Share

14. Penolakan 1

RINDU YANG TERLUKA

- Penolakan

"Rin, kamu nggak makan?" tanya Daffa saat melihat Rinjani hanya menyuapi Noval dan tidak mengambil nasi untuknya sendiri.

"Nanti," jawab Rinjani lirih.

Noval makan dengan lahap. Binar itu tak lekang dari wajahnya semenjak sang mama kembali ke rumah. Dia sangat ceria dan bersemangat. Lantas, apa Rinjani tega merenggut kebahagiaannya. Jika bertahan, apa dia sanggup? Di usianya yang sekarang apa Noval mengerti apa itu perceraian?

"Udah, Ma. Noval udah kenyang." Bocah lelaki itu mengusap-usap perutnya. Rinjani menghabiskan sisa nasi sang anak yang hanya tinggal tiga suapan. Setelah itu dia bangkit untuk mencuci tangan di kitchen sink.

Daffa memperhatikan. "Rin, makan dulu."

"Aku sudah kenyang," jawab Rinjani tetap tanpa menatap suaminya. Wanita itu kembali duduk dan memberi minum pada putranya.

Mana mungkin kenyang kalau makan hanya tiga suapan.

Selesai makan, Noval mengajak mamanya belajar di kamar. Lastri menepi di ruangan bawah bersama Mak Sum sambil menyetrika pakaian majikan kecilnya. Mereka bicara pelan, mengungkapkan rasa prihatin dengan kondisi majikannya sekarang. Kenapa pasangan yang sangat serasi itu harus diterpa badai perselingkuhan.

"Mak, kurang apa ya Bu Dokter. Sudah cantik, baik, selalu memperhatikan dan mengutamakan suami dan anaknya. Kok tega Pak Daffa meng-"

"Ssttt." Mak Sum memotong kalimat Lastri. "Kita doakan yang terbaik buat mereka. Semoga mereka baik-baik saja."

"Secantik Bu Dokter saja masih diselingkuhi, gimana dengan saya, Mak. Item, jelek ...."

"Triiiiii, wis ah. Diem," tegur Mak Sum sambil meletakkan telunjuknya di bibir.

Sementara di kamar Noval, Rinjani membantu putranya mewarnai, sambil membalas pesan dari dokter Ratih dan Desy. Dua temannya itu turut prihatin dengan apa yang terjadi hari ini.

[Jangan khawatir, Dok. Anda masih banyak kesempatan untuk berkarier. Tenangkan diri dulu untuk sekarang ini dan menata hati. Surat itu bukan akhir dari segalanya. Percayalah, pasti ada kesempatan di lain waktu. Saya dan suami membuka tangan lebar-lebar jika Dokter Rin membutuhkan kami. Jangan sungkan.]

[Rin, yang kuat dan tetap semangat. Aku kenal kamu sebagai perempuan tangguh. Kamu nggak akan menyerah dan putus asa. Kamu hanya butuh waktu untuk bangkit lagi. Semangat, Say. Aku selalu ada buatmu. Kapan pun kamu butuhkan.]

Membaca pesan mereka, netra Rinjani berkaca-kaca tapi membuat adem hatinya. Bersyukur masih ada yang bersimpati dan peduli. Ah, sebenarnya bukan mereka berdua saja. Banyak pesan masuk dari rekan-rekan di rumah sakit. Memberikan semangat dan dukungan, juga mendoakan.

Rinjani menarik napas dalam-dalam. Meletakkan ponsel lantas menatap putranya yang sibuk mewarnai. Noval memang paling gemar mewarnai.

"Mama, besok ke rumah sakit nggak?" tanya Noval. Mungkin dia heran karena sang mama tak lagi pergi bekerja seperti biasanya.

"Nggak, Sayang. Mungkin mama akan pindah kerja." Rinjani berkata dengan nada pelan dan hati-hati. Mungkin sudah waktunya dia mulai bicara. Namun Daffa yang hendak masuk ke kamar, mendengarnya. Pria itu berlindung dan bersandar pada dinding dekat pintu yang terbuka separuh.

