Rinjani keluar dari rumah makan dan berdiri di pinggir jalan."Assalamu'alaikum, Pak Reza.""Wa'alaikumsalam. Bagaimana keadaan suami, Dokter?"Tidak bisa menjawab, tangis Rinjani tumpah. Dia tidak bisa menahan diri. Entah pada siapa lagi ia bisa membagi beban di hati. Saat Reza menelepon, tangisnya tidak bisa dibendung."Apa keadaan suami dokter parah?""N-nggak, Pak Reza. Sudah ditangani dengan baik oleh para tenaga medis di sini," jawab Rinjani yang belum bisa menceritakan tentang sambutan sang mertua terhadapnya."Syukurlah. Semoga bisa lekas pulang.""Makasih, Pak Reza. Saya usahakan sore ini sudah sampai di Malang.""Jangan buru-buru, Dok? Pakai saja mobil sampai urusan selesai.""Saya nggak enak, Pak Reza.""Nggak apa-apa. Santai saja.""Terima kasih banyak, Pak. Habis ini saya mau menelepon klinik dan sekolahnya Noval untuk minta izin.""Oke, Dok. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Rinjani menghubungi pihak klinik, menelepon guru sekolahnya Noval, juga menelepon Pak Haslam
Hingga tengah hari Rinjani menunggu di parkiran rumah sakit. Daffa juga belum dipindahkan ke ruang perawatan. Setiap kali hendak menemui, entah papa mertua atau pun iparnya menghalangi. Mama mertuanya tidak ikut, orang yang bisa diharapkan berpihak padanya."Pak, kita pulang sekarang saja," ujarnya pada Pak Slamet."Sekarang, Bu Dokter?""Iya." Lebih baik pulang saja. Mau menunggu sampai kapan, mertuanya tidak mengizinkan ia menemui Daffa. Terlalu lama membawa mobil Reza juga sungkan. Meski pemiliknya bilang tidak apa-apa.Nanti kalau Noval diajak bertemu papanya, malah membuat anak itu rewel. Nangis dan tidak mau pulang. Belum lagi jika bertemu sama kakeknya. Tapi Pak Farhan tadi tidak menanyakan tentang cucunya sama sekali. Sepanjang perjalanan pikiran Rinjani tidak karuan. Khawatir, cemas, dan rasa yang tidak bisa ia gambarkan dengan kata-kata. Ingin sekali melihat keadaan Daffa. Ditambah ucapan mertuanya mencabik-cabik hati. Dia yang dikhianati, dia juga yang dihakimi. Harga diri
RINDU YANG TERLUKA - Harapan "Selamat pagi, Pak." Seorang suster menyapanya ramah. Di tangannya ada kotak kecil berisi obat."Pagi juga, Sus.""Sendirian, Pak?""Papa dan ipar saya baru saja pulang," jawab Daffa.Perawat memeriksa infus. Kemudian memberikan obat yang harus di minum pagi itu."Suster, bisa saya pinjam ponselnya sebentar. Untuk menelepon istri saya." Daffa bicara ketika perawat hendak keluar ruangan.Gadis itu tampak ragu. Daffa sendirian, kenapa tidak membawa handphone. Ruang perawatannya saja VVIP. Tapi ponsel tidak ada, juga tidak ditemani satu pun kerabat. Tega benar istrinya tidak menunggui."Kalau Suster keberatan, nggak apa-apa," ujar Daffa akhirnya."Ti-tidak keberatan, Pak. Ini ...." Perawat mengambil ponsel yang ada di saku bajunya dan memberikan pada Daffa. "Makasih, Sus."Daffa segera mengetik nomer sang istri dan menelponnya. Beberapa kali menelepon, tapi panggilannya tidak dijawab. Kembali mencoba dan mencoba lagi tetap nihil. Daffa memandang perawat ya
Di antara mereka semua, sebenarnya sang mama bisa diharapkan untuk membantunya menghubungi Rinjani. Namun tidak mungkin Daffa akan bicara di depan papa dan kakaknya. Mereka berbincang, setengah jam kemudian Pak Fahmi dan istrinya datang. Fahmi ini kakak sulungnya Pak Farhan. Mereka empat bersaudara, laki-laki semua. Pak Farhan anak nomer tiga. Keempatnya memiliki posisi yang penting di Jaya Gemilang. Anak-anak mereka juga memiliki peran di perusahaan.Percakapan di kamar perawatan tidak jauh dari bisnis. Daffa enggan nimbrung. Merasakan sakit dan kepikiran tentang Rinjani dan Noval saja sudah tidak bisa menangkap apa yang sedang dibahas. Sesekali Daffa melirik pada iparnya yang terlihat begitu mendominasi percakapan.Sepertinya sang mama sudah didoktrin oleh papanya agar tidak menyinggung nama Rinjani dalam pertemuan itu. Dirinya yang salah, tapi Rinjani yang menerima hukumannya.Jam sepuluh pagi dokter ortopedi visit. Lelaki dengan rambut nyaris semuanya berwarna perak itu sangat r
Rinjani memperhatikan sederetan angka di log panggilannya. Nomor asing yang tidak tahu itu siapa karena foto profilnya tidak muncul. Apa Abila yang menerornya? Tidak mungkin gadis itu tidak tahu kalau Daffa mengalami musibah.Nomer Daffa tidak bisa dihubungi lagi. Jelas saja nomernya di blokir. Bukan oleh Daffa, pasti oleh keluarganya. Rinjani dapat kabar dari Pak Haslam kalau Daffa masih di rumah sakit. Membuat Rinjani khawatir, apa separah itu luka suaminya.Pesan yang dikirim Rinjani pada Dinda juga tertolak. Asisten Daffa sudah memblokir nomernya. Mungkin atas permintaan Pak Farhan. Rinjani juga tidak bisa menghubungi nomer mertuanya. Miris. Wanita itu tersenyum getir dengan netra berkaca-kaca. Ia tidak akan mengemis bertanya pada orang-orang yang berada di bawah kekuasaan sang mertua. Jika Daffa sembuh, Daffa masih mengingatnya dan Noval, lelaki itu pasti akan menemui mereka. Untuk kembali memperjuangkan hubungan atau untuk menyelesaikan. Tak mengapa. Ia akan terima. Mungkin Da
RINDU YANG TERLUKA - Rindu"Kamu pulang ke rumah papa saja. Di rumahmu nggak ada yang ngerawatmu nanti." Pak Farhan bicara sambil memapah sang anak ke mobil."Ada Mak Sum, Pa.""Memangnya Mak Sum bisa menopang tubuhmu jika kamu perlukan. Bisa bantuin kamu ke kamar mandi juga? Kalau di rumah papa kan ada Pak Wono."Mau tak mau akhirnya Daffa ikut pulang ke rumah orang tuanya. Ketika sampai di sambut hangat dan haru oleh sang mama. "Papa akan siapkan pengacara untuk mengurusi perceraian kamu," ujar Pak Farhan di ruang tamu."Papa, nggak bisa memutuskan hal ini untukku. Aku nggak akan bercerai.""Istrimu itu sudah nggak mau sama kamu. Nggak maafin kamu. Untuk apa kamu mengejar-ngejarnya, merendahkan harga dirimu saja." "Aku yang salah, Pa.""Kamu sudah bela-belain ke Jogja dan melakukan apapun untuk meluluhkan hatinya, tapi apa dia bisa menghargai itu? Dia tetap nggak mempercayaimu." Pak Farhan langsung bangkit dan masuk kamar. Setelah itu keluar dan pamitan untuk berangkat ke kantor.
Dinda membuka map. Gadis itu memperhatikan sekeliling. Setelah dirasa tidak ada siapa-siapa, dia kembali bicara. "Saya ingin ngasih tahu Pak Daffa, apa di ruangan ini ada CCTV, Pak?" Dinda bicara lirih sekali."Nggak ada. Di teras dan di halaman yang ada. Apa ada yang ingin kamu sampaikan?" Daffa bertanya sambil membaca berkas di tangannya."Iya, Pak. Saya mau ngasih tahu lewat telepon juga nggak bisa. Pak Daffa, kan nggak pegang ponsel.""Katakan saja, ada apa?""Pak Bobby kemarin menemui saya lagi, menanyakan proyek yang sedang Pak Daffa tangani. Hanya saja saya tidak ngasih tahu berapa persen yang sudah kita persiapkan." Dinda bicara sangat lirih, takut ada yang mendengarnya.Daffa memperhatikan serius asisten di depannya. Dinda sudah memberitahukan hal ini waktu membesuknya di rumah sakit beberapa hari yang lalu. Tentang Bobby yang mulai sibuk mencari tahu tentang pekerjaannya. Padahal dia sendiri sudah memegang projek yang lain.Bobby ini suami dari Ika."Jangan informasikan apap
"Nggak apa-apa, Sin. Yang penting sudah sehat dan kembali pulang ke rumah." Perih rasa hati Rinjani. Apa Daffa sengaja tidak ingin menghubunginya? Sementara Rinjani mau telepon pun tidak bisa karena nomernya sudah di blokir."Kamu ingin ke Surabaya? Nanti biar kujemput dan kutemani jenguk dia.""Nggak usah, Sin. Aku nggak mungkin bisa ngambil cuti lagi. Aku juga khawatir kalau Noval tidak mau kuajak kembali ke Malang setelah bertemu dengan papa dan keluarga besar di sana. Noval udah mulai tenang daripada kemarin.""Yang sabar ya, Rin. Aku nggak nyangka permasalahanmu masih serumit ini.""Aku sekarang mau fokus sama Noval dan pekerjaanku. Cukup kudoakan saja semoga Mas Daffa lekas pulih.""Kamu tetap berencana ingin bercerai?"Rinjani diam. Menatap gerimis lembut yang mulai turun dari balik jendela kaca. Ketika dia mulai bisa menyelami dan berdamai pada diri sendiri, tapi sekarang dihadapkan pada situasi yang rumit dari keluarga Daffa."Entahlah, Sin. Kalau Mas Daffa pada akhirnya mema