RINDU YANG TERLUKA - Anak siapa itu?Seminggu kemudian ...."Sudah dilepas gipsnya, Mas?" tanya Rinjani ketika Daffa meneleponnya sore itu. "Mas baru pulang dari klinik. Ini lagi ngerendam kaki pakai air hangat.""Jangan lupa kasih lotion pelembab, biar kulit yang kering bisa pulih.""Mas belum beli, Rin.""Kemarin sudah kuingatkan?""Iya, maaf mas lupa, Honey.""Kenapa bisa lupa. Kan di apotek tempat praktek dokter ada sih, Mas.""Besok pulang kantor mas mampir beli. Noval mana?""Belum pulang ngaji.""Syukurlah dia mau ngaji lagi.""Mau sih mau. Tapi nggak bisa anteng di TPQ. Selesai diajari langsung main lari-lari sama temannya.""Bukan hanya Noval saja, kan? Anak-anak yang lain pasti juga seperti itu?""Kata Lastri iya sih untuk anak-anak yang seumuran Noval. Kemarin sore aku ketemu sama ustadzahnya di klinik. Beliau sedang meriksain anaknya. Katanya Noval ini gampang banget diajari.""Pasti dong, turunan papanya.""Asal nggak mewarisi sifat playboy papanya aja," sanggah Livia.
Bu Tiwi yang terlihat sendu tersenyum. "Nggak ada apa-apa. Dimakan risolnya. Mama mau mandi dulu.""Ma," panggil Daffa saat Bu Tiwi menggapai pintu."Setelah sembuh, aku ingin kembali ke rumahku sendiri.""Mama akan kesepian kalau kamu pergi, Daf. Tapi nggak apa-apa. Mama nggak boleh ngelarang kamu," jawab Bu Tiwi dengan nada berat.Daffa memperhatikan sang mama yang keluar kamar. Ia yakin, pasti ada sesuatu yang tengah dipikirkan mamanya.Semenjak pertemuan keluarga malam itu, papanya juga tidak banyak bicara. Waktunya lebih banyak di ruang kerja dan sang mama menghabiskan waktu di ruang salat. Apa orang tuanya ada masalah?***L***"Syukurlah. Pak Daffa, sudah pulih." Trecy tersenyum sambil memperhatikan Daffa yang masuk ruangan tanpa menggunakan kruk lagi. Siang itu mereka bertemu di ruang tamu, sebelah lobi kantor."Berulang kali saya chat ingin menjenguk, tapi Pak Daffa nggak merespon. Mbak Dinda juga nggak ngasih tahu waktu saya tanyai alamat.""Makasih banyak untuk kepeduliannya
"Bro, lihat! Itu wanita yang kumaksud." Bre menunjuk sebuah sedan warna hitam berbelok ke gapura masuk dan membunyikan klakson pada satpam di sana. Kaca jendela mobil yang terbuka, memudahkan Bre mengenali perempuan itu. "Kamu yakin dia perempuan di kafe waktu itu?""Yakin banget. Mobil yang terparkir di depan optik juga sedan tadi.""Kita boleh masuk nggak?""Gimana kalau kita coba?""Oke," jawab Daffa tak sabar. Mobil Bre bergerak memasuki gapura. Membunyikan klakson pada satpam yang berjaga di pos. Lelaki berseragam itu hanya mengangguk dan tersenyum. "Ternyata penjagaan nggak ketat, Bre.""Dipikir mungkin kita penghuni di sini.""Banyak rumah di sini, gimana kita nyarinya.""Kita keliling sampai ketemu. Toh cluster konsepnya kan tanpa pagar. Jadi kita bisa lihat mobilnya yang diparkir di garasi atau depan rumah."Baru saja berbelok di salah satu gang, Daffa melihat sedan tadi berhenti di halaman sebuah rumah. "Itu mobil tadi, Bre.""Iya." Bre memelankan laju kendaraannya. Sedan
RINDU YANG TERLUKA - Dari Hati ke HatiDaffa memberikan hadiah kecupan berulang. Sudah tidak sabar rasanya menuntaskan rindu yang hampir dua bulan ini membelenggu."Makasih banyak untuk buket dan coklatnya, Mas," ucap Rinjani sambil mencium aroma wangi dari bunga Peony."Formal banget ngomongnya, Rin." Daffa menangkupkan kedua tangannya pada kedua sisi pipi Rinjani yang dingin. Membuat wanita itu kembali beradu pandang dengannya. "Kita tidak sedang pacaran, Honey."Tatapan mata itu yang memikat banyak perempuan. Meluluhkan hati siapa saja. Termasuk dirinya. Tajam, menarik, hangat, dan memesona. Rinjani gugup. Sebenarnya saat Daffa berselingkuh, ia tidak kehilangan tatapan mesra dan perhatiannya. Bukan karena Daffa selalu merayu dengan ucapan manis, tapi gerak tubuhnya, sorot matanya tidak bisa berbohong untuk menyembunyikan perasaannya. Apalagi setelah semuanya terbongkar, Daffa kembali mengejar dan meyakinkannya tanpa putus asa. Rinjani kembali luluh dan menepikan rasa sakitnya, r
