"Ngurusi perceraian kamu. Apa kamu masih ingin bertahan dengan perempuan yang sudah nggak sudi menerimamu lagi. Lelaki punya harga diri, Daf. Kalau sudah ditolak, kenapa sibuk mengejar dan bertahan.""Aku tidak akan cerai, Pa. Yang salah aku. Jadi nggak masalah kalau aku harus mati-matian meyakinkan Rin.""Sampai menjatuhkan harga dirimu?""Bukan menjatuhkan harga diri. Tapi aku sedang memperjuangkan sebuah hubungan pernikahan. Sampai kapanpun aku nggak bakalan menceraikan Rin."Untuk sekarang ini, tidak perlu fokus mengurusi rumah tanggaku dan Rin, Pa. Kami akan baik-baik saja pada akhirnya. Kita fokus saja ke perusahaan yang mulai di gerogoti rayap. Mempersiapkan diri jika ada kejutan yang tidak disangka."Pak Farhan melepaskan kacamata. Netranya menyipit, tidak mengerti apa yang diucapkan sang putra. Jantung Bu Tiwi juga berdetak cepat. Cemas. Ada apalagi ini. "Kamu menemukan kejanggalan lagi di perusahaan?" tanya Pak Farhan."Bukan di perusahaan? Di keluarga kita.""Apanya yang j
Rinjani mengupas kentang sambil mencerna ucapan Bu Mila. Semua pendapat itu tergantung konteks permasalahannya bagaimana. Seseorang tidak bisa sembarangan memberikan pendapat tanpa tahu permasalahan yang sebenarnya. Karena itulah fungsi dari adanya konseling pernikahan, psikolog anak, psikolog untuk orang dewasa. Sebagai penengah yang netral dalam mencari pemecahan permasalahan."Rin, Daffa datang." Pak Haslam memberitahu Rinjani."Iya, Om.""Udah, tinggalin aja. Temui suamimu."Rinjani mencuci tangan lantas melangkah ke teras. Daffa tersenyum saat melihat istrinya muncul di pintu. Bara kerinduan berkobar dalam tatapannya. Pertemuan yang senantiasa mendebarkan, bak pasangan yang sedang berkencan."Noval tidur, ya?" Daffa memandang ke dalam setelah mengecup kening istrinya."Noval diajak jalan-jalan sama Mbak Mira dan Mika. Oh ya, Mas tadi naik apa?""Naik taksi dari kantor. Minggu depan gipsnya sudah boleh dilepas. Kemarin mas sudah rontgen dan dokter bilang enam hari lagi lepas gips.
RINDU YANG TERLUKA - Anak siapa itu?Seminggu kemudian ...."Sudah dilepas gipsnya, Mas?" tanya Rinjani ketika Daffa meneleponnya sore itu. "Mas baru pulang dari klinik. Ini lagi ngerendam kaki pakai air hangat.""Jangan lupa kasih lotion pelembab, biar kulit yang kering bisa pulih.""Mas belum beli, Rin.""Kemarin sudah kuingatkan?""Iya, maaf mas lupa, Honey.""Kenapa bisa lupa. Kan di apotek tempat praktek dokter ada sih, Mas.""Besok pulang kantor mas mampir beli. Noval mana?""Belum pulang ngaji.""Syukurlah dia mau ngaji lagi.""Mau sih mau. Tapi nggak bisa anteng di TPQ. Selesai diajari langsung main lari-lari sama temannya.""Bukan hanya Noval saja, kan? Anak-anak yang lain pasti juga seperti itu?""Kata Lastri iya sih untuk anak-anak yang seumuran Noval. Kemarin sore aku ketemu sama ustadzahnya di klinik. Beliau sedang meriksain anaknya. Katanya Noval ini gampang banget diajari.""Pasti dong, turunan papanya.""Asal nggak mewarisi sifat playboy papanya aja," sanggah Livia.
