"Kenapa nyari calon penggantiku gadis seperti itu. Rugi, Mas. Harusnya cari yang sholehah. Yang menjaga dan menutup auratnya dengan baik. Tapi mana ada wanita disebut sholehah kalau mau saja berkencan dengan suami orang. Setidaknya carilah yang cerdas, pintar, kekayaannya nggak habis tujuh turunan.""Rin ....""Eh, tapi Abila kaya raya kan, Mas?""Rin, kamu lebih dari segalanya dari dia. Mas yang salah." Rasanya Daffa kembali frustasi. Rinjani kembali mengulitinya.Daffa ingat perkataan Bre. "Aku doakan Rin bisa memaafkan dan menerimamu kembali, Fa. Tapi kamu harus siap jika kesalahan ini akan diungkitnya sepanjang hidup. Sampai akhir hayat. Perempuan mudah luluh dan memaafkan tapi tidak mudah untuk melupakan. Aku bisa bicara begini, karena mamaku seperti itu."Rinjani yang sebenarnya mulai tenang, seharian ini kembali kalut karena telepon gadis bin*l itu. Kemarin-kemarin hanya mengira-ngira saja kalau Abila masih menghubungi suaminya, tapi subuh tadi ia mengetahuinya secara langsung.
Rinjani tersenyum samar. Senyum penuh misteri bagi Daffa yang perasaannya kebat-kebit."Aku nggak mungkin membuat drama supaya kamu cemburu, Mas. Terlalu murahan jika aku sampai melakukan hal konyol dengan berpura-pura dekat dengan pria lain untuk mengujimu. Aku dan Pak Reza hanya sebatas tetangga. Kebetulan anak-anak juga satu sekolahan. "Kalau aku minta tolong karena memang benar-benar butuh dan hanya dia yang ada. Bukan untuk mencari perhatiannya. Aku nggak akan semurah itu. Kesepian, sedang dikhianati, lantas mencari perhatian pria lain. Mas, apa mungkin aku melakukan itu?"Daffa menggeleng. Malu pada istri yang telah dikhianatinya. Perempuan yang memegang teguh prinsipnya. "Kamu wanita dan istri hebat, Rin.""Kamu salah, Mas. Kalau aku hebat dan baik, suamiku nggak akan mencari kebahagiaan pada wanita lain.""Suamimu yang br*ngsek. Maafkan mas."Ponsel Daffa yang berpendar mengalihkan perhatian mereka. "Bre sudah ada di depan, Rin," ujar Daffa setelah membaca pesan dan membala
RINDU YANG TERLUKA - Perempuan di Sebuah KafeDaffa merangkul Rinjani dengan lengan kiri. Mengecup puncak kepala istrinya berkali-kali. Antara dirinya dan Trecy hanya sebatas rekan bisnis, tak lebih. Semoga Rinjani mengerti setelah kehadiran Abila mengguncang pernikahan mereka."Udah ditunggu Mas Bre, Mas." Rinjani mengurai dekapan."Rin, mas nggak tahu batas waktu untuk menyelesaikan permasalahan ini. Tapi begitu selesai, mas akan pindah ke sini tinggal bersamamu dan Noval. Mas harap kamu mengerti.""Bukankah aku selalu mengerti, Mas. Dengan kondisi apapun aku harus selalu mengerti. Bahkan jika gadis tadi adalah Abila selanjutnya, aku juga harus mengerti.""Bukan, Rin. Sumpah. Dia cuma rekan kerja. Trecy hanya staf perwakilan dari rekan bisnis perusahaan," tekan Daffa.Keduanya saling pandang. Daffa paham perasaan istrinya. Kalau Rinjani curiga itu hal wajar. Mengingat bagaimana masa lalunya dan pengkhianatan yang baru ia lakukan. Tentu butuh waktu untuk memulihkan kepercayaannya.R
Bre membelokkan mobilnya ke pusat perbelanjaan dan oleh-oleh yang sangat ramai sore itu. Hujan tinggal menyisakan gerimis. "Kamu mau kubelikan apa?""Minum saja.""Snack?""Tidak usah.""Oke." Pria itu turun meninggalkan sahabatnya dalam mobil.Daffa memperhatikan area parkiran yang penuh pengunjung. Beberapa bis dan travel terparkir di sana. Mungkin rombongan anak-anak sekolah yang sedang berlibur. Ia juga memperhatikan kafe yang berada di lantai dua.Beberapa kali Daffa mengerjapkan mata saat melihat seseorang yang sangat di kenalnya. Ia yakin sekali itu kakak iparnya. Duduk berhadapan dengan perempuan di balik pagar pembatas koridor kafe lantai dua.Jendela kaca di turunkan sedikit, Daffa mengambil foto mereka. Agak buram karena jaraknya lumayan jauh dan kondisi masih gerimis.Daffa menelepon Bre."Ada apa, Bro?""Selesai belanja nanti, jangan keluar dulu. Langsung ke kafe Brawijaya di lantai dua. Aku melihat Mas Bobby bersama perempuan di sana.""Yakin kalau itu Bobby?""Iya. Mer
