelaki itu berbaring di ranjang kamar. "Ambilkan wahslap, air dingin, sedikit es batu, dan air hangat, Mak.""Njih, Bu." Mak Sum berlari keluar.Rinjani melepaskan kancing hem suaminya. Kemudian mengambil beberapa perlengkapan P3K dari ruang tengah lantai dua.Sambil menyeka air matanya sendiri, Rinjani membersihkan darah di ujung bibir Daffa. Menyeka rahang suaminya dengan air hangat dan mengompres area perut menggunakan air es di plastik yang dibungkus dengan handuk kecil.Perasaan Daffa luar biasa di dalam sana. Penyesalan begitu menikam saat melihat Rinjani dengan cekatan merawatnya. Walaupun ia tahu, hati istrinya sedang terkapar oleh perbuatannya. "Makasih, Rin," ucap Daffa seraya menahan perih di ujung bibir. Tangannya hendak meraih jemari Rinjani, tapi wanita itu menepis halus. "Istirahatlah, Mas." Rinjani berkata sambil meraih tali tas setelah dia selesai merawat suaminya."Rin,
RINDU YANG TERLUKA - Percayalah "Kalian sudah melakukan visum?" tanya Pak Farhan saat mengunjungi putranya di ruang perawatan. Tadi Rinjani yang mengabari mertuanya setelah Daffa selesai diperiksa dan pindah kamar."Nggak, Pa," jawab Rinjani."Loh, kenapa nggak melakukan visum saja sekalian. Kita bisa menuntut dengan kasus penganiayaan. Dari CCTV di halaman rumah kalian, bisa terdeteksi kan siapa dua lelaki itu. Sudah jelas juga kalau mereka orang-orang suruhan perempuan itu. Kamu dan Mak Sum bisa menjadi saksi." Pak Farhan tampak marah dan kecewa."Rin, kenapa nggak ada ide ini dalam pikiranmu?" Tatapan lelaki itu tajam pada sang menantu."Pa, bukan saya nggak kepikiran. Tapi kasus ini tentang perasaan. Tentang cinta antara Mas Daffa dan gadis itu. Apa mungkin Mas Daffa akan menuntut kekasihnya?" sindir Rinjani sambil melirik sejenak sang suami yang berbaring di brankar. Daffa menarik napas sejenak mendengar ucapan istrinya. Ulu hatinya masih nyeri jika dibuat menarik napas dalam-d
Daffa tahu itu hanya alasan. Namun ia tidak bisa menebak apa yang telah dilakukan oleh istrinya di luar selama dua jam. Apa yang direncanakan Rinjani. Semoga bukan perpisahan."Mas mau ke toilet, Rin." Daffa meringis menahan sakit di perutnya ketika hendak bangun. Sialan, dua orang tadi menyerang tanpa memberinya kesempatan untuk membela diri."Kuambilin pispot." Rinjani beranjak ke kamar mandi. Memapah Daffa pun rasanya tidak kuat kalau sendirian."Bisa kan sendiri?" tanya Rinjani sambil meletakkan pispot dan tisu di ranjang Daffa."Boleh dibantu?"Sejenak keduanya saling pandang. Kemudian Rinjani membantu Daffa duduk. "Nggak usah manja. Mulai sekarang harus dibiasakan semua sendirian," ujar Rinjani.Rasa hendak buang air kecil mendadak sirna saat Daffa mendengar ucapan istrinya. Apa maksudnya? "Aku tungguin." Rinjani duduk membelakangi suaminya. Namun ia dikejutkan oleh rangkulan yang mengunci pergerakannya. "Kita nggak akan berpisah." Embusan nafas Daffa hangat terasa menyapu teng
RINDU YANG TERLUKA- Pengakuan "Kerja di mana?""Nanti Mas akan tahu sendiri.""Kamu perlu izinku untuk kembali bekerja, Rin."Rinjani memandang Daffa yang berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Memang benar. Untuk bekerja dia harus mendapatkan tanda tangan sebagai persyaratan formalitas izin dari suami."Apa Mas akan menghalangi langkahku? Kita akan berpisah, Mas. Tolonglah jangan persulit gerakku. Kita berpisah secara baik-baik. Aku juga harus kembali bekerja untuk ... untuk life after breakup.""Sudah mas bilang kalau kita nggak akan bercerai." Daffa kalut. Setiap kali berbicara tentang perpisahan, Daffa mendadak stres."Jangan egois, Mas. Perempuanmu itu berapa kali chat ke kamu dalam beberapa hari ini setelah dia kembali dari rumah sakit. Dia benar-benar mengacaukan hidupku. Kalau dia menginginkanmu, aku sudah rela melepasmu." Netra Rinjani berkaca-kaca."Tapi tidak denganku. Sampai kapanpun kita nggak akan bercerai. Abila itu sakit jiwa.""Setelah ketahuan