"Gadismu itu mengirimkan pesan dua hari yang lalu. Memberitahuku betapa hubungan kalian sangat dekat dan sudah membuat banyak perencanaan." Rinjani meraih ponsel yang ada di nakas. Membuka aplikasi pesan dan menunjukkan pada Daffa.Dahi pria itu mengernyit membaca kalimat panjang yang dikirim Abila. Spontan ia melakukan panggilan ke nomor gadis itu."Dia nggak akan menerima telepon dari nomerku. Aku sudah menghubunginya berulang kali, tapi nggak dijawab," ujar Rinjani."Sumpah demi Tuhan, Rin. Mas tidak pernah bicara tentang pernikahan dengannya. Tentang keseriusan atau apapun, karena mas dan Bila hanya sebatas teman jalan.""Tapi gadis itu tergila-gila padamu, Mas."Daffa kembali menghela nafas berat. "Rin, mungkin yang mas pinta ini nggak adil buatmu.""Tentang apa, Mas?""Maukah kamu menemani mas menyelesaikan ini? Mas hanya ingin bersamamu dan anak kita sampai maut yang memisahkan. Apa permintaan ini terlalu tak tahu diri?"Mas bukan memintamu untuk mendampingi atau merespon Abila
Selesai sarapan Daffa mengajak anaknya jalan-jalan di samping rumah. Melihat kebun sayur dan buah-buahan milik Bu Murti. Tampak buah stroberi di beberapa pot berbuah sangat lebat. Ada pohon apel yang berbuah sebesar jempol kaki."Assalamu'alaikum," sapa Daffa pada seorang wanita berhijab yang keluar dari pintu belakang."Wa'alaikumsalam. Eh, ada papanya Noval." Bu Murti menghampiri dan menyalami."Iya, Bu. Kenalkan nama saya Daffa.""Saya Bu Murti. Seneng bisa kenalan sama suaminya Bu Dokter."Daffa membalas senyuman wanita tua itu. "Syukurlah kalau kaki Nak Daffa sudah sembuh. Dokter Rin cerita, karena kecelakaan itu kaki Nak Daffa harus di gips. Alhamdulillah, kalau sekarang sudah di lepas.""Saya mengucapkan terima kasih banyak pada Ibu dan Pak Dosen yang sudah banyak membantu istri saya selama di sini," ucap Daffa pada wanita itu. Bagaimanapun juga dia memang wajib mengucapkan terima kasih, terlepas dari rasa cemburunya pada Reza."Sama-sama, Nak Daffa. Sudah seharusnya kita sali
RINDU YANG TERLUKA - Terbongkar "Ada apa, Ka?" Bu Tiwi bangkit dari duduknya karena terkejut melihat putri sulungnya datang dengan mata bengkak. Pak Farhan juga kaget dan memperhatikan sang anak yang langsung memeluk Bu Tiwi dan menumpahkan tangisnya. Sedangkan Daffa diam. Sudah bisa menduga apa yang terjadi. Mungkin perselingkuhan Bobby sudah diketahui kakaknya."Ka, ada apa?" tanya Pak Farhan cemas.Ika melepaskan pelukan dan duduk di kursi sebelah sang mama. Wajahnya sembab. Tangannya terluka ada bekas darah yang sudah mengering. Bu Tiwi meraih jemari itu dan memperhatikan. "Kenapa tanganmu terluka?"Diamnya Ika membuat orang tuanya kebingungan. Tidak biasanya si sulung bersikap seperti ini. Dia ini termasuk wanita yang tidak pernah mau kalah dalam hal apapun. Terkesan arogan. Tapi dia sangat mencintai suami dan anak-anaknya. Mengutamakan mereka dan selalu menyempatkan liburan bersama di akhir pekan atau liburan panjang.Bu Tiwi mengangsurkan segelas air putih. Ika menarik napas
Daffa semakin yakin, dibalik semua keganjilan yang menyeret namanya, Bobby termasuk pelakunya. Apalagi yang sudah dilakukannya dan belum terdeteksi oleh perusahaan. Jika Bobby tidak sedikitpun mengelak, berarti dia sudah berhasil mendapatkan sesuatu untuk persiapan jika sewaktu-waktu di depak dari perusahaan."Segera lakukan meeting dengan jajaran direksi, Pa. Aku yakin, Bobby sudah memiliki bekal yang cukup karena dia berani berkata seperti itu pada Mbak Ika." Daffa mengingatkan papanya.Pak Farhan sepemikiran. "Selingkuhan suamimu wanita mana?" tanya Bu Tiwi setelah bisa mengatur napas dan mengendalikan diri supaya tidak drop lagi."Dia nggak ngaku, Ma.""Wanita itu tinggal di Malang," celetuk Daffa. Tidak perlu ia menutupinya lagi. Membuat orang tua dan kakaknya terkejut dan memusatkan perhatian padanya."Kamu tahu, Daf?" tanya Ika dengan netra membulat."Tahu. Di mana wanita itu kerja dan tinggal aku juga tahu.""Kenapa kamu diam saja?" tanya Ika dengan setengah berteriak. "Kenap