"Mama lega kamu pulang. Kenapa Bre nggak diajak mampir dulu?""Nggak, Ma.""Gimana kabar Rin dan Noval?" tanya Bu Tiwi setelah Daffa duduk menyelonjorkan kaki di sofa."Mereka baik-baik saja. Rin titip salam buat, Mama."Bu Tiwi tersenyum haru. Dia sebenarnya kangen dengan menantu dan cucunya. Namun harus ditahan sebelum keadaan kondusif."Mbak Ika tidak nyariin aku lagi, Ma?""Nggak. Lagian dia sibuk di kantor karena Bobby ada urusan di Malang. Akhir-akhir ini sering banget Bobby ke Malang. Apa perusahaan ada projek di sana?""Ada. Tapi bukan Mas Bobby yang pegang." Daffa tidak memberitahu apa yang ia lihat beberapa jam yang lalu. Kalau ingin mengungkap, bukan pada mamanya. Tapi pada Ika dan sang papa. Biar mereka tahu, menantu yang disangka alim, ternyata juga berkhianat."Ayo, makan dulu!" ajak Bu Tiwi."Aku masih kenyang, Ma. Sebelum berangkat tadi malam, terus mampir ngopi sama Bre. Aku mau istirahat dulu di kamar." Daffa masuk ke kamarnya. Lantas menelepon Rinjani dan ngobrol be
RINDU YANG TERLUKA - CurigaDaffa memperhatikan interaksi Bobby dan Ika saat mereka berkumpul bersama malam itu di rumah orang tuanya. Bobby lebih sibuk dengan ponselnya daripada fokus pada sang istri yang mengajaknya bicara.Pak Farhan memanggil semua anak dan menantunya untuk berkumpul di rumah setelah meeting tadi siang di kantor.Melihat sikap Bobby, Daffa kembali teringat saat ia mulai sering bertemu dengan Abila di luar. Sebelum Rinjani tahu semuanya. Tapi kalau di rumah, Daffa tidak berubah sikap terhadap istri dan anaknya. Tak ada kebiasaan yang hilang meski setelah urusan pekerjaan ia berkencan sejenak dengan gadis itu. Namun sikap Bobby demikian kentara bagi Daffa. Apa sang kakak tidak menyadarinya? Apa karena mereka sama-sama sibuk, lantas dianggap hal biasa bagi Ika?Semua orang diam di ruang keluarga. Yang terdengar suara anak-anak yang bercanda di lantai dua. Radit, suaminya Irene juga diam. Pak Farhan keluar dari ruang kerja sambil membawa laptop. Pria kaya itu membuk
"Ngurusi perceraian kamu. Apa kamu masih ingin bertahan dengan perempuan yang sudah nggak sudi menerimamu lagi. Lelaki punya harga diri, Daf. Kalau sudah ditolak, kenapa sibuk mengejar dan bertahan.""Aku tidak akan cerai, Pa. Yang salah aku. Jadi nggak masalah kalau aku harus mati-matian meyakinkan Rin.""Sampai menjatuhkan harga dirimu?""Bukan menjatuhkan harga diri. Tapi aku sedang memperjuangkan sebuah hubungan pernikahan. Sampai kapanpun aku nggak bakalan menceraikan Rin."Untuk sekarang ini, tidak perlu fokus mengurusi rumah tanggaku dan Rin, Pa. Kami akan baik-baik saja pada akhirnya. Kita fokus saja ke perusahaan yang mulai di gerogoti rayap. Mempersiapkan diri jika ada kejutan yang tidak disangka."Pak Farhan melepaskan kacamata. Netranya menyipit, tidak mengerti apa yang diucapkan sang putra. Jantung Bu Tiwi juga berdetak cepat. Cemas. Ada apalagi ini. "Kamu menemukan kejanggalan lagi di perusahaan?" tanya Pak Farhan."Bukan di perusahaan? Di keluarga kita.""Apanya yang j
Rinjani mengupas kentang sambil mencerna ucapan Bu Mila. Semua pendapat itu tergantung konteks permasalahannya bagaimana. Seseorang tidak bisa sembarangan memberikan pendapat tanpa tahu permasalahan yang sebenarnya. Karena itulah fungsi dari adanya konseling pernikahan, psikolog anak, psikolog untuk orang dewasa. Sebagai penengah yang netral dalam mencari pemecahan permasalahan."Rin, Daffa datang." Pak Haslam memberitahu Rinjani."Iya, Om.""Udah, tinggalin aja. Temui suamimu."Rinjani mencuci tangan lantas melangkah ke teras. Daffa tersenyum saat melihat istrinya muncul di pintu. Bara kerinduan berkobar dalam tatapannya. Pertemuan yang senantiasa mendebarkan, bak pasangan yang sedang berkencan."Noval tidur, ya?" Daffa memandang ke dalam setelah mengecup kening istrinya."Noval diajak jalan-jalan sama Mbak Mira dan Mika. Oh ya, Mas tadi naik apa?""Naik taksi dari kantor. Minggu depan gipsnya sudah boleh dilepas. Kemarin mas sudah rontgen dan dokter bilang enam hari lagi lepas gips.