Azan Maghrib berkumandang dari toa masjid yang tidak jauh dari rumah Pak Haslam. "Mas, sudah maghrib. Salat dulu. Jangan bolong-bolong lagi ibadahnya. Marilah kita memulai memperbaiki diri. Bukan untuk siapa-siapa, ibadah itu untuk diri kita sendiri. Cara menjaga hubungan kita dengan Tuhan." Rinjani mengingatkan.Pada saat itu Pak Haslam keluar rumah sambil membawa sajadah di pundak. Bu Mila yang sudah memakai mukena menyusul di belakangnya. Daffa mencium tangan laki-laki itu. "Om, mau ke mushola. Nak Daffa mau ikut atau sholat di rumah?""Saya numpang sholat di sini saja, Om," jawab Daffa."Rin, kamu siapkan sajadah dan tempat sholat untuk suamimu." Bu Mila berkata pada Rinjani.Setelah om dan tantenya pergi ke masjid, Rinjani mengajak Daffa masuk rumah. Mengantarkan lelaki itu untuk wudhu di belakang. Saat itu Noval sedang menonton televisi ditemani oleh Lastri. "Nanti malam papa bobok di sini juga, ya. Noval kangen sama papa." Perkataan polos si kecil ketika Daffa menghampiri."Bo
Daffa hendak merengkuh istrinya tapi Rinjani segera melangkah keluar kamar. Tidak lama kemudian terdengar ucapan salam dari Pak Haslam dan Bu Mila yang baru pulang dari masjid.Malam itu mereka makan bersama. Ngobrol seperti biasa tanpa menyinggung segala perkara yang terjadi. Noval tidak mau lepas dari pangkuan papanya setelah seminggu tidak bertemu. Membuat perasaan Rinjani kembali bercelaru. Seminggu di kampung besannya Pak Haslam, Noval sibuk juga bertanya tentang papanya. Berulang kali memintanya supaya menelepon Daffa, tapi signal sangat tidak mendukung di sana. Dan Noval bisa dibujuk."Daffa keliatan nyesel banget, Rin. Dia benar-benar merasa kehilangan kalian," ujar Bu Mila ketika Rinjani membantu mencuci perkakas di dapur."Buaya kan begitu, Tante.""Jangan salah, Rin. Buaya itu hanya memiliki satu pasangan dalam hidupnya. Setia pada satu betina.""Itu buaya di air, Tan. Beda sama buaya darat."Bu Mila tersenyum geli mendengar perkataan keponakannya. "Rinjani, kamu bisa saja
RINDU YANG TERLUKA - Tempat Baru Ponsel Daffa berdering. Ada apa papanya menelepon jam sebelas malam begini. Apa terjadi sesuatu. Daffa bangun dari duduknya dengan perasaan khawatir. Siapa tahu Abila nekat membuat kekacauan yang lebih parah lagi dengan menemui papanya."Halo, Pa.""Kamu belum tidur?""Belum. Ada apa, Pa?""Ada yang ingin papa bicarakan sama kamu. Datang ke rumah, papa tunggu."Ponsel dimatikan. Daffa diam untuk beberapa saat. Sifat pemaksa sang papa sebenarnya tidak jauh dari karakternya sendiri. Kadang dirinya juga jengkel kalau diwajibkan pergi dalam kondisi tidak tahu waktu begini.Daffa bangkit dengan malas dan kembali memakai jaketnya. Saat keluar rumah ia tidak membangunkan Mak Sum. Kasihan, pasti sedang nyenyaknya tidur sekarang ini.Mobil melaju kencang membelah malam yang lumayan lengang.Suasana ruang tamu rumah orang tuanya masih terang benderang saat Daffa sampai. Papa dan mamanya masih menunggu di temani dua cangkir teh panas di atas meja. Tampaknya ada
"Aku nggak akan nyerein Rin apapun yang terjadi, Ma." Daffa berhenti sejenak lantas memandang sang papa. "Pa, aku sudah menyetujui dan menandatangani surat izin Rin kembali bekerja. Aku pikir, kami memang butuh waktu untuk saling introspeksi diri. Aku nggak nyalahin Rin kalau begitu susahnya mempercayaiku lagi. Tapi aku akan terus mencoba untuk merebut hatinya kembali."Jadi aku sangat memohon pengertian papa dan mama, agar tidak menahan Noval. Aku akan carikan tempat tinggal yang aman dan nyaman di Malang. Ada Lastri juga yang bersama mereka untuk menjaga Noval. Rin juga tetap memberikan kesempatan kita bisa bertemu Noval. "Setelah apa yang terjadi, tentunya Rin tidak nyaman lagi berkarir di Surabaya. Nanti aku yang akan bolak-balik Surabaya-Malang.""Kamu pikir itu nggak nyita waktu?" sergah Pak Farhan. "Kita bisa mencarikan pekerjaan untuk istrimu itu supaya tetap di Surabaya.""Pa, aku tidak bisa memaksakan kehendak. Aku yang salah. Rin tidak nyaman lagi di kota ini apalagi Abila
