Daffa meraih pinggang istrinya hingga mereka melekat. "Kita bermalam di sini, besok pagi baru kita jemput Noval terus ke rumah Om untuk pamitan."Rinjani berusaha melepaskan tangan Daffa yang melingkari pinggangnya. Namun tetap tidak semudah itu bisa lepas. Apalagi tatapan tajam yang penuh gelora itu seolah hendak menerkamnya bulat-bulat."Kekasihmu mengirimkan pesan padaku kemarin pagi."Netra Daffa menyipit karena kaget. Abila benar-benar nekat. "Jangan gunakan sebutan itu.""Oh, aku lupa. Gadis kesayanganmu menghubungiku ngajak ketemuan."Wajah Daffa memerah. Ia mengalihkan pandangan. Rinjani benar-benar mengujinya dengan segala sebutan yang sengaja untuk menyindirnya."Dari mana dia tahu nomer teleponmu?""Mana aku tahu. Bisa jadi melihat dari ponsel Mas saat kalian berkencan.""Aku sudah memutuskan meninggalkan kota ini untuk membuka lembaran baru di tempat baru. Dengan Abila atau dengan siapapun Mas nanti akan menjadikannya pelabuhan terakhir, tetap jalin komunikasi yang baik de
RINDU YANG TERLUKA - Kangen "Tri, ibu mana?" tanya Daffa dengan gusar. Sejak tadi teleponnya tidak dijawab oleh Rinjani. Padahal istrinya sudah pulang dari klinik."Ibu lagi meriksa Bu Murti, Pak. Mendadak beliau sakit dan Pak Reza minta tolong Bu Dokter untuk memeriksa."Daffa berdecak lirih. Gimana dia mau marah. Istrinya kan dokter. Tahu kan tugas dokter itu apa. Jadi tidak mungkin Daffa mencak-mencak karena cemburu. Padahal rupa pria tetangga itu seperti apa, Daffa belum melihatnya."Noval mana?""Mas Noval ikut, Pak.""Ya, sudah." Daffa meletakkan ponsel dengan kasar di sebelahnya. Semenjak kembali dari Malang. Drama banget perasaannya. Cemburu, cemas, takut, jungkir balik pokoknya. Seminggu yang meresahkan dan tidak tenang.Duda sebelah rumah membuatnya kalang kabut. Muhammad Reza Yusuf begitu Lastri memberitahu namanya dua hari yang lalu. Apa orangnya juga setampan namanya? Nabi Yusuf yang memiliki ketampanan seperempat jagat. Apa dia mendapatkan cipratan yang lebih banyak d
"Udah sore, bentar lagi Maghrib. Besok main lagi setelah pulang sekolah."Noval menggeleng."Biar main dulu di sini, Dok. Nanti saya anterin pulang," kata Reza."Biar nanti kami jemput saja, Pak Reza.""Oh, oke.""Kalau gitu saya permisi. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Rinjani pulang sendirian. Melangkah sambil merapatkan sweater abu-abu yang dipakainya. Hawa sangat dingin bagi Rinjani yang sudah terbiasa oleh panasnya kota Surabaya. Setelah selesai salat isya, ia sudah mulai memakai kaus kaki hingga pagi. Dilepas sebentar jika ke kamar mandi.Wanita itu berdiri menatap langit barat yang semburat jingga. Menghirup udara dalam-dalam. Tempat yang menyenangkan dan membuat betah. Tenang, udara bersih. Lingkungan kerjanya juga ramah dan bersahabat. Tidak salah ia memilih tempat ini. Walaupun memang harus membiasakan diri bersosialisasi dengan warga sekitar. Hidup di pinggiran jelas tidak sama dengan hidup di kota besar. Kemarin malam ada warga yang mengirim berkat kenduri ke rumah.
Dua minggu kemudian ....Keadaan kian rumit di perusahaan. Daffa makin sibuk dengan segala urusan semenjak pulang dari Jakarta. Banyak kejanggalan yang sengaja diciptakan untuk menjatuhkannya. Ini yang membuat Daffa tidak bisa pergi ke mana-mana.Padahal dia ingin segera ke Malang untuk menjelaskan bahwa apa yang diomongkan Abila tidak benar. Daffa tidak heran kalau Abila tahu dirinya sedang ada di Jakarta beberapa hari yang lalu. Sebab perusahaan mereka masih terlibat kerjasama."Din, cancel semua jadwal saya untuk hari Senin depan. Saya ngambil cuti sehari," ujar Daffa sambil membubuhkan tanda tangan. Sabtu, Minggu, Senin. Tiga hari cukup untuk dia tinggal di Malang."Senin ini ada meeting dengan jajaran direksi, Pak," jawab Dinda lantas membuka tablet-nya. Membacakan senarai jadwal bosnya hingga minggu depan. Sabtu pun ada pekerjaan.Setelah Dinda keluar ruangan, Daffa menghela nafas panjang sambil menyandarkan tubuh ke punggung kursi. Akhir tahun memang banyak sekali yang harus di
RINDU YANG TERLUKA - Memilikimu"Nggak niat banget nutup matanya, Mas," cicit Rinjani sambil memakai bajunya. Biar sekalian Daffa melihatnya. Daripada dia masuk angin karena kedinginan."Udah belum? Boleh buka mata?" tanya Daffa."Dari tadi mana ada Mas nutup mata." Rinjani menggerutu seraya meraih sweater di gantungan belakang pintu. Daffa tersenyum jahil sambil mendekat. "Honey, s*ksi banget sih kamu.""Modus kamu, Mas. Aku buatin minum dulu. Mau kopi apa teh?" tanya Rinjani tidak menggubris pujian Daffa. Orang masih jengkel, dikira sudah baik-baik saja.Ah, Daffa pun sama. Pria berpostur tinggi itu tidak menjawab malah menarik tangan sang istri hingga melekat di tubuhnya. Capek mendongak, Rinjani berusaha melepaskan pegangan tangan suaminya. Namun tidak bisa mengelak dari aroma tubuh Daffa yang bercampur parfum di baju dan jaketnya. Aroma favorit yang tidak pernah berganti semenjak Rinjani mengenalnya untuk pertama kali."Lepasin. Kubuatin minum."Daffa mengangkat dagu sang istri
Rinjani bangkit dari duduknya dan melepaskan mukena. Ia keluar kamar dan menghampiri Daffa yang sibuk bermain dengan Noval. "Mas, udah sholat belum?""Sudah. Tadi mampir di Batu untuk sholat," jawab Daffa memandangnya.Rinjani ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Tidak ada persiapan apa-apa karena tidak tahu kalau Daffa pulang sore itu. Hendak keluar membeli sesuatu, tapi hujan turun deras saat itu.Setelah salat Maghrib, mereka duduk di ruang makan. Noval manja minta disuapi papanya."Maaf, nggak bisa nyediain apa-apa. Mas, nggak ngabari kalau mau ke sini," ujar Rinjani sambil menyendokkan nasi buat Daffa dan Noval."Nggak apa-apa. Ini cukup enak." Daffa memandang atas meja. Ada gurame goreng, ayam goreng, lalapan dan sambal. "Assalamu'alaikum." Ketika tengah makan, ada suara salam di luar."Wa'alaikumsalam," jawab mereka serempak.Lastri yang bangkit untuk ke depan. Lantas kembali sambil membawa sekotak brownis dan wingko babat di tangannya. "Dikasih oleh-oleh sama Pak Dosen, Bu.
Daffa diam. Rinjani tidak tahu kalau godaan selalu ada di lingkungan kerjanya. Perempuan-perempuan itu mendadak begitu agresif mencari perhatiannya. Bukan sekarang. Sejak dulu juga begitu. Namun Abila ini yang berhasil menjeratnya kembali."Rin, susah sekali ya kamu mempercayai lagi suamimu ini?"Rinjani menarik napas dalam-dalam. Tidak hanya perempuan yang memiliki pesona raga yang membuat kaum lelaki memiliki fantasi liar saat melihatnya. Tapi Daffa, lelaki yang memiliki itu semua. Jujur saja, Daffa memiliki s*x appeal yang tinggi. Sosoknya memikat dengan fisik yang nyaris sempurna. Siapa perempuan yang bisa memalingkan muka darinya. Dia pria yang penuh percaya diri didukung oleh segala kemampuan dalam dirinya. Open minded, rutin berolahraga, bisa mengelola emosi dengan sangat baik. Dan satu lagi. Dia seorang laki-laki yang sangat memanjakan pasangannya. Namun tidak ada manusia yang sempurna. Cela itu tetap ada."Oke. Mas nggak bisa maksain kamu sekarang ini. Tapi mas akan memberik
RINDU YANG TERLUKA- Lawan Seimbang Tampan, postur proposional, dewasa, dan berkharisma. Usianya mungkin sama dengan kakak sulungnya. Itu yang ditangkap sekilas dari sosok Reza. Duda sebelah yang melangkah pulang ke rumahnya.Daffa masih memperhatikan dari jendela. Dia melihat seorang wanita tua keluar dari rumah. Pasti itu yang bernama Bu Murti. Reza mengangkat kursi dari teras dan meletakkan di halaman untuk ibunya berjemur. Dari gesturnya tampak sekali kalau lelaki itu sangat perhatian pada ibunya.Beberapa saat kemudian, Rinjani menyeberang dan wanita tua itu memanggilnya. Rinjani menghampiri. Daffa melihat mereka bertiga ngobrol sangat akrab. Sesak dalam dada kembali menghantam. Kenapa dosen itu menatap Rinjani penuh pandang perhatian. Mestinya dia tahu kan kalau Rinjani punya suami.Daffa merapatkan jaket dengan gusar. Awal pagi yang tercipta begitu indahnya tadi, kini terbakar oleh api cemburu yang berkobar menghanguskan hatinya."Pa." Panggilan itu membuat Daffa menoleh.Nova