Rinjani memperhatikan sederetan angka di log panggilannya. Nomor asing yang tidak tahu itu siapa karena foto profilnya tidak muncul. Apa Abila yang menerornya? Tidak mungkin gadis itu tidak tahu kalau Daffa mengalami musibah.Nomer Daffa tidak bisa dihubungi lagi. Jelas saja nomernya di blokir. Bukan oleh Daffa, pasti oleh keluarganya. Rinjani dapat kabar dari Pak Haslam kalau Daffa masih di rumah sakit. Membuat Rinjani khawatir, apa separah itu luka suaminya.Pesan yang dikirim Rinjani pada Dinda juga tertolak. Asisten Daffa sudah memblokir nomernya. Mungkin atas permintaan Pak Farhan. Rinjani juga tidak bisa menghubungi nomer mertuanya. Miris. Wanita itu tersenyum getir dengan netra berkaca-kaca. Ia tidak akan mengemis bertanya pada orang-orang yang berada di bawah kekuasaan sang mertua. Jika Daffa sembuh, Daffa masih mengingatnya dan Noval, lelaki itu pasti akan menemui mereka. Untuk kembali memperjuangkan hubungan atau untuk menyelesaikan. Tak mengapa. Ia akan terima. Mungkin Da
RINDU YANG TERLUKA - Rindu"Kamu pulang ke rumah papa saja. Di rumahmu nggak ada yang ngerawatmu nanti." Pak Farhan bicara sambil memapah sang anak ke mobil."Ada Mak Sum, Pa.""Memangnya Mak Sum bisa menopang tubuhmu jika kamu perlukan. Bisa bantuin kamu ke kamar mandi juga? Kalau di rumah papa kan ada Pak Wono."Mau tak mau akhirnya Daffa ikut pulang ke rumah orang tuanya. Ketika sampai di sambut hangat dan haru oleh sang mama. "Papa akan siapkan pengacara untuk mengurusi perceraian kamu," ujar Pak Farhan di ruang tamu."Papa, nggak bisa memutuskan hal ini untukku. Aku nggak akan bercerai.""Istrimu itu sudah nggak mau sama kamu. Nggak maafin kamu. Untuk apa kamu mengejar-ngejarnya, merendahkan harga dirimu saja." "Aku yang salah, Pa.""Kamu sudah bela-belain ke Jogja dan melakukan apapun untuk meluluhkan hatinya, tapi apa dia bisa menghargai itu? Dia tetap nggak mempercayaimu." Pak Farhan langsung bangkit dan masuk kamar. Setelah itu keluar dan pamitan untuk berangkat ke kantor.
Dinda membuka map. Gadis itu memperhatikan sekeliling. Setelah dirasa tidak ada siapa-siapa, dia kembali bicara. "Saya ingin ngasih tahu Pak Daffa, apa di ruangan ini ada CCTV, Pak?" Dinda bicara lirih sekali."Nggak ada. Di teras dan di halaman yang ada. Apa ada yang ingin kamu sampaikan?" Daffa bertanya sambil membaca berkas di tangannya."Iya, Pak. Saya mau ngasih tahu lewat telepon juga nggak bisa. Pak Daffa, kan nggak pegang ponsel.""Katakan saja, ada apa?""Pak Bobby kemarin menemui saya lagi, menanyakan proyek yang sedang Pak Daffa tangani. Hanya saja saya tidak ngasih tahu berapa persen yang sudah kita persiapkan." Dinda bicara sangat lirih, takut ada yang mendengarnya.Daffa memperhatikan serius asisten di depannya. Dinda sudah memberitahukan hal ini waktu membesuknya di rumah sakit beberapa hari yang lalu. Tentang Bobby yang mulai sibuk mencari tahu tentang pekerjaannya. Padahal dia sendiri sudah memegang projek yang lain.Bobby ini suami dari Ika."Jangan informasikan apap
"Nggak apa-apa, Sin. Yang penting sudah sehat dan kembali pulang ke rumah." Perih rasa hati Rinjani. Apa Daffa sengaja tidak ingin menghubunginya? Sementara Rinjani mau telepon pun tidak bisa karena nomernya sudah di blokir."Kamu ingin ke Surabaya? Nanti biar kujemput dan kutemani jenguk dia.""Nggak usah, Sin. Aku nggak mungkin bisa ngambil cuti lagi. Aku juga khawatir kalau Noval tidak mau kuajak kembali ke Malang setelah bertemu dengan papa dan keluarga besar di sana. Noval udah mulai tenang daripada kemarin.""Yang sabar ya, Rin. Aku nggak nyangka permasalahanmu masih serumit ini.""Aku sekarang mau fokus sama Noval dan pekerjaanku. Cukup kudoakan saja semoga Mas Daffa lekas pulih.""Kamu tetap berencana ingin bercerai?"Rinjani diam. Menatap gerimis lembut yang mulai turun dari balik jendela kaca. Ketika dia mulai bisa menyelami dan berdamai pada diri sendiri, tapi sekarang dihadapkan pada situasi yang rumit dari keluarga Daffa."Entahlah, Sin. Kalau Mas Daffa pada akhirnya mema
