Dari gadis yang lusuh, sekarang menjadi gadis yang rapi dan wangi. Bagi Lastri, Rinjani sangat berjasa dalam hidupnya."Nggak usah sedih, Tri. Kamu punya kami di sini. Habiskan makanmu, nanti siapin seragamnya Noval. Biar saya yang mandiin dia.""Njih, Bu."Lastri lebih dulu menghabiskan nasinya. Kemudian mencuci perkakas sebentar dan masuk kamar untuk menyiapkan perlengkapan Noval.Rinjani makan sambil memperhatikan Noval di depannya. Tak terasa air matanya merambat ke pipi. Buru-buru dihapus dengan ujung jemari. Ada saja permasalahan. Belum selesai yang satu, timbul lagi permasalahan lainnya. Tak dipungkiri, kalau posisinya sekarang ini memang rawan dengan gosip."Ma, kapan papa pulang ke sini. Noval kangen," rengek Noval sambil memainkan nasi di piring. "Nanti kalau papa ada waktu, pasti ke mari. Noval, habisin dulu makannya. Setelah itu mandi, ya. Mbak Lastri yang nganterin Noval ke sekolah.""Nggak bareng sama Mbak Nasya, Ma?""Nggak, Sayang. Mbak Lastri kan sudah sembuh."Rinja
"Sampai sana, aku nggak diizinkan membesuk Mas di IGD oleh papa dan Mbak Ika. Mereka marah-marah dan bilang kalau aku yang membuat Mas pergi ke Jogja dan kecelakaan." Rinjani bangkit untuk mengambil ponsel di meja depan. Kemudian menunjukkan foto-foto yang diambil Rinjani saat di Ngawi.Foto gapura yang tertera nama rumah sakit, IGD yang difoto dari kejauhan, Noval yang tidur di jok mobil, Noval yang melihat air mancur, dan beberapa foto lagi.Dada Daffa nyeri dan timbul amarah. Kenapa papa dan kedua kakaknya demikian tega pada istri dan anaknya. Sudah jauh-jauh datang malah di suruh pergi."Aku pulang dari Ngawi tengah hari, Mas. Karena nggak enak sama Pak Reza kalau mobilnya kelamaan aku bawa. Kuhubungi ponselmu, ponsel mama, ponsel Dinda, bahkan ponsel papa untuk menanyakan kondisimu. Tapi mereka semua ternyata telah memblokir nomerku.""Maafkan mas, Rin. Semua karena salah mas. Setelah ini, kita komunikasi menggunakan nomer mas yang baru.""Papa ingin kita bercerai," ucap Rinjani.
RINDU YANG TERLUKA - Semalam Saja"Papa tadi berangkat jam berapa, Ma?" tanya Ika yang baru datang dan duduk di sofa ruang tengah. Dia tadi mengantarkan anaknya ke sekolah, sekalian mampir ke rumah orang tuanya.Bu Tiwi membawakan sepiring pisang goreng dan diletakkan di meja depan putrinya. Tidak mengira si sulung datang pagi itu. Semoga saja dia tidak ingin bertemu Daffa.Wanita itu kebat-kebit. Sudah capek dengan segala drama dan permasalahan dalam keluarga mereka."Habis subuh tadi.""Daffa mana, Ma? Belum bangun ya?""Daffa lagi nyambangi rumahnya," jawab Bu Tiwi setenang mungkin supaya putrinya tidak curiga."Naik apa?""Di jemput sama temannya. Oh ya, kamu sudah sarapan apa belum?" Bu Tiwi mengalihkan percakapan."Sudah tadi. Sebenarnya aku pengen ngobrol sama Daffa sih. Kutelepon bolak-balik tapi nggak dijawab.""Adikmu masih butuh istirahat, Ka. Kan masih dalam proses pemulihan. Jangan ganggu dulu. Dia juga nggak selalu pegang ponselnya.""Padahal urusan kantor butuh dia, Ma
Jam sepuluh pagi, Noval pulang di boceng Lastri. Daffa membuka pintu dan menyambut anaknya dengan senyuman. Noval tampak bahagia melihat papanya masih ada di rumah."Nah, papa masih di rumah, kan?" kata Daffa."Iya." Noval merangkul papanya yang sudah kembali duduk di sofa. Daffa menciumi wajah tampannya si anak."Mas Noval, ganti baju dulu, yuk!" teriak Lastri dari kamar."Noval mau digantiin sama papa, Mbak," jawab Noval. Lastri keluar membawakan bajunya Noval."Biar saya saja yang gantiin, Tri.""Njih, Pak. Oh ya, tadi saya belikan bakso buat Bapak. Mau dituangkan ke mangkuk sekarang?" tanya Lastri setelah memberikan bajunya Noval."Boleh," jawab Daffa.Seharian Noval di kamar bermain dengan papanya. Rinjani mengirimkan pesan kalau tidak bisa pulang siang itu karena ada meeting dan kebetulan banyak pasien yang harus ditangani.Jam dua siang, Nasya datang ke rumah. Bocah perempuan itu membawakan wafel dan kue moci buat Noval. Ia juga mencium tangan Daffa. Gadis kecil yang sangat so
Jam empat pagi Rinjani terbangun karena handphone Daffa berdering tiada henti. Saat dilihat, ternyata Abila yang menelepon. Dia benar-benar gadis gila. Rinjani berdecak lirih. Diterimanya panggilan itu."Mas." Terdengar suara Abila terdengar begitu bahagia karena teleponnya dijawab."Mau apa kamu?" jawab Rinjani dan gadis di seberang langsung menutup panggilan. Mungkin terkejut karena yang mengangkat telepon ternyata istri dari pria pujaannya.Daffa terbangun saat mendengar Rinjani membuka lemari untuk mengambil daster. Wanita itu menanggalkan piyama yang ia pakai, membenahi tali bra, baru memakai dasternya.Membuat Daffa makin senewen. Di mana malam tadi pun ia tidak bisa tidur setelah Rinjani terlelap. Eh, pagi baru membuka mata, disaat hormon testosteron lagi tinggi-tingginya sudah disuguhi pemandangan yang makin membuat gila. Jelas pula itu, karena lampu sudah dinyalakan oleh istrinya.Bisa apa sekarang dengan kakinya yang sakit.Rinjani keluar kamar dan langsung memasak di dapur.
