Rinjani yang masih di sana, mengambil dasi milik sang suami yang jatuh di lantai. Kemudian membenahi kerah dan kancing kemeja suaminya. "Pergilah ke kantor. Apapun yang terjadi di antara kita, jangan mengabaikan tanggungjawab pada pekerjaanmu, Mas. Noval butuh ayah yang kuat dan hebat," ujar Rinjani seraya kembali memakaikan dasi.Daffa justru memeluk istrinya."Marilah kita selesaikan permasalahan kita dengan kepala dingin," lanjut Rinjani sambil berusaha melepaskan tangan suaminya.Kepala dingin bagaimana? Apa ia harus menyetujui perpisahan yang diinginkan Rinjani."Mungkin saling menjauh untuk sementara adalah keputusan yang tepat, Mas. Setelah urusanku wajib lapor selesai, izinkan aku bekerja. Kita sama-sama menata hati dan saling introspeksi diri."Keduanya saling pandang."Mas akan memberimu waktu untuk sendirian. Tapi bukan berarti kita akan berpisah," jawab Daffa.Beberapa saat terdiam, akhirnya Rinjani mengangguk pelan. Hendak 'ngotot' sekuat mana, ia belum tentu menang dari
RINDU YANG TERLUKA- Seminggu dalam SepiMobil Rinjani yang masih berada di garasi membuat Daffa agak lega. Namun ia segera turun dan melangkah lebar masuk ke dalam rumah. Perasaannya tak enak saat ia melewati pintu utama. Sepi. Biasa ada suara kartun dari ruang keluarga, terdengar tawa renyah Noval yang terkekeh melihat kelucuan tokoh animasi kegemarannya.Benar. Hingga ia masuk ruang tengah tidak ada bocah lelaki yang berlari menyambut dan memeluknya seperti biasa. Jam berapa pun dia sampai rumah, Noval akan selalu menunggunya. Terlebih saat Rinjani masih di tahanan, Noval tidak mau lepas darinya. Malah duduk di ruang tamu untuk menunggunya pulang.Ini pertama kalinya Daffa mulai asing dengan kondisi yang berbeda."Ibu mana, Mak?" Daffa bertanya pada Mak Sum yang muncul dari ruang makan."Ibu sama Mas Noval pergi jam empat tadi, Pak," jawab wanita tua itu dengan canggung. Jam empat? Berarti baru satu jam yang lalu karena sekarang sudah jam lima sore. "Lastri ikut?""Njih.""Naik
"Sebaiknya kamu temui gadis itu dan ajak bicara baik-baik. Katakan kalau kamu memang nggak mungkin bisa sama dia karena kamu punya istri dan anak," saran Teddy siang itu saat mereka berdua tengah break makan siang di halaman kafe tak jauh dari kantor mereka. "Aku nggak mungkin nemui Bila. Dia bisa saja manfaatin pertemuan kami dan makin menambah runyam keadaan," jawab Daffa sambil menatap langit siang yang terik."Dia itu terobsesi banget sama kamu. Perempuan mana yang bisa menolak pesona Daffa Prasetya Bhakti, S.E., M.E. Ingat nggak sama mantanmu yang nangis kejer di hari pernikahanmu dengan Rin waktu itu. Padahal dia mantan waktu kamu masih S1, kan. Wih, masih segitunya cinta sama kamu.""Berhentilah mengejek, Ted," sergah Daffa.Teddy menyodorkan rokok pada sepupunya. Daffa hanya melirik sekilas. "Nggak pengen nyoba lagi? Lumayan untuk meredakan ketegangan. Rin juga nggak bakalan tahu." Teddy tersenyum sambil menyalakan rokok. Memang sengaja untuk menggoda sepupunya.Daffa menarik
Bu Tiwi menceritakan peristiwa di hotel Jogjakarta beberapa bulan lalu seperti cerita yang dipaparkan Abila tadi. Makin membuat Daffa terperanjat. Abila benar-benar sudah berada di luar kendali. "Apa benar yang diceritakan gadis itu?" tanya Bu Tiwi menahan geram dengan netra berkaca-kaca."Dia bohong, Ma. Aku nggak mungkin melakukannya dalam keadaan terkapar. Setidaknya setelah sadar aku pasti menemukan kejanggalan, tapi aku tidak menemukan bukti apapun. Jangan percaya pengakuan gadis itu," elak Daffa tidak terima."Ada-ada saja kamu, Daf. Setelah menikah mama pikir kamu berhenti," tangis Bu Tiwi pecah."Maaf, Ma. Percayalah kalau aku tidak melakukannya. Gadis itu ingin menjebakku."Bu Tiwi menghapus air mata dan menarik napas dalam-dalam. "Bagaimana mama mempercayaimu lagi. Gadis itu menangis-nangis tadi.""Aku yakin nggak ngelakuin itu ke Bila." Daffa frustasi. Kembali mengingat pagi hari di kamar hotel saat itu. Andai kesadarannya benar-benar pulih, harusnya dia mencari bukti atas
