RINDU YANG TERLUKA - Memilikimu"Nggak niat banget nutup matanya, Mas," cicit Rinjani sambil memakai bajunya. Biar sekalian Daffa melihatnya. Daripada dia masuk angin karena kedinginan."Udah belum? Boleh buka mata?" tanya Daffa."Dari tadi mana ada Mas nutup mata." Rinjani menggerutu seraya meraih sweater di gantungan belakang pintu. Daffa tersenyum jahil sambil mendekat. "Honey, s*ksi banget sih kamu.""Modus kamu, Mas. Aku buatin minum dulu. Mau kopi apa teh?" tanya Rinjani tidak menggubris pujian Daffa. Orang masih jengkel, dikira sudah baik-baik saja.Ah, Daffa pun sama. Pria berpostur tinggi itu tidak menjawab malah menarik tangan sang istri hingga melekat di tubuhnya. Capek mendongak, Rinjani berusaha melepaskan pegangan tangan suaminya. Namun tidak bisa mengelak dari aroma tubuh Daffa yang bercampur parfum di baju dan jaketnya. Aroma favorit yang tidak pernah berganti semenjak Rinjani mengenalnya untuk pertama kali."Lepasin. Kubuatin minum."Daffa mengangkat dagu sang istri
Rinjani bangkit dari duduknya dan melepaskan mukena. Ia keluar kamar dan menghampiri Daffa yang sibuk bermain dengan Noval. "Mas, udah sholat belum?""Sudah. Tadi mampir di Batu untuk sholat," jawab Daffa memandangnya.Rinjani ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Tidak ada persiapan apa-apa karena tidak tahu kalau Daffa pulang sore itu. Hendak keluar membeli sesuatu, tapi hujan turun deras saat itu.Setelah salat Maghrib, mereka duduk di ruang makan. Noval manja minta disuapi papanya."Maaf, nggak bisa nyediain apa-apa. Mas, nggak ngabari kalau mau ke sini," ujar Rinjani sambil menyendokkan nasi buat Daffa dan Noval."Nggak apa-apa. Ini cukup enak." Daffa memandang atas meja. Ada gurame goreng, ayam goreng, lalapan dan sambal. "Assalamu'alaikum." Ketika tengah makan, ada suara salam di luar."Wa'alaikumsalam," jawab mereka serempak.Lastri yang bangkit untuk ke depan. Lantas kembali sambil membawa sekotak brownis dan wingko babat di tangannya. "Dikasih oleh-oleh sama Pak Dosen, Bu.
Daffa diam. Rinjani tidak tahu kalau godaan selalu ada di lingkungan kerjanya. Perempuan-perempuan itu mendadak begitu agresif mencari perhatiannya. Bukan sekarang. Sejak dulu juga begitu. Namun Abila ini yang berhasil menjeratnya kembali."Rin, susah sekali ya kamu mempercayai lagi suamimu ini?"Rinjani menarik napas dalam-dalam. Tidak hanya perempuan yang memiliki pesona raga yang membuat kaum lelaki memiliki fantasi liar saat melihatnya. Tapi Daffa, lelaki yang memiliki itu semua. Jujur saja, Daffa memiliki s*x appeal yang tinggi. Sosoknya memikat dengan fisik yang nyaris sempurna. Siapa perempuan yang bisa memalingkan muka darinya. Dia pria yang penuh percaya diri didukung oleh segala kemampuan dalam dirinya. Open minded, rutin berolahraga, bisa mengelola emosi dengan sangat baik. Dan satu lagi. Dia seorang laki-laki yang sangat memanjakan pasangannya. Namun tidak ada manusia yang sempurna. Cela itu tetap ada."Oke. Mas nggak bisa maksain kamu sekarang ini. Tapi mas akan memberik
RINDU YANG TERLUKA- Lawan Seimbang Tampan, postur proposional, dewasa, dan berkharisma. Usianya mungkin sama dengan kakak sulungnya. Itu yang ditangkap sekilas dari sosok Reza. Duda sebelah yang melangkah pulang ke rumahnya.Daffa masih memperhatikan dari jendela. Dia melihat seorang wanita tua keluar dari rumah. Pasti itu yang bernama Bu Murti. Reza mengangkat kursi dari teras dan meletakkan di halaman untuk ibunya berjemur. Dari gesturnya tampak sekali kalau lelaki itu sangat perhatian pada ibunya.Beberapa saat kemudian, Rinjani menyeberang dan wanita tua itu memanggilnya. Rinjani menghampiri. Daffa melihat mereka bertiga ngobrol sangat akrab. Sesak dalam dada kembali menghantam. Kenapa dosen itu menatap Rinjani penuh pandang perhatian. Mestinya dia tahu kan kalau Rinjani punya suami.Daffa merapatkan jaket dengan gusar. Awal pagi yang tercipta begitu indahnya tadi, kini terbakar oleh api cemburu yang berkobar menghanguskan hatinya."Pa." Panggilan itu membuat Daffa menoleh.Nova
"Kenapa? Biar kamu bisa numpang di mobil duda sebelah kalau hendak ke mana-mana." Daffa berkata tajam."Nggak usah mengada-ada. Kecurigaanmu nggak beralasan, Mas. Begitulah kalau pernah curang. Bawaannya juga mencurigai pasangan. Dikira aku pun melakukan seperti apa yang mas lakukan."Daffa terdiam dan mereka saling pandang. Baru kali ini merasakan cemburu sehebat ini. Membuatnya berat meninggalkan Pujon Selatan."Mas, mandi dulu sana." Rinjani memberikan handuk bersih pada suaminya. Daffa menerima sekaligus menarik tangan istrinya. Mencumbu Rinjani di ruang tengah. Memantik h*srat yang kembali menguasai."Kamu nanti telat, Mas. Jangan menambah masalah lagi. Banyak yang harus kamu selesaikan, bukan?" Rinjani berusaha merenggangkan tubuhnya menjauh dari Daffa."Sekarang berangkat pun, sudah telat untuk meeting jam sembilan nanti. Satu jam dari sini belum tentu bisa sampai Surabaya," jawab Daffa tanpa melonggarkan tangannya."Rin, kita kembali ke Surabaya.""Jangan egois, Mas. Semalam M
Dan mulai hari itu, Daffa fokus pada perusahaan. Menyelesaikan pekerjaan satu per satu. Dia butuh fokus dan konsentrasi. Juga harus mencari tahu siapa yang berusaha menjatuhkannya. Bergerak sendiri karena tidak ingin salah mempercayai orang, meski dengan Teddy sekalipun.***L***Dua minggu kemudian ...."Dokter Rin, mari pulang bareng saya." Reza menghampiri Rinjani yang masih berdiri di teras aula sekolahan Noval karena hujan turun sangat deras.Siang itu memang ada pertemuan wali murid untuk membahas acara outbound untuk anak-anak TK. Sejak Daffa masih sekolah di Surabaya, setiap ada undangan pertemuan wali murid, Rinjani selalu menyempatkan untuk hadir sendiri. Meski ada Lastri yang bisa mewakili.Reza juga hadir sendiri karena Bu Murti yang biasa datang sedang tidak enak badan. Kesehatan sang ibu memang menurun drastis akhir-akhir ini. "Saya bawa motor, Pak Reza.""Nggak mungkin kan dokter Rin boceng Noval pulang naik motor kondisi hujan deras begini," sanggah Reza."Bareng sama
RINDU YANG TERLUKA - Daffa & Bre"Halo, Bre." Daffa duduk di mobilnya, baru menerima telepon."Hai, kamu di mana?" Suara sahabatnya di seberang. "Di kantor. Kamu di Surabaya apa di Malang?""Di Malang. Kapan kamu ke Malang?""Bentar lagi aku on the way ke sana.""Bisa kita ketemuan.""Aku nggak janji, Bre. Kacau banget pikiranku sekarang. Mana urusan perusahaan belum kelar. Ditambah lagi kepikiran sama Rin. Sumpah lama-lama aku bisa sinting."Terdengar tawa ngakak di seberang. "Kamu jangan gila. Biar aku saja yang gila. Nggak enak banget jadi orang yang paling menyesal dan kehilangan, Fa. Perjuangkan jangan sampai terlepas. Jangan sampai Rin mengajukan khulu. Kelar hidup loe. Biar aku saja yang nyesel. Kamu jangan." Suara Bre terdengar berat."Masih ingat kan gimana kamu ngejar Rin dulu. Kamu mati-matian dapetin dia, sedangkan waktu itu aku sudah nikah sama Livia tapi masih sibuk ngeyakinin mamaku. Punyaku sudah terlepas dan kamu jangan ngikutin jejakku. Kalau kamu beneran masih ber
Mobil memasuki garasi rumah. Daffa tergesa masuk dan mandi. Memasukkan beberapa pakaian ke dalam ransel karena akan menginap di sana beberapa hari.Ketika masih berganti baju, ponsel di atas kasur kembali berpendar. Diterima atau diabaikan saja panggilan itu. Dibiarkan bikin runyam, diterima tambah masalah. Pusing banget jadinya. Daffa memilih membiarkan. Hingga pesan beruntun diterimanya dari gadis itu, Abila.Daffa meraih ponselnya dan berdiri di dekat jendela kamar.[Mas Daffa, ketemuan yuk!][Cuek banget sekarang. Takut ya sama binimu, Mas? Lupa kalau aku pernah menemani hari-harimu? Lupa juga kita pernah melewati malam yang panas di Jogja. Setelah kamu mengambil semuanya, setelah ketauan istrimu, kenapa lelaki hot ini jadi melempem.]Pesan terakhir yang membuat Daffa meradang. Giginya gemertak menahan amarah. Ingin mengabaikan saja, tapi ia tidak terima dengan pengakuan Abila yang telah tidur dengannya. Daffa diam beberapa lama kemudian memutuskan menelepon saja."Hai, Mas Daffa.