RINDU YANG TERLUKA - Bukan Perempuan Murahan Ingin sekali Daffa menemui Abila dan bilang kalau semua sudah selesai. Meneruskan hidup masing-masing. Dia bisa mencari pasangan yang sama-sama masih single. Dan Daffa bisa kembali tenang menjalani kehidupan bersama keluarga kecilnya.Namun apa segampang itu? Ternyata Abila lebih gila daripada perempuan-perempuan masa lalu yang pernah dipacari dan mengejar-ngejarnya.Ah, anggap saja ini harga mahal yang harus dibayar. Sebab telah mengingkari janji yang pernah diucapkan pada Rinjani. Mengkhianati janji suci pernikahan mereka.Saat tengah termenung, ponselnya berdering. Papanya menelepon. Daffa meletakkan kembali benda pipih itu di meja. Lebih baik tidak usah dijawab saja.Daffa keluar kamar. Dari jendela samping ia melihat Reza yang berpakaian rapi tengah memandang sejenak ke arah rumahnya. Kemudian masuk ke dalam mobil. Beberapa menit kemudian kendaraan warna silver meninggalkan garasi.Setenang apapun, ia tetap kepikiran tentang istrinya
"Kenapa nyari calon penggantiku gadis seperti itu. Rugi, Mas. Harusnya cari yang sholehah. Yang menjaga dan menutup auratnya dengan baik. Tapi mana ada wanita disebut sholehah kalau mau saja berkencan dengan suami orang. Setidaknya carilah yang cerdas, pintar, kekayaannya nggak habis tujuh turunan.""Rin ....""Eh, tapi Abila kaya raya kan, Mas?""Rin, kamu lebih dari segalanya dari dia. Mas yang salah." Rasanya Daffa kembali frustasi. Rinjani kembali mengulitinya.Daffa ingat perkataan Bre. "Aku doakan Rin bisa memaafkan dan menerimamu kembali, Fa. Tapi kamu harus siap jika kesalahan ini akan diungkitnya sepanjang hidup. Sampai akhir hayat. Perempuan mudah luluh dan memaafkan tapi tidak mudah untuk melupakan. Aku bisa bicara begini, karena mamaku seperti itu."Rinjani yang sebenarnya mulai tenang, seharian ini kembali kalut karena telepon gadis bin*l itu. Kemarin-kemarin hanya mengira-ngira saja kalau Abila masih menghubungi suaminya, tapi subuh tadi ia mengetahuinya secara langsung.
Rinjani tersenyum samar. Senyum penuh misteri bagi Daffa yang perasaannya kebat-kebit."Aku nggak mungkin membuat drama supaya kamu cemburu, Mas. Terlalu murahan jika aku sampai melakukan hal konyol dengan berpura-pura dekat dengan pria lain untuk mengujimu. Aku dan Pak Reza hanya sebatas tetangga. Kebetulan anak-anak juga satu sekolahan. "Kalau aku minta tolong karena memang benar-benar butuh dan hanya dia yang ada. Bukan untuk mencari perhatiannya. Aku nggak akan semurah itu. Kesepian, sedang dikhianati, lantas mencari perhatian pria lain. Mas, apa mungkin aku melakukan itu?"Daffa menggeleng. Malu pada istri yang telah dikhianatinya. Perempuan yang memegang teguh prinsipnya. "Kamu wanita dan istri hebat, Rin.""Kamu salah, Mas. Kalau aku hebat dan baik, suamiku nggak akan mencari kebahagiaan pada wanita lain.""Suamimu yang br*ngsek. Maafkan mas."Ponsel Daffa yang berpendar mengalihkan perhatian mereka. "Bre sudah ada di depan, Rin," ujar Daffa setelah membaca pesan dan membala