"Pindah ke mana? Apa ke tempat yang kemarin? Nanti mama lama nggak pulang-pulang. Nggak telepon." Bocah lelaki itu meletakkan krayon yang dipegangnya dan fokus memandang sang mama. Ada kekhawatiran dari sorot matanya. Dia anak yang cerdas. Bicaranya tidak cedal dan artikulasinya sangat jelas.

"Noval nggak mau mama pergi lagi."

"Tapi kalau mama ngajak Noval, gimana? Noval, mau ikut mama?"

Mendengar perkataan Rinjani, Daffa terkesiap. Apa maksudnya Rinjani berkata demikian.

"Mau, Ma. Noval mau ikut mama," jawab Noval. "Papa ikut juga kan?"

"Nggak, Sayang. Papa kan harus bekerja."

Dada Daffa seperti di tembus oleh peluru. Panas dan mematikan. Apa ini bermakna istrinya memang sudah nekat hendak berpisah darinya. Daffa ingin masuk, tapi kembali di tahannya. Ia harus mendengar percakapan mereka.

"Noval nggak bisa ketemu papa, dong. Kenapa papa nggak ikut saja." Bibir Noval cemberut. Wajah polosnya tampak keberatan. Dia ingin bersama mamanya, tapi juga sekalian dengan sang papa. Seperti saat ini, setiap hari selalu bersama.

"Noval, masih bisa bertemu papa sesekali." Rinjani meraih tubuh si kecil dan memangkunya. Perih rasa hati.

"Apa tempat kerjanya mama jauh?"

"Iya." Air mata Rinjani luruh. Buru-buru di hapusnya sebelum sang anak melihat.

Daffa yang masih di tempatnya menarik napas panjang. Jakunnya naik turun menelan saliva yang serasa menyekat tenggorokan. Ponsel yang diletakkan di meja depannya tampak berpendar tanpa henti. Ia tidak peduli.

Ke mana Rinjani hendak pergi membawa anak mereka. Pulang ke kampung halaman, tapi di mana. Rinjani seperti halnya dirinya yang lahir dan besar di Surabaya.

"Kita nggak tinggal di sini lagi, Ma?" tanya Noval.

Rinjani tidak bisa menjawab saat mata bening Noval menatapnya. Sekecil ini dia harus menghadapi kemelut rumah tangga orang tuanya. Apa Noval akan mengambil nasib sama seperti dirinya, yang sudah tidak dibersamai orang tua semenjak kelas empat SD. Hanya saja penyebabnya berbeda.

"Jangan khawatir, Noval masih bisa bertemu papa, ketemu kakek, dan nenek juga." Rinjani tersenyum supaya sang anak tidak sedih. Namun dari tatapan matanya, Rinjani tahu kalau Noval merasakan sesuatu.

Daffa mengatupkan giginya rapat-rapat untuk menahan rasa sesak. Sebab tidak tahan lagi mendengar semua ucapan Rinjani, Daffa masuk kamar. Tersenyum pada istri dan anaknya, seolah dia tidak mendengar apapun percakapan mereka.

"Wow, keren. Kenapa nggak dilanjutin?" Daffa memperhatikan gambar di atas meja lipat.

"Pa, katanya mama mau pindah kerja. Tempatnya jauh kata mama." Noval yang polos langsung memberitahu papanya. Daffa menatap lekat istrinya yang diam memperhatikan sang anak.

Rinjani juga kaget. Dia tidak menyangka kalau Noval langsung bicara pada papanya saat itu juga. Ah, bukankah anak-anak memang sepolos itu.

"Lanjutin dulu mewarnainya. Papa mau lihat hasilnya." Daffa mengalihkan percakapan. Tidak ingin anaknya mendengar perbincangan orang dewasa. Nanti ia bisa bicara berdua dengan Rinjani.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
kalo bisa Rin perginya diam² saja.. jangan sampe Daffa tahu.. klo bisa sih pergi jauh tanpa jejak..
goodnovel comment avatar
Icha Majhaf
Rinjani ....sakitnya tuch disini ... mba Lis...jadi baper bacanya hi...hi..hi...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status