RINDU YANG TERLUKA- Luruhnya Sang Casanova Daffa membaca surat lamaran kerja yang terdiri dari empat paragraf itu. Padat, jelas, dan menarik. Dari surat itu dia tahu alamat lengkap di mana Rinjani akan bekerja. Klinik Semesta yang ada di kota Pujon, Malang.Dia juga memperhatikan CV yang dilampirkan, termasuk membaca dengan teliti surat izin dari suami yang butuh tanda tangannya."Baru setengah jam yang lalu aku selesai mengetiknya, Mas. Kami sampai Surabaya jam sepuluh pagi tadi.""Di Surabaya klinik ini juga ada. Kenapa pilih Malang?""Aku ingin mencari suasana baru. Di pinggiran yang jauh dari keramaian. Noval akan ikut denganku. Tapi sewaktu-waktu Mas bisa menjemputnya. Aku nggak mau bersengketa soal anak. Biarlah dia merasakan mendapat perhatian yang lengkap meski kita ... berpisah.""Bisa nggak, jangan ngomong soal perpisahan terus. Mas nggak bakalan nyerein kamu." Daffa mulai sakit kepala mendengar ucapan istrinya."Tanda tangani dulu!" Rinjani menggeser pulpen di hadapan sua
Azan Maghrib berkumandang dari toa masjid yang tidak jauh dari rumah Pak Haslam. "Mas, sudah maghrib. Salat dulu. Jangan bolong-bolong lagi ibadahnya. Marilah kita memulai memperbaiki diri. Bukan untuk siapa-siapa, ibadah itu untuk diri kita sendiri. Cara menjaga hubungan kita dengan Tuhan." Rinjani mengingatkan.Pada saat itu Pak Haslam keluar rumah sambil membawa sajadah di pundak. Bu Mila yang sudah memakai mukena menyusul di belakangnya. Daffa mencium tangan laki-laki itu. "Om, mau ke mushola. Nak Daffa mau ikut atau sholat di rumah?""Saya numpang sholat di sini saja, Om," jawab Daffa."Rin, kamu siapkan sajadah dan tempat sholat untuk suamimu." Bu Mila berkata pada Rinjani.Setelah om dan tantenya pergi ke masjid, Rinjani mengajak Daffa masuk rumah. Mengantarkan lelaki itu untuk wudhu di belakang. Saat itu Noval sedang menonton televisi ditemani oleh Lastri. "Nanti malam papa bobok di sini juga, ya. Noval kangen sama papa." Perkataan polos si kecil ketika Daffa menghampiri."Bo
Daffa hendak merengkuh istrinya tapi Rinjani segera melangkah keluar kamar. Tidak lama kemudian terdengar ucapan salam dari Pak Haslam dan Bu Mila yang baru pulang dari masjid.Malam itu mereka makan bersama. Ngobrol seperti biasa tanpa menyinggung segala perkara yang terjadi. Noval tidak mau lepas dari pangkuan papanya setelah seminggu tidak bertemu. Membuat perasaan Rinjani kembali bercelaru. Seminggu di kampung besannya Pak Haslam, Noval sibuk juga bertanya tentang papanya. Berulang kali memintanya supaya menelepon Daffa, tapi signal sangat tidak mendukung di sana. Dan Noval bisa dibujuk."Daffa keliatan nyesel banget, Rin. Dia benar-benar merasa kehilangan kalian," ujar Bu Mila ketika Rinjani membantu mencuci perkakas di dapur."Buaya kan begitu, Tante.""Jangan salah, Rin. Buaya itu hanya memiliki satu pasangan dalam hidupnya. Setia pada satu betina.""Itu buaya di air, Tan. Beda sama buaya darat."Bu Mila tersenyum geli mendengar perkataan keponakannya. "Rinjani, kamu bisa saja
RINDU YANG TERLUKA - Tempat Baru Ponsel Daffa berdering. Ada apa papanya menelepon jam sebelas malam begini. Apa terjadi sesuatu. Daffa bangun dari duduknya dengan perasaan khawatir. Siapa tahu Abila nekat membuat kekacauan yang lebih parah lagi dengan menemui papanya."Halo, Pa.""Kamu belum tidur?""Belum. Ada apa, Pa?""Ada yang ingin papa bicarakan sama kamu. Datang ke rumah, papa tunggu."Ponsel dimatikan. Daffa diam untuk beberapa saat. Sifat pemaksa sang papa sebenarnya tidak jauh dari karakternya sendiri. Kadang dirinya juga jengkel kalau diwajibkan pergi dalam kondisi tidak tahu waktu begini.Daffa bangkit dengan malas dan kembali memakai jaketnya. Saat keluar rumah ia tidak membangunkan Mak Sum. Kasihan, pasti sedang nyenyaknya tidur sekarang ini.Mobil melaju kencang membelah malam yang lumayan lengang.Suasana ruang tamu rumah orang tuanya masih terang benderang saat Daffa sampai. Papa dan mamanya masih menunggu di temani dua cangkir teh panas di atas meja. Tampaknya ada