Daffa meraih pinggang istrinya hingga mereka melekat. "Kita bermalam di sini, besok pagi baru kita jemput Noval terus ke rumah Om untuk pamitan."Rinjani berusaha melepaskan tangan Daffa yang melingkari pinggangnya. Namun tetap tidak semudah itu bisa lepas. Apalagi tatapan tajam yang penuh gelora itu seolah hendak menerkamnya bulat-bulat."Kekasihmu mengirimkan pesan padaku kemarin pagi."Netra Daffa menyipit karena kaget. Abila benar-benar nekat. "Jangan gunakan sebutan itu.""Oh, aku lupa. Gadis kesayanganmu menghubungiku ngajak ketemuan."Wajah Daffa memerah. Ia mengalihkan pandangan. Rinjani benar-benar mengujinya dengan segala sebutan yang sengaja untuk menyindirnya."Dari mana dia tahu nomer teleponmu?""Mana aku tahu. Bisa jadi melihat dari ponsel Mas saat kalian berkencan.""Aku sudah memutuskan meninggalkan kota ini untuk membuka lembaran baru di tempat baru. Dengan Abila atau dengan siapapun Mas nanti akan menjadikannya pelabuhan terakhir, tetap jalin komunikasi yang baik de
RINDU YANG TERLUKA - Kangen "Tri, ibu mana?" tanya Daffa dengan gusar. Sejak tadi teleponnya tidak dijawab oleh Rinjani. Padahal istrinya sudah pulang dari klinik."Ibu lagi meriksa Bu Murti, Pak. Mendadak beliau sakit dan Pak Reza minta tolong Bu Dokter untuk memeriksa."Daffa berdecak lirih. Gimana dia mau marah. Istrinya kan dokter. Tahu kan tugas dokter itu apa. Jadi tidak mungkin Daffa mencak-mencak karena cemburu. Padahal rupa pria tetangga itu seperti apa, Daffa belum melihatnya."Noval mana?""Mas Noval ikut, Pak.""Ya, sudah." Daffa meletakkan ponsel dengan kasar di sebelahnya. Semenjak kembali dari Malang. Drama banget perasaannya. Cemburu, cemas, takut, jungkir balik pokoknya. Seminggu yang meresahkan dan tidak tenang.Duda sebelah rumah membuatnya kalang kabut. Muhammad Reza Yusuf begitu Lastri memberitahu namanya dua hari yang lalu. Apa orangnya juga setampan namanya? Nabi Yusuf yang memiliki ketampanan seperempat jagat. Apa dia mendapatkan cipratan yang lebih banyak d
"Udah sore, bentar lagi Maghrib. Besok main lagi setelah pulang sekolah."Noval menggeleng."Biar main dulu di sini, Dok. Nanti saya anterin pulang," kata Reza."Biar nanti kami jemput saja, Pak Reza.""Oh, oke.""Kalau gitu saya permisi. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Rinjani pulang sendirian. Melangkah sambil merapatkan sweater abu-abu yang dipakainya. Hawa sangat dingin bagi Rinjani yang sudah terbiasa oleh panasnya kota Surabaya. Setelah selesai salat isya, ia sudah mulai memakai kaus kaki hingga pagi. Dilepas sebentar jika ke kamar mandi.Wanita itu berdiri menatap langit barat yang semburat jingga. Menghirup udara dalam-dalam. Tempat yang menyenangkan dan membuat betah. Tenang, udara bersih. Lingkungan kerjanya juga ramah dan bersahabat. Tidak salah ia memilih tempat ini. Walaupun memang harus membiasakan diri bersosialisasi dengan warga sekitar. Hidup di pinggiran jelas tidak sama dengan hidup di kota besar. Kemarin malam ada warga yang mengirim berkat kenduri ke rumah.
Dua minggu kemudian ....Keadaan kian rumit di perusahaan. Daffa makin sibuk dengan segala urusan semenjak pulang dari Jakarta. Banyak kejanggalan yang sengaja diciptakan untuk menjatuhkannya. Ini yang membuat Daffa tidak bisa pergi ke mana-mana.Padahal dia ingin segera ke Malang untuk menjelaskan bahwa apa yang diomongkan Abila tidak benar. Daffa tidak heran kalau Abila tahu dirinya sedang ada di Jakarta beberapa hari yang lalu. Sebab perusahaan mereka masih terlibat kerjasama."Din, cancel semua jadwal saya untuk hari Senin depan. Saya ngambil cuti sehari," ujar Daffa sambil membubuhkan tanda tangan. Sabtu, Minggu, Senin. Tiga hari cukup untuk dia tinggal di Malang."Senin ini ada meeting dengan jajaran direksi, Pak," jawab Dinda lantas membuka tablet-nya. Membacakan senarai jadwal bosnya hingga minggu depan. Sabtu pun ada pekerjaan.Setelah Dinda keluar ruangan, Daffa menghela nafas panjang sambil menyandarkan tubuh ke punggung kursi. Akhir tahun memang banyak sekali yang harus di