Bre membelokkan mobilnya ke pusat perbelanjaan dan oleh-oleh yang sangat ramai sore itu. Hujan tinggal menyisakan gerimis. "Kamu mau kubelikan apa?""Minum saja.""Snack?""Tidak usah.""Oke." Pria itu turun meninggalkan sahabatnya dalam mobil.Daffa memperhatikan area parkiran yang penuh pengunjung. Beberapa bis dan travel terparkir di sana. Mungkin rombongan anak-anak sekolah yang sedang berlibur. Ia juga memperhatikan kafe yang berada di lantai dua.Beberapa kali Daffa mengerjapkan mata saat melihat seseorang yang sangat di kenalnya. Ia yakin sekali itu kakak iparnya. Duduk berhadapan dengan perempuan di balik pagar pembatas koridor kafe lantai dua.Jendela kaca di turunkan sedikit, Daffa mengambil foto mereka. Agak buram karena jaraknya lumayan jauh dan kondisi masih gerimis.Daffa menelepon Bre."Ada apa, Bro?""Selesai belanja nanti, jangan keluar dulu. Langsung ke kafe Brawijaya di lantai dua. Aku melihat Mas Bobby bersama perempuan di sana.""Yakin kalau itu Bobby?""Iya. Mer
"Mama lega kamu pulang. Kenapa Bre nggak diajak mampir dulu?""Nggak, Ma.""Gimana kabar Rin dan Noval?" tanya Bu Tiwi setelah Daffa duduk menyelonjorkan kaki di sofa."Mereka baik-baik saja. Rin titip salam buat, Mama."Bu Tiwi tersenyum haru. Dia sebenarnya kangen dengan menantu dan cucunya. Namun harus ditahan sebelum keadaan kondusif."Mbak Ika tidak nyariin aku lagi, Ma?""Nggak. Lagian dia sibuk di kantor karena Bobby ada urusan di Malang. Akhir-akhir ini sering banget Bobby ke Malang. Apa perusahaan ada projek di sana?""Ada. Tapi bukan Mas Bobby yang pegang." Daffa tidak memberitahu apa yang ia lihat beberapa jam yang lalu. Kalau ingin mengungkap, bukan pada mamanya. Tapi pada Ika dan sang papa. Biar mereka tahu, menantu yang disangka alim, ternyata juga berkhianat."Ayo, makan dulu!" ajak Bu Tiwi."Aku masih kenyang, Ma. Sebelum berangkat tadi malam, terus mampir ngopi sama Bre. Aku mau istirahat dulu di kamar." Daffa masuk ke kamarnya. Lantas menelepon Rinjani dan ngobrol be
RINDU YANG TERLUKA - CurigaDaffa memperhatikan interaksi Bobby dan Ika saat mereka berkumpul bersama malam itu di rumah orang tuanya. Bobby lebih sibuk dengan ponselnya daripada fokus pada sang istri yang mengajaknya bicara.Pak Farhan memanggil semua anak dan menantunya untuk berkumpul di rumah setelah meeting tadi siang di kantor.Melihat sikap Bobby, Daffa kembali teringat saat ia mulai sering bertemu dengan Abila di luar. Sebelum Rinjani tahu semuanya. Tapi kalau di rumah, Daffa tidak berubah sikap terhadap istri dan anaknya. Tak ada kebiasaan yang hilang meski setelah urusan pekerjaan ia berkencan sejenak dengan gadis itu. Namun sikap Bobby demikian kentara bagi Daffa. Apa sang kakak tidak menyadarinya? Apa karena mereka sama-sama sibuk, lantas dianggap hal biasa bagi Ika?Semua orang diam di ruang keluarga. Yang terdengar suara anak-anak yang bercanda di lantai dua. Radit, suaminya Irene juga diam. Pak Farhan keluar dari ruang kerja sambil membawa laptop. Pria kaya itu membuk
