Ketenangan yang tercipta beberapa minggu ini, kembali terusik oleh pesan semalam. Ia bisa melihat sesalan di tatapan Daffa, tapi jiwanya tidak bisa dibohongi. Sakit itu tetap terasa. Sedangkan Daffa yang masih berdiri di depan pintu, mendengar isak tangis dari dalam. Apakah sudah tertutup hati Rinjani untuk menerimanya kembali? Daffa tidak ingin mengalami sesal dan luka seperti sahabatnya. Kehilangan yang dialami Bre saja bisa ia rasakan, bagaimana jika itu terjadi pada dirinya. Pasti akan lebih terpuruk lagi daripada Bre. Gila mungkin.Rinjani kaget saat keluar mendapati suaminya masih berdiri di depan kamar."Mas, aku berangkat ke klinik." Rinjani menenteng tas ke arah pintu."Mas anterin.""Nggak usah. Aku biasa jalan kaki. Deket banget. Lucu kalau naik mobil," tolak Rinjani seraya memakai sepatunya.Daffa mengambil kunci mobil lantas meraih lengan sang istri. Di rumah sana, Bu Murti yang sedang berjemur di halaman tersenyum ke arahnya. Rinjani mengangguk sebagai balasan. Daffa m
RINDU YANG TERLUKA- Setelah Dari Jogja Rinjani tidak bisa tidur malam itu. Ponsel Daffa tidak aktif lagi semenjak dia berangkat tadi. Mana hujan belum juga reda. Sesekali petir menggelegar membelah malam.Perjalanan Malang-Jogja butuh waktu delapan jam. Daffa tadi lewat jalan mana? Jalur bawah atau tol. Kalau tol mesti putar arah ke Malang kota dulu. Tapi kalau lewat Ngantang, jalannya berkelok-kelok, kanan kiri jurang dan lewat hutan. Tentu saja sangat gelap, apalagi kondisi hujan begini dan jalanan pasti licin.Pikiran Rinjani makin tak enak. Kalau di telepon pun belum tentu di angkat. Nyetir sendiri, pasti Daffa tidak peduli dengan ponselnya. Perjalanan malam kondisi tidak bisa maksimal. Mengantuk juga lelah, apalagi perjalanan tanpa teman.Ada sesal di antara rasa kecewa yang teramat sangat. Jiwa terdalamnya tersentuh. Daffa benar-benar ingin memperjuangkan hubungan mereka. Segitunya Daffa berusaha mengambil hatinya. Namun kenapa luka itu sulit sekali sembuh. Berdamai sambil men
Reza yang telah sampai di teras, menoleh pada kerumunan warung di seberang. Kaum perempuan sibuk memilih barang yang hendak dibeli, tentunya sambil bicara ngobrol ke sana ke mari. Ada saja yang mereka dibahas. Bahkan gosip artis di TV tak luput jadi perbincangan. Jangankan kehidupan artis, cerita fiksi di sinetron saja membuat mereka berapi-api untuk membahasnya.Masih terlihat Rinjani diam sambil memilih sesuatu dan memasukkan ke dalam keranjang. Ah, wanita itu mencuri tempat di kekosongan jiwanya. Perempuan yang statusnya masih istri orang. Salah, kan? Tapi dia tidak bisa membendung rasa itu."Za, kenapa melamun di situ?" Bu Murti yang muncul dari dalam menegur putranya."Nggak apa-apa, Ma." Reza tergagap dan segera masuk ke rumah.Bu Murti keluar lalu memperhatikan ke arah sang putra tadi memandang. Oh ternyata ada dokter Rin di sana.Setelah sekian lama hidup menduda, akhirnya bisa kembali jatuh cinta pada seorang perempuan. Namun sayang sekali, status Rinjani ini masih milik oran
Gandi tersenyum sambil menepuk pundak temannya. "Kalau kamu nggak melakukannya dengan gadis itu, tetap yakinkan istrimu. Soal hasilnya nanti gimana, pasrahkan saja. Kita nggak bisa maksa seseorang untuk percaya pada kita, Fa. Yang penting kamu sudah berusaha."Daffa menunduk. Menatap paving yang dipijaknya. Jauh-jauh menempuh perjalanan dalam kondisi hujan deras dan lelah, ternyata tidak mendapatkan hasil yang diharapkan. Apakah Rinjani masih bisa mempercayainya lagi? Badan pun rasanya sangat lelah. Mata juga terasa pedih karena mengantuk. Dia hanya sempat tidur sekitar satu jam saja."Aku langsung balik, Gan. Mumpung jam segini, sampai Malang nggak terlalu malam.""Istirahatlah dulu. Aku tahu kamu capek banget ini. Bahaya nyetir dalam keadaan pikiran kacau dan badan lelah." Nasehat Gandi.Daffa menarik napas panjang sambil menatap langit yang redup. Seredup harapannya yang suram. "Aku bisa istirahat di rest area nanti. Malah nggak tenang kalau nggak segera pulang. Terima kasih banyak
RINDU YANG TERLUKA- Harga Diri "Karena kamu anak saya seperti ini. Kalau kamu merasa sempurna dan nggak bisa mempercayai lagi Daffa, cerai saja. Daripada anak saya pontang-panting meyakinkan istri yang sama sekali tidak bisa mempercayainya lagi." Begitu pedas kalimat itu di telinga Rinjani. Membuat air mata mengalir tanpa kompromi.Dia yang dikhianati, seolah dia pula yang menyakiti."Kamu terlalu egois, menganggap diri paling suci. Sampai membuat drama untuk mengacaukan hati anak saya."Dua kakak ipar yang sebenarnya sangat mengantuk masih sanggup menatap Rinjani dengan sinis. Sementara suami Ika, menantu pertama Pak Farhan, hanya menunduk diam."Nggak usah temui anak saya lagi setelah ini. Dia masih bisa mendapatkan istri yang lebih baik darimu."Rinjani menghapus air mata lantas meninggalkan tempat itu. Harga dirinya dicabik-cabik oleh mertua laki-laki yang seharusnya bisa menjembatani hubungan mereka supaya jauh lebih baik. Siapa yang egois sebenarnya?Bagaimana tidak tercabik-c
Rinjani keluar dari rumah makan dan berdiri di pinggir jalan."Assalamu'alaikum, Pak Reza.""Wa'alaikumsalam. Bagaimana keadaan suami, Dokter?"Tidak bisa menjawab, tangis Rinjani tumpah. Dia tidak bisa menahan diri. Entah pada siapa lagi ia bisa membagi beban di hati. Saat Reza menelepon, tangisnya tidak bisa dibendung."Apa keadaan suami dokter parah?""N-nggak, Pak Reza. Sudah ditangani dengan baik oleh para tenaga medis di sini," jawab Rinjani yang belum bisa menceritakan tentang sambutan sang mertua terhadapnya."Syukurlah. Semoga bisa lekas pulang.""Makasih, Pak Reza. Saya usahakan sore ini sudah sampai di Malang.""Jangan buru-buru, Dok? Pakai saja mobil sampai urusan selesai.""Saya nggak enak, Pak Reza.""Nggak apa-apa. Santai saja.""Terima kasih banyak, Pak. Habis ini saya mau menelepon klinik dan sekolahnya Noval untuk minta izin.""Oke, Dok. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Rinjani menghubungi pihak klinik, menelepon guru sekolahnya Noval, juga menelepon Pak Haslam
Hingga tengah hari Rinjani menunggu di parkiran rumah sakit. Daffa juga belum dipindahkan ke ruang perawatan. Setiap kali hendak menemui, entah papa mertua atau pun iparnya menghalangi. Mama mertuanya tidak ikut, orang yang bisa diharapkan berpihak padanya."Pak, kita pulang sekarang saja," ujarnya pada Pak Slamet."Sekarang, Bu Dokter?""Iya." Lebih baik pulang saja. Mau menunggu sampai kapan, mertuanya tidak mengizinkan ia menemui Daffa. Terlalu lama membawa mobil Reza juga sungkan. Meski pemiliknya bilang tidak apa-apa.Nanti kalau Noval diajak bertemu papanya, malah membuat anak itu rewel. Nangis dan tidak mau pulang. Belum lagi jika bertemu sama kakeknya. Tapi Pak Farhan tadi tidak menanyakan tentang cucunya sama sekali. Sepanjang perjalanan pikiran Rinjani tidak karuan. Khawatir, cemas, dan rasa yang tidak bisa ia gambarkan dengan kata-kata. Ingin sekali melihat keadaan Daffa. Ditambah ucapan mertuanya mencabik-cabik hati. Dia yang dikhianati, dia juga yang dihakimi. Harga diri
RINDU YANG TERLUKA - Harapan "Selamat pagi, Pak." Seorang suster menyapanya ramah. Di tangannya ada kotak kecil berisi obat."Pagi juga, Sus.""Sendirian, Pak?""Papa dan ipar saya baru saja pulang," jawab Daffa.Perawat memeriksa infus. Kemudian memberikan obat yang harus di minum pagi itu."Suster, bisa saya pinjam ponselnya sebentar. Untuk menelepon istri saya." Daffa bicara ketika perawat hendak keluar ruangan.Gadis itu tampak ragu. Daffa sendirian, kenapa tidak membawa handphone. Ruang perawatannya saja VVIP. Tapi ponsel tidak ada, juga tidak ditemani satu pun kerabat. Tega benar istrinya tidak menunggui."Kalau Suster keberatan, nggak apa-apa," ujar Daffa akhirnya."Ti-tidak keberatan, Pak. Ini ...." Perawat mengambil ponsel yang ada di saku bajunya dan memberikan pada Daffa. "Makasih, Sus."Daffa segera mengetik nomer sang istri dan menelponnya. Beberapa kali menelepon, tapi panggilannya tidak dijawab. Kembali mencoba dan mencoba lagi tetap nihil. Daffa memandang perawat ya