Bu Tiwi yang terlihat sendu tersenyum. "Nggak ada apa-apa. Dimakan risolnya. Mama mau mandi dulu.""Ma," panggil Daffa saat Bu Tiwi menggapai pintu."Setelah sembuh, aku ingin kembali ke rumahku sendiri.""Mama akan kesepian kalau kamu pergi, Daf. Tapi nggak apa-apa. Mama nggak boleh ngelarang kamu," jawab Bu Tiwi dengan nada berat.Daffa memperhatikan sang mama yang keluar kamar. Ia yakin, pasti ada sesuatu yang tengah dipikirkan mamanya.Semenjak pertemuan keluarga malam itu, papanya juga tidak banyak bicara. Waktunya lebih banyak di ruang kerja dan sang mama menghabiskan waktu di ruang salat. Apa orang tuanya ada masalah?***L***"Syukurlah. Pak Daffa, sudah pulih." Trecy tersenyum sambil memperhatikan Daffa yang masuk ruangan tanpa menggunakan kruk lagi. Siang itu mereka bertemu di ruang tamu, sebelah lobi kantor."Berulang kali saya chat ingin menjenguk, tapi Pak Daffa nggak merespon. Mbak Dinda juga nggak ngasih tahu waktu saya tanyai alamat.""Makasih banyak untuk kepeduliannya
"Bro, lihat! Itu wanita yang kumaksud." Bre menunjuk sebuah sedan warna hitam berbelok ke gapura masuk dan membunyikan klakson pada satpam di sana. Kaca jendela mobil yang terbuka, memudahkan Bre mengenali perempuan itu. "Kamu yakin dia perempuan di kafe waktu itu?""Yakin banget. Mobil yang terparkir di depan optik juga sedan tadi.""Kita boleh masuk nggak?""Gimana kalau kita coba?""Oke," jawab Daffa tak sabar. Mobil Bre bergerak memasuki gapura. Membunyikan klakson pada satpam yang berjaga di pos. Lelaki berseragam itu hanya mengangguk dan tersenyum. "Ternyata penjagaan nggak ketat, Bre.""Dipikir mungkin kita penghuni di sini.""Banyak rumah di sini, gimana kita nyarinya.""Kita keliling sampai ketemu. Toh cluster konsepnya kan tanpa pagar. Jadi kita bisa lihat mobilnya yang diparkir di garasi atau depan rumah."Baru saja berbelok di salah satu gang, Daffa melihat sedan tadi berhenti di halaman sebuah rumah. "Itu mobil tadi, Bre.""Iya." Bre memelankan laju kendaraannya. Sedan
RINDU YANG TERLUKA - Dari Hati ke HatiDaffa memberikan hadiah kecupan berulang. Sudah tidak sabar rasanya menuntaskan rindu yang hampir dua bulan ini membelenggu."Makasih banyak untuk buket dan coklatnya, Mas," ucap Rinjani sambil mencium aroma wangi dari bunga Peony."Formal banget ngomongnya, Rin." Daffa menangkupkan kedua tangannya pada kedua sisi pipi Rinjani yang dingin. Membuat wanita itu kembali beradu pandang dengannya. "Kita tidak sedang pacaran, Honey."Tatapan mata itu yang memikat banyak perempuan. Meluluhkan hati siapa saja. Termasuk dirinya. Tajam, menarik, hangat, dan memesona. Rinjani gugup. Sebenarnya saat Daffa berselingkuh, ia tidak kehilangan tatapan mesra dan perhatiannya. Bukan karena Daffa selalu merayu dengan ucapan manis, tapi gerak tubuhnya, sorot matanya tidak bisa berbohong untuk menyembunyikan perasaannya. Apalagi setelah semuanya terbongkar, Daffa kembali mengejar dan meyakinkannya tanpa putus asa. Rinjani kembali luluh dan menepikan rasa sakitnya, r
"Gadismu itu mengirimkan pesan dua hari yang lalu. Memberitahuku betapa hubungan kalian sangat dekat dan sudah membuat banyak perencanaan." Rinjani meraih ponsel yang ada di nakas. Membuka aplikasi pesan dan menunjukkan pada Daffa.Dahi pria itu mengernyit membaca kalimat panjang yang dikirim Abila. Spontan ia melakukan panggilan ke nomor gadis itu."Dia nggak akan menerima telepon dari nomerku. Aku sudah menghubunginya berulang kali, tapi nggak dijawab," ujar Rinjani."Sumpah demi Tuhan, Rin. Mas tidak pernah bicara tentang pernikahan dengannya. Tentang keseriusan atau apapun, karena mas dan Bila hanya sebatas teman jalan.""Tapi gadis itu tergila-gila padamu, Mas."Daffa kembali menghela nafas berat. "Rin, mungkin yang mas pinta ini nggak adil buatmu.""Tentang apa, Mas?""Maukah kamu menemani mas menyelesaikan ini? Mas hanya ingin bersamamu dan anak kita sampai maut yang memisahkan. Apa permintaan ini terlalu tak tahu diri?"Mas bukan memintamu untuk mendampingi atau merespon Abila
Selesai sarapan Daffa mengajak anaknya jalan-jalan di samping rumah. Melihat kebun sayur dan buah-buahan milik Bu Murti. Tampak buah stroberi di beberapa pot berbuah sangat lebat. Ada pohon apel yang berbuah sebesar jempol kaki."Assalamu'alaikum," sapa Daffa pada seorang wanita berhijab yang keluar dari pintu belakang."Wa'alaikumsalam. Eh, ada papanya Noval." Bu Murti menghampiri dan menyalami."Iya, Bu. Kenalkan nama saya Daffa.""Saya Bu Murti. Seneng bisa kenalan sama suaminya Bu Dokter."Daffa membalas senyuman wanita tua itu. "Syukurlah kalau kaki Nak Daffa sudah sembuh. Dokter Rin cerita, karena kecelakaan itu kaki Nak Daffa harus di gips. Alhamdulillah, kalau sekarang sudah di lepas.""Saya mengucapkan terima kasih banyak pada Ibu dan Pak Dosen yang sudah banyak membantu istri saya selama di sini," ucap Daffa pada wanita itu. Bagaimanapun juga dia memang wajib mengucapkan terima kasih, terlepas dari rasa cemburunya pada Reza."Sama-sama, Nak Daffa. Sudah seharusnya kita sali