"Ngurusi perceraian kamu. Apa kamu masih ingin bertahan dengan perempuan yang sudah nggak sudi menerimamu lagi. Lelaki punya harga diri, Daf. Kalau sudah ditolak, kenapa sibuk mengejar dan bertahan.""Aku tidak akan cerai, Pa. Yang salah aku. Jadi nggak masalah kalau aku harus mati-matian meyakinkan Rin.""Sampai menjatuhkan harga dirimu?""Bukan menjatuhkan harga diri. Tapi aku sedang memperjuangkan sebuah hubungan pernikahan. Sampai kapanpun aku nggak bakalan menceraikan Rin."Untuk sekarang ini, tidak perlu fokus mengurusi rumah tanggaku dan Rin, Pa. Kami akan baik-baik saja pada akhirnya. Kita fokus saja ke perusahaan yang mulai di gerogoti rayap. Mempersiapkan diri jika ada kejutan yang tidak disangka."Pak Farhan melepaskan kacamata. Netranya menyipit, tidak mengerti apa yang diucapkan sang putra. Jantung Bu Tiwi juga berdetak cepat. Cemas. Ada apalagi ini. "Kamu menemukan kejanggalan lagi di perusahaan?" tanya Pak Farhan."Bukan di perusahaan? Di keluarga kita.""Apanya yang j
Rinjani mengupas kentang sambil mencerna ucapan Bu Mila. Semua pendapat itu tergantung konteks permasalahannya bagaimana. Seseorang tidak bisa sembarangan memberikan pendapat tanpa tahu permasalahan yang sebenarnya. Karena itulah fungsi dari adanya konseling pernikahan, psikolog anak, psikolog untuk orang dewasa. Sebagai penengah yang netral dalam mencari pemecahan permasalahan."Rin, Daffa datang." Pak Haslam memberitahu Rinjani."Iya, Om.""Udah, tinggalin aja. Temui suamimu."Rinjani mencuci tangan lantas melangkah ke teras. Daffa tersenyum saat melihat istrinya muncul di pintu. Bara kerinduan berkobar dalam tatapannya. Pertemuan yang senantiasa mendebarkan, bak pasangan yang sedang berkencan."Noval tidur, ya?" Daffa memandang ke dalam setelah mengecup kening istrinya."Noval diajak jalan-jalan sama Mbak Mira dan Mika. Oh ya, Mas tadi naik apa?""Naik taksi dari kantor. Minggu depan gipsnya sudah boleh dilepas. Kemarin mas sudah rontgen dan dokter bilang enam hari lagi lepas gips.
RINDU YANG TERLUKA - Anak siapa itu?Seminggu kemudian ...."Sudah dilepas gipsnya, Mas?" tanya Rinjani ketika Daffa meneleponnya sore itu. "Mas baru pulang dari klinik. Ini lagi ngerendam kaki pakai air hangat.""Jangan lupa kasih lotion pelembab, biar kulit yang kering bisa pulih.""Mas belum beli, Rin.""Kemarin sudah kuingatkan?""Iya, maaf mas lupa, Honey.""Kenapa bisa lupa. Kan di apotek tempat praktek dokter ada sih, Mas.""Besok pulang kantor mas mampir beli. Noval mana?""Belum pulang ngaji.""Syukurlah dia mau ngaji lagi.""Mau sih mau. Tapi nggak bisa anteng di TPQ. Selesai diajari langsung main lari-lari sama temannya.""Bukan hanya Noval saja, kan? Anak-anak yang lain pasti juga seperti itu?""Kata Lastri iya sih untuk anak-anak yang seumuran Noval. Kemarin sore aku ketemu sama ustadzahnya di klinik. Beliau sedang meriksain anaknya. Katanya Noval ini gampang banget diajari.""Pasti dong, turunan papanya.""Asal nggak mewarisi sifat playboy papanya aja," sanggah Livia.
Bu Tiwi yang terlihat sendu tersenyum. "Nggak ada apa-apa. Dimakan risolnya. Mama mau mandi dulu.""Ma," panggil Daffa saat Bu Tiwi menggapai pintu."Setelah sembuh, aku ingin kembali ke rumahku sendiri.""Mama akan kesepian kalau kamu pergi, Daf. Tapi nggak apa-apa. Mama nggak boleh ngelarang kamu," jawab Bu Tiwi dengan nada berat.Daffa memperhatikan sang mama yang keluar kamar. Ia yakin, pasti ada sesuatu yang tengah dipikirkan mamanya.Semenjak pertemuan keluarga malam itu, papanya juga tidak banyak bicara. Waktunya lebih banyak di ruang kerja dan sang mama menghabiskan waktu di ruang salat. Apa orang tuanya ada masalah?***L***"Syukurlah. Pak Daffa, sudah pulih." Trecy tersenyum sambil memperhatikan Daffa yang masuk ruangan tanpa menggunakan kruk lagi. Siang itu mereka bertemu di ruang tamu, sebelah lobi kantor."Berulang kali saya chat ingin menjenguk, tapi Pak Daffa nggak merespon. Mbak Dinda juga nggak ngasih tahu waktu saya tanyai alamat.""Makasih banyak untuk kepeduliannya
"Bro, lihat! Itu wanita yang kumaksud." Bre menunjuk sebuah sedan warna hitam berbelok ke gapura masuk dan membunyikan klakson pada satpam di sana. Kaca jendela mobil yang terbuka, memudahkan Bre mengenali perempuan itu. "Kamu yakin dia perempuan di kafe waktu itu?""Yakin banget. Mobil yang terparkir di depan optik juga sedan tadi.""Kita boleh masuk nggak?""Gimana kalau kita coba?""Oke," jawab Daffa tak sabar. Mobil Bre bergerak memasuki gapura. Membunyikan klakson pada satpam yang berjaga di pos. Lelaki berseragam itu hanya mengangguk dan tersenyum. "Ternyata penjagaan nggak ketat, Bre.""Dipikir mungkin kita penghuni di sini.""Banyak rumah di sini, gimana kita nyarinya.""Kita keliling sampai ketemu. Toh cluster konsepnya kan tanpa pagar. Jadi kita bisa lihat mobilnya yang diparkir di garasi atau depan rumah."Baru saja berbelok di salah satu gang, Daffa melihat sedan tadi berhenti di halaman sebuah rumah. "Itu mobil tadi, Bre.""Iya." Bre memelankan laju kendaraannya. Sedan
Rasa bahagia sekaligus haru menyelimuti ruang perawatan mamanya Bobby. Pria dengan seragam lapas itu memeluk erat dua putrinya. Air mata tumpah tak terkira. Karena isaknya, sampai menyulitkan untuk bicara.Sang mama yang tergolek di atas brankar tak bisa bergerak selain menangis. Adik Bobby sibuk menghapus air matanya sendiri. Begitu juga dengan Ika. Tidak menyangka jika jalan kehidupan putri-putrinya seperti ini. Reza merangkul sambil mengusap-usap lengan istrinya untuk menenangkan. Ika bukan menangisi Bobby, tapi menangis untuk kedua anaknya.Sedangkan Nasya yang tidak seberapa mengerti, duduk diam di sebelah papanya."Terima kasih banyak, Pak Reza. Sudah menjaga dan membimbing anak-anak saya. Terima kasih. Saya titip mereka." Bobby yang sudah mulai tenang, bicara pada Reza."Jangan khawatir, Pak Bobby. Saya akan menyayangi dan menjaga mereka dengan baik," jawab Reza dengan penuturan sopan dan ramah. Bobby ganti memandang mantan istrinya. "Maafkan kesalahanku. Maafkan keluargaku j
Ika menghela nafas panjang. Pantaslah suara mantan adik iparnya terdengar cemas. Perempuan yang beberapa bulan lalu sempat mencak-mencak dan marah karena sang kakak mendapatkan hukuman lumayan lama, kini melunak. Mungkin sekarang benar-benar merasakan bagaimana kehilangan support dan ATM berjalannya.Selama ini Bobby dan Ika yang mensupport pengobatan wanita itu. Makanya kesehatannya terjaga. Namun mulai drop setelah Bobby masuk penjara dan tidak ada dukungan finansial lagi.Sudah hidup enak karena Ika tidak sayang uang buat mereka, tapi mereka diam-diam malah memberikan dukungan pada Bobby bermain serong. Apa mereka pikir, hidupnya akan jauh lebih baik lagi? Orang tamak akan terperosok pada ketamakannya sendiri."Bagaimana, Ma?" Reza menyentuh pundak sang istri yang masih berdiri di teras rumah.Ika mengajak suaminya duduk. Kemudian menceritakan tentang percakapannya dengan mantan ipar."Sebenarnya ini solusi, Ma. Kalau pihak keluarga Bobby mau mengajukan permohonan supaya Bobby diiz
RINDU YANG TERLUKA- Sehari di Surabaya "Ma, papa nggak ngelarang kamu membawa anak-anak menjenguk papanya. Apapun yang terjadi, nggak ada yang bisa memisahkan darah yang mengalir sama di tubuh mereka. Tapi papa ngasih saran, bