"Saya memilih memaafkan karena dia menyesali dan berubah. Sakit memang. Tapi ketika dia memilih keluarga dan meninggalkan perempuan itu, makanya saya kasih kesempatan. Saya nggak peduli sejauh apa hubungan mereka, yang saya pikirkan tentang pernikahan kami dan anak-anak. Dan yang pasti suami sudah memutuskan untuk kembali.
"Maaf, ini hanya cerita, Dok. Bukan niat untuk mempengaruhi supaya mengikuti jejak saya. Semua saya kembalikan ke Dokter Rin. Saya nelepon cuman mau ngabarin kalau Klinik Semesta, sedang membutuhkan seorang dokter umum. Mungkin Dokter Rin berminat. Pemiliknya teman baik dokter Doni. Coba pertimbangkan, Dok. Kalau minat, biar suami saya yang menjembatani mumpung belum di share ke yang lain." "Terima kasih banyak atas perhatiannya, Dok. Saya jadi speechless. Nanti kalau ada waktu luang, pas kebetulan Dokter Ratih longgar, saya akan ke tempat praktek dokter." "Oke, saya tunggu. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." Rinjani masih diam sambil memperhatikan layar ponselnya. Dia baru tahu tentang kisah dokter Ratih dan dokter Doni. Dibalik keharmonisan mereka sebagai pasangan dokter paling serasi, ternyata ada kisah perselingkuhan juga. Tapi perbedaan dengan kasusnya, mungkin dokter koas selingkuhan dokter Doni tidak segila perempuan simpanan Daffa. Dokter Doni juga bukan playboy dulunya. "Ada apa?" Tak sabar menunggu Rinjani yang mematung, akhirnya Daffa menghampiri. "Nggak ada apa-apa." Rinjani memasukkan ponselnya di dalam tas. Kemudian melangkah diikuti Daffa kembali ke toko buah. "Siapa yang menelepon?" Daffa penasaran. "Teman." Setelah membayar buah, mereka langsung meluncur ke rumah orang tua Daffa. Rinjani memilih diam dan menjawab pertanyaan sang suami seperlunya. Mereka disambut Pak Farhan yang sudah berpakaian rapi di ruang tengah rumah besar itu. "Kamu belum ngantor lagi hari ini?" "Saya ambil cuti sampai hari Jum'at ini, Pa," jawab Daffa yang duduk di hadapannya. "Urusan dengan pihak rutan sudah selesai. Kenapa ngambil cuti sampai berhari-hari. Rinjani nggak harus di temani dua puluh empat jam di rumah, kan?" Pak Farhan berkata seraya melirik sekilas Rinjani yang duduk di sebelah suaminya. "Maaf, Pa. Saya ingin menemui Mama dulu " Rinjani bangkit dari duduknya. Segera melangkah ke kamar mama mertuanya. Membiarkan sang suami berbincang dengan papanya daripada ia mendengar kalimat-kalimat yang menyakitkan. Walaupun tidak menentang, tapi Pak Farhan memang pernah tidak menyetujui Daffa menikahi Rinjani. Mungkin karena Rinjani sudah tidak memiliki siapa-siapa dan bukan dari kalangan berada meski seorang dokter. "Rin, kamu ke sini juga. Sini!" Bu Tiwi yang berbaring merentangkan kedua tangannya saat Rinjani muncul di pintu. Dia tampak bahagia menantu yang ditunggunya datang. "Mama, sudah baikan?" tanya Rinjani setelah melepaskan pelukan. "Sudah lebih baik. Dokter Budi pulang setengah jam yang lalu. Kenapa nggak kamu saja yang memeriksa mama seperti biasa." Rinjani tersenyum getir. "Mama yakin kamu bisa bangkit lagi setelah ini. Jangan cerai, Rin. Mama nggak ingin kehilanganmu. Daffa juga sudah menyadari kesalahannya. Tolong maafkan anak mama. Kasihan Noval juga. Jangan biarkan perempuan gatal itu bahagia melihat kehancuran kalian. Mama yakin kalian bisa melewati ujian ini. Setiap rumah tangga akan mendapatkan ujiannya masing-masing. "Mama tahu ini berat bagimu. Tapi pikirkan Noval juga. Kamu kuat, Rin. Biar perempuan b1nal itu tahu, siapa pemilik sebenarnya. Daffa juga sudah menyesali perbuatannya di hadapan mama." Rinjani tidak bergeming. Apa ini bisa dibilang sebagai keegoisan atau keinginan ikhlas seorang ibu demi menyelamatkan rumah tangga putra dan menantunya? ***L*** Semua tempat di kamar Daffa sudah dicari. Namun tidak ditemukan buku itu. Di mana Daffa menyimpannya. Rinjani duduk di tepi ranjang berseprai putih. Di kamar ini mereka tidur jika menginap di rumah mertuanya. Sudah dicari tapi tidak diketemukan, tidak salah kalau dia membuat laporan kehilangan di kepolisian untuk memudahkan langkah selanjutnya. Tapi posisinya sekarang ini dia sebagai terpidana yang masih wajib lapor, apa pihak berwajib tidak akan mempersulit laporannya. Mungkin harus menunggu hingga wajib lapornya selesai. Lagipula kalau Daffa belum kembali ke kantor, ia tidak bisa keluar rumah sendirian. Lantas sampai kapan ia bisa 'menolak' Daffa. Pintu kamar terkuak membuat Rinjani terkesiap dari lamunan. Setiap bertemu suaminya di kamar, seolah dia berhadapan dengan singa yang kehausan. Meski senyum dan raut wajah itu terlihat begitu bersahabat. Rinjani bangkit dari duduknya sambil menarik tali tasnya. "Honey, mau ke mana?" Daffa menahan lengannya. "Kita pulang, Mas. Sepertinya papa juga tidak menginginkan aku lama-lama di sini." "Papa sudah berangkat ke kantor." "Bisa kita habiskan waktu di sini untuk beberapa saat." Tatapan mata itu begitu memohon. "Kita bisa bicara di luar." "Sudah lama kita nggak menghabiskan waktu di kamar ini. Kita bicara dan saling mendengarkan." Hanya sekedar itu? Tentu saja tidak. "Sekali lagi Mas akui, telah menyakitimu, telah menodai pernikahan kita. Beri mas kesempatan." Rinjani bergeming. Ia lelah dengan peristiwa ini. Kenapa waktu tidak segera berlalu. Wajib lapor selesai dan ia bisa bebas bergerak untuk menata langkahnya kemudian. Kedua tangan Daffa meraih pinggangnya. Rinjani mengangkat wajah dan mereka saling pandang. "Jangan paksa aku." "Apa ini hukuman untukku?" Dering ponsel Daffa membuat lelaki itu melepaskan tangan dari pinggang istrinya dan mengambil ponsel di saku celana. Ada panggilan dari asisten pribadinya. "Ada apa, Din?" "Maaf, Pak. Mbak Abila menghubungi saya. Kalau Pak Daffa tidak segera menemuinya, Mbak Bila mengancam hendak b*nuh diri, Pak." Daffa dan Rinjani saling pandang. "Pergilah, urusi dia. Sebelum kamu kehilangannya, Mas." Rinjani melangkah cepat keluar kamar. Next ....RINDU YANG TERLUKA - Terluka"Honey, tunggu." Daffa mengejar Rinjani yang menuruni tangga. "Rin." Tangan Rinjani diraihnya."Aku mau pulang. Urus saja perempuan simpananmu itu." Rinjani berkata ketus seraya menatap tajam suaminya. "Kita pulang barengan."Rinjani berusaha melepaskan pergelangan tangannya, tapi cekalan tangan Daffa sangat erat. "Lepasin, aku mau pamit sama mama."Daffa menggandeng istrinya masuk kamar sang mama. Bu Tiwi yang melihat mereka bergandengan tangan tersenyum. Wanita itu berusaha bangun dari pembaringan. Dia positife thinking melihat anak dan sang menantu. Karena tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi."Nggak usah bangun, Ma." Rinjani mendekati sang mertua setelah tangannya terlepas dari genggaman suami."Kalian mau pulang?" "Iya, kami mau pamit," jawab Daffa."Luangkan waktu untuk bicara berdua dari hati ke hati. Kalian butuh deeptalk. Mama nggak ingin melihat kalian berpisah. Daffa memang melakukan kesalahan fatal, tapi mama harap Rin bisa memberikan kes
Untung Daffa masih bisa berjalan meski menahan sakit di perut akhibat pukulan membabi buta tadi. Lelaki itu berbaring di ranjang kamar. "Ambilkan wahslap, air dingin, sedikit es batu, dan air hangat, Mak.""Njih, Bu." Mak Sum berlari keluar.Rinjani melepaskan kancing hem suaminya. Kemudian mengambil beberapa perlengkapan P3K dari ruang tengah lantai dua.Sambil menyeka air matanya sendiri, Rinjani membersihkan darah di ujung bibir Daffa. Menyeka rahang suaminya dengan air hangat dan mengompres area perut menggunakan air es di plastik yang dibungkus dengan handuk kecil.Perasaan Daffa luar biasa di dalam sana. Penyesalan begitu menikam saat melihat Rinjani dengan cekatan merawatnya. Walaupun ia tahu, hati istrinya sedang terkapar oleh perbuatannya. "Makasih, Rin," ucap Daffa seraya menahan perih di ujung bibir. Tangannya hendak meraih jemari Rinjani, tapi wanita itu menepis halus. "Istirahatlah, Mas." Rinjani berkata sambil meraih tali tas setelah dia selesai merawat suaminya."Rin,
RINDU YANG TERLUKA - Percayalah "Kalian sudah melakukan visum?" tanya Pak Farhan saat mengunjungi putranya di ruang perawatan. Tadi Rinjani yang mengabari mertuanya setelah Daffa selesai diperiksa dan pindah kamar."Nggak, Pa," jawab Rinjani."Loh, kenapa nggak melakukan visum saja sekalian. Kita bisa menuntut dengan kasus penganiayaan. Dari CCTV di halaman rumah kalian, bisa terdeteksi kan siapa dua lelaki itu. Sudah jelas juga kalau mereka orang-orang suruhan perempuan itu. Kamu dan Mak Sum bisa menjadi saksi." Pak Farhan tampak marah dan kecewa."Rin, kenapa nggak ada ide ini dalam pikiranmu?" Tatapan lelaki itu tajam pada sang menantu."Pa, bukan saya nggak kepikiran. Tapi kasus ini tentang perasaan. Tentang cinta antara Mas Daffa dan gadis itu. Apa mungkin Mas Daffa akan menuntut kekasihnya?" sindir Rinjani sambil melirik sejenak sang suami yang berbaring di brankar. Daffa menarik napas sejenak mendengar ucapan istrinya. Ulu hatinya masih nyeri jika dibuat menarik napas dalam-d
Daffa tahu itu hanya alasan. Namun ia tidak bisa menebak apa yang telah dilakukan oleh istrinya di luar selama dua jam. Apa yang direncanakan Rinjani. Semoga bukan perpisahan."Mas mau ke toilet, Rin." Daffa meringis menahan sakit di perutnya ketika hendak bangun. Sialan, dua orang tadi menyerang tanpa memberinya kesempatan untuk membela diri."Kuambilin pispot." Rinjani beranjak ke kamar mandi. Memapah Daffa pun rasanya tidak kuat kalau sendirian."Bisa kan sendiri?" tanya Rinjani sambil meletakkan pispot dan tisu di ranjang Daffa."Boleh dibantu?"Sejenak keduanya saling pandang. Kemudian Rinjani membantu Daffa duduk. "Nggak usah manja. Mulai sekarang harus dibiasakan semua sendirian," ujar Rinjani.Rasa hendak buang air kecil mendadak sirna saat Daffa mendengar ucapan istrinya. Apa maksudnya? "Aku tungguin." Rinjani duduk membelakangi suaminya. Namun ia dikejutkan oleh rangkulan yang mengunci pergerakannya. "Kita nggak akan berpisah." Embusan nafas Daffa hangat terasa menyapu teng
RINDU YANG TERLUKA- Pengakuan "Kerja di mana?""Nanti Mas akan tahu sendiri.""Kamu perlu izinku untuk kembali bekerja, Rin."Rinjani memandang Daffa yang berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Memang benar. Untuk bekerja dia harus mendapatkan tanda tangan sebagai persyaratan formalitas izin dari suami."Apa Mas akan menghalangi langkahku? Kita akan berpisah, Mas. Tolonglah jangan persulit gerakku. Kita berpisah secara baik-baik. Aku juga harus kembali bekerja untuk ... untuk life after breakup.""Sudah mas bilang kalau kita nggak akan bercerai." Daffa kalut. Setiap kali berbicara tentang perpisahan, Daffa mendadak stres."Jangan egois, Mas. Perempuanmu itu berapa kali chat ke kamu dalam beberapa hari ini setelah dia kembali dari rumah sakit. Dia benar-benar mengacaukan hidupku. Kalau dia menginginkanmu, aku sudah rela melepasmu." Netra Rinjani berkaca-kaca."Tapi tidak denganku. Sampai kapanpun kita nggak akan bercerai. Abila itu sakit jiwa.""Setelah ketahuan
"Mas akui memang salah. Tapi urusan tempat tidur, mas hanya melakukannya denganmu. Yang dikatakan Bila itu omong kosong. Dia hanya ingin menjerat mas dengan pengakuan palsu itu.""Apapun bentuk hubungan kalian, hanya sekedar rekan bisnis, teman jalan atau makan, tapi itu sudah menyakitkan bagiku, Mas. Setidaknya kamu telah berbagi waktu dan bermesraan dengan perempuan lain." Selesai bicara Rinjani bangkit dari duduknya. Mengambil keranjang baju kotor."Izinkan aku bekerja, Mas. Aku juga ingin melanjutkan dan menata hidupku."Daffa menahan lengan Rinjani. "Bekerja di mana?""Jauh dari kota ini, jauh dari kehidupanmu," jawab Rinjani sambil mengusap air matanya. Kemudian bergegas keluar kamar.Daffa menarik simpul dasinya dan melepaskan benda itu. Sudah hilang semangatnya untuk berangkat ke kantor. Ponsel di saku celananya terus bergetar dan ia tidak peduli. Padahal siang ini ada meeting penting di kantor.Harusnya ia tidak terlena dengan tatapan memuja dari Abila. Ketertarikan terang-te
Rinjani yang masih di sana, mengambil dasi milik sang suami yang jatuh di lantai. Kemudian membenahi kerah dan kancing kemeja suaminya. "Pergilah ke kantor. Apapun yang terjadi di antara kita, jangan mengabaikan tanggungjawab pada pekerjaanmu, Mas. Noval butuh ayah yang kuat dan hebat," ujar Rinjani seraya kembali memakaikan dasi.Daffa justru memeluk istrinya."Marilah kita selesaikan permasalahan kita dengan kepala dingin," lanjut Rinjani sambil berusaha melepaskan tangan suaminya.Kepala dingin bagaimana? Apa ia harus menyetujui perpisahan yang diinginkan Rinjani."Mungkin saling menjauh untuk sementara adalah keputusan yang tepat, Mas. Setelah urusanku wajib lapor selesai, izinkan aku bekerja. Kita sama-sama menata hati dan saling introspeksi diri."Keduanya saling pandang."Mas akan memberimu waktu untuk sendirian. Tapi bukan berarti kita akan berpisah," jawab Daffa.Beberapa saat terdiam, akhirnya Rinjani mengangguk pelan. Hendak 'ngotot' sekuat mana, ia belum tentu menang dari
RINDU YANG TERLUKA- Seminggu dalam SepiMobil Rinjani yang masih berada di garasi membuat Daffa agak lega. Namun ia segera turun dan melangkah lebar masuk ke dalam rumah. Perasaannya tak enak saat ia melewati pintu utama. Sepi. Biasa ada suara kartun dari ruang keluarga, terdengar tawa renyah Noval yang terkekeh melihat kelucuan tokoh animasi kegemarannya.Benar. Hingga ia masuk ruang tengah tidak ada bocah lelaki yang berlari menyambut dan memeluknya seperti biasa. Jam berapa pun dia sampai rumah, Noval akan selalu menunggunya. Terlebih saat Rinjani masih di tahanan, Noval tidak mau lepas darinya. Malah duduk di ruang tamu untuk menunggunya pulang.Ini pertama kalinya Daffa mulai asing dengan kondisi yang berbeda."Ibu mana, Mak?" Daffa bertanya pada Mak Sum yang muncul dari ruang makan."Ibu sama Mas Noval pergi jam empat tadi, Pak," jawab wanita tua itu dengan canggung. Jam empat? Berarti baru satu jam yang lalu karena sekarang sudah jam lima sore. "Lastri ikut?""Njih.""Naik