Dan mulai hari itu, Daffa fokus pada perusahaan. Menyelesaikan pekerjaan satu per satu. Dia butuh fokus dan konsentrasi. Juga harus mencari tahu siapa yang berusaha menjatuhkannya. Bergerak sendiri karena tidak ingin salah mempercayai orang, meski dengan Teddy sekalipun.***L***Dua minggu kemudian ...."Dokter Rin, mari pulang bareng saya." Reza menghampiri Rinjani yang masih berdiri di teras aula sekolahan Noval karena hujan turun sangat deras.Siang itu memang ada pertemuan wali murid untuk membahas acara outbound untuk anak-anak TK. Sejak Daffa masih sekolah di Surabaya, setiap ada undangan pertemuan wali murid, Rinjani selalu menyempatkan untuk hadir sendiri. Meski ada Lastri yang bisa mewakili.Reza juga hadir sendiri karena Bu Murti yang biasa datang sedang tidak enak badan. Kesehatan sang ibu memang menurun drastis akhir-akhir ini. "Saya bawa motor, Pak Reza.""Nggak mungkin kan dokter Rin boceng Noval pulang naik motor kondisi hujan deras begini," sanggah Reza."Bareng sama
RINDU YANG TERLUKA - Daffa & Bre"Halo, Bre." Daffa duduk di mobilnya, baru menerima telepon."Hai, kamu di mana?" Suara sahabatnya di seberang. "Di kantor. Kamu di Surabaya apa di Malang?""Di Malang. Kapan kamu ke Malang?""Bentar lagi aku on the way ke sana.""Bisa kita ketemuan.""Aku nggak janji, Bre. Kacau banget pikiranku sekarang. Mana urusan perusahaan belum kelar. Ditambah lagi kepikiran sama Rin. Sumpah lama-lama aku bisa sinting."Terdengar tawa ngakak di seberang. "Kamu jangan gila. Biar aku saja yang gila. Nggak enak banget jadi orang yang paling menyesal dan kehilangan, Fa. Perjuangkan jangan sampai terlepas. Jangan sampai Rin mengajukan khulu. Kelar hidup loe. Biar aku saja yang nyesel. Kamu jangan." Suara Bre terdengar berat."Masih ingat kan gimana kamu ngejar Rin dulu. Kamu mati-matian dapetin dia, sedangkan waktu itu aku sudah nikah sama Livia tapi masih sibuk ngeyakinin mamaku. Punyaku sudah terlepas dan kamu jangan ngikutin jejakku. Kalau kamu beneran masih ber
Mobil memasuki garasi rumah. Daffa tergesa masuk dan mandi. Memasukkan beberapa pakaian ke dalam ransel karena akan menginap di sana beberapa hari.Ketika masih berganti baju, ponsel di atas kasur kembali berpendar. Diterima atau diabaikan saja panggilan itu. Dibiarkan bikin runyam, diterima tambah masalah. Pusing banget jadinya. Daffa memilih membiarkan. Hingga pesan beruntun diterimanya dari gadis itu, Abila.Daffa meraih ponselnya dan berdiri di dekat jendela kamar.[Mas Daffa, ketemuan yuk!][Cuek banget sekarang. Takut ya sama binimu, Mas? Lupa kalau aku pernah menemani hari-harimu? Lupa juga kita pernah melewati malam yang panas di Jogja. Setelah kamu mengambil semuanya, setelah ketauan istrimu, kenapa lelaki hot ini jadi melempem.]Pesan terakhir yang membuat Daffa meradang. Giginya gemertak menahan amarah. Ingin mengabaikan saja, tapi ia tidak terima dengan pengakuan Abila yang telah tidur dengannya. Daffa diam beberapa lama kemudian memutuskan menelepon saja."Hai, Mas Daffa.
"Mungkin ingin cari suasana baru, Ma," jawab Reza. Walaupun sudah tahu apa alasan Rinjani pindah ke Malang, tapi Reza tidak mungkin menceritakan hal itu pada sang mama. Pemilik klinik Semesta adalah teman baik Reza, jadi dia yang menceritakan latar belakang kehidupan Rinjani dan suaminya saat mereka ngopi seminggu yang lalu.Temannya juga cerita kalau Rinjani sudah menjadi yatim piatu semenjak kelas empat SD. Hidup bersama omnya hingga dia menikah. "Dokter Ratih, temanku yang cerita, Za. Makanya aku ngasih kesempatan kerja di klinikku. Aku memaklumi apa yang dilakukannya saat itu, walaupun di mata hukum tetap saja dia salah. Kasihan, masih muda dan karirnya masih panjang."Apa kurangnya Rinjani, tidak hanya cantik, tapi baik, dan dokter lagi. Perempuan seperti ini masih dikhianati. Wanita seperti apa yang membuat suaminya tega mendua."Za, jangan jatuh hati pada istri orang." Peringatan dari sang mama membuat Reza terkesiap."Nggak mungkin, Ma." Reza tersenyum sambil mengalihkan panda
RINDU YANG TERLUKA - Perempuan Gila"Permisi, Sus. Saya ingin bertemu dokter Rin. Bisa minta tolong untuk dipanggikan sebentar saja?" Daffa menahan seorang perawat yang tergesa keluar dari ruang IGD."Maaf, Pak. Apa Anda ingin periksa?" tanya perawat itu yang memang tidak mengenali siapa Daffa. "Silakan daftar dan mengantri dulu, karena Dokter Rindu sedang sibuk menangani pasien kecelakaan sekarang ini." Selesai menjawab dengan sopan, perawat yang membawa baskom segera berlalu meninggalkannya.Daffa mundur dan duduk di bangku logam yang terasa sangat dingin. Hujan belum ada tanda akan berhenti. Dokter Rindu. Di klinik itu Rinjani dipanggil dokter Rindu?Dokter Rinjani Rindu Fawzia.Jarum jam di tangan Daffa menunjukkan pukul sepuluh malam. Di ruang IGD masih sibuk. Para keluarga pasien berdatangan dalam keadaan panik dan cemas.Sebuah mobil ambulan berhenti tepat di depan pintu IGD. Beberapa perawat membuka pintu mobil dan pintu IGD lebar-lebar. Beberapa pasien di dorong keluar dan m
[Apa maumu, Bil? Kenapa kamu kirim foto penuh fitnah itu pada istriku.][Biar dia tahu kalau suaminya yang begitu hot itu juga meniduri wanita lain. Kenapa, Mas? Kamu takut sekarang. Garang cuman di ranjang, keok di depan bini.][Jaga bicaramu. Kamu benar-benar perempuan tidak tahu malu, Bila. Bisa-bisanya bicara seperti ini. Aku nggak pernah menyentuhmu.][Takut kamu, Mas?][Perempuan gila kamu, Bil.]Daffa meletakkan ponsel dengan kasar di atas meja. Lantas mengusap wajahnya dengan gusar. Tak lama kemudian kembali masuk kamar. Rinjani masih miring menghadap dinding. Daffa perlahan kembali merebahkan diri di belakang istrinya.Keresahan kian merajalela. Takut Rinjani diam-diam mengajukan gugatan cerai atau lebih parahnya lagi melakukan khulu.***L***Semenjak bangun habis salat subuh hingga mempersiapkan sarapan, Rinjani tidak bicara sama sekali. Semua dikerjakan dalam diam. Menyuguhkan secangkir kopi juga tanpa perkataan. Wanita itu hanya berbicara, menjawab pertanyaan Lastri dan No
Ketenangan yang tercipta beberapa minggu ini, kembali terusik oleh pesan semalam. Ia bisa melihat sesalan di tatapan Daffa, tapi jiwanya tidak bisa dibohongi. Sakit itu tetap terasa. Sedangkan Daffa yang masih berdiri di depan pintu, mendengar isak tangis dari dalam. Apakah sudah tertutup hati Rinjani untuk menerimanya kembali? Daffa tidak ingin mengalami sesal dan luka seperti sahabatnya. Kehilangan yang dialami Bre saja bisa ia rasakan, bagaimana jika itu terjadi pada dirinya. Pasti akan lebih terpuruk lagi daripada Bre. Gila mungkin.Rinjani kaget saat keluar mendapati suaminya masih berdiri di depan kamar."Mas, aku berangkat ke klinik." Rinjani menenteng tas ke arah pintu."Mas anterin.""Nggak usah. Aku biasa jalan kaki. Deket banget. Lucu kalau naik mobil," tolak Rinjani seraya memakai sepatunya.Daffa mengambil kunci mobil lantas meraih lengan sang istri. Di rumah sana, Bu Murti yang sedang berjemur di halaman tersenyum ke arahnya. Rinjani mengangguk sebagai balasan. Daffa m
RINDU YANG TERLUKA- Setelah Dari Jogja Rinjani tidak bisa tidur malam itu. Ponsel Daffa tidak aktif lagi semenjak dia berangkat tadi. Mana hujan belum juga reda. Sesekali petir menggelegar membelah malam.Perjalanan Malang-Jogja butuh waktu delapan jam. Daffa tadi lewat jalan mana? Jalur bawah atau tol. Kalau tol mesti putar arah ke Malang kota dulu. Tapi kalau lewat Ngantang, jalannya berkelok-kelok, kanan kiri jurang dan lewat hutan. Tentu saja sangat gelap, apalagi kondisi hujan begini dan jalanan pasti licin.Pikiran Rinjani makin tak enak. Kalau di telepon pun belum tentu di angkat. Nyetir sendiri, pasti Daffa tidak peduli dengan ponselnya. Perjalanan malam kondisi tidak bisa maksimal. Mengantuk juga lelah, apalagi perjalanan tanpa teman.Ada sesal di antara rasa kecewa yang teramat sangat. Jiwa terdalamnya tersentuh. Daffa benar-benar ingin memperjuangkan hubungan mereka. Segitunya Daffa berusaha mengambil hatinya. Namun kenapa luka itu sulit sekali sembuh. Berdamai sambil men