RINDU YANG TERLUKA- Backstreet "Kamu ngobrol sama siapa?" tanya Bu Tiwi yang masuk membawakan roti bakar dengan selai kacang. Diletakkannya piring di atas meja."Ngomong sendiri, Ma," jawab Daffa sekenanya. Perasaan tadi dia bicara sudah sangat lirih. Tapi mamanya tetap saja mendengar.Wanita yang masih ayu itu menepuk bahu putranya. "Ada-ada saja kamu. Masa iya ngomong sendiri. Makan rotinya. Mama yang bikin sendiri selai kacangnya kemarin."Walaupun Daffa lebih percaya ke sang mama daripada ke keluarga yang lain, tapi ia tidak memberitahu kalau sudah menghubungi Rinjani. Sekarang lebih baik berhati-hati bicara tentang Rinjani pada siapapun."Mama dengar pembicaraanmu dengan Dinda kemarin, ternyata gadis itu masih berusaha mencarimu." Bu Tiwi makan roti sambil ngobrol dengan putranya."Jauhi dia. Mama nggak mau denger lagi tentang petualanganmu.""Udah lama aku berusaha jauhin dia, Ma. Bahkan sebelum Rin mengetahui. Hanya saja Abila yang tidak terima dan terus mengancam.""Heran ma
[Mas, bagaimana keadaanmu?][Kamu dirawat di rumah sakit mana?][Aku membesukmu di rumah sakit, tapi katanya kamu sudah pulang, Mas.][Aku ke rumahmu, tapi kata ART Mas pulang ke rumah papamu.]Dan masih banyak pesan-pesan yang diabaikan dan tidak dibaca oleh Daffa. Ia pun belum memblokir nomer gadis itu. Nanti setelah ia bicara dengan Rinjani dan bisa meyakinkan sang istri, nomer Abila akan diblokirnya. Setidaknya kalau gadis itu terus meneror, Rinjani sudah bisa mempercayainya lagi.[Pak Daffa, saya turut prihatin atas accident yang menimpa, Bapak. Semoga lekas pulih ya, Pak. Nggak enak banget kerja tanpa ada bos yang mendampingi.] Ini pesan dari Trecy.[Saya mau besuk, Pak Daffa. Tapi katanya Pak Daffa sudah pulang. Share lok rumah, Pak. Saya ingin berkunjung dengan team setelah pulang kerja nanti.] Pesan ini dikirim baru kemarin sore.Daffa membiarkan pesan dari dua perempuan itu. Ia membaca pesan-pesan lain dari beberapa rekan kerja dan teman yang mengucapkan prihatin dan mendoak
"Nomer dokter Rin saya blokir atas permintaan Pak Farhan, Pak. Maaf, saya tidak bisa membantah. Sebenarnya kalau saya membuka blokirannya juga bisa. Tapi saya takut.""Oke, nggak apa-apa." Daffa melihat ponsel satunya berpendar. Ada balasan masuk dari Rinjani."Udah dulu, Din. Ada apapun segera kabari saya.""Ya, Pak. Selamat malam, Pak Daffa."Daffa menyudahi panggilan. Diraihnya ponsel di atas bantal.[Maaf, baru balas, Mas. Aku lagi nganterin Lastri ke klinik untuk cek darah. Aku khawatir dia kena typus karena panasnya naik turun. Malam ini Lastri aku suruh opname di rumah sakit biar lekas sembuh.][Noval gimana?][Aku titipin di rumah Pak Reza. Nggak mungkin aku ajak dia ke klinik.][Jadi ngrepotin mereka.] Balas Daffa. Padahal untuk menyamarkan rasa cemburunya. Rinjani jadi banyak minta tolong sama duda sebelah rumah. Perasaannya tambah perih. Sedekat apa mereka ini?[Hanya mereka yang bisa bantu dan kupercaya, Mas. Terus aku harus minta tolong siapa lagi di sini. Kalau pun ada
RINDU YANG TERLUKA- Sepagi Itu Kita Bertemu Rasa rindu pada Rinjani dan Noval membuat Daffa tidak sabar untuk segera sampai di Pujon Selatan. Menempuh perjalanan jauh dengan kondisi kaki sakit juga butuh kesabaran. Namun demi keluarga kecilnya, Daffa menahan itu semua dan tetap bersemangat. Walaupun bisa saja ketahuan oleh papa dan kedua kakaknya. Dan permasalahan akan semakin rumit. Tapi Daffa tidak peduli. Ini rumah tangganya. Dia yang berhak mengaturnya, bukan mereka.Daffa juga sadar, meski dengan kondisi seperti ini tidak serta merta membuat Rinjani bisa menerimanya kembali dengan sepenuh hati. Pengkhianatannya tentu sangat melukai teramat sangat. Perempuan memang butuh waktu lebih lama untuk membuat keputusan. Suasana mulai terang ketika kendaraan hampir keluar dari tol. Di kejauhan kabut masih tebal meski sinar matahari sudah muncul dari balik Gunung Semeru.Rinjani pasti sudah bangun sekarang. Dia rajin salat dan terbangun sebelum subuh."Bangun, Mas. Sholat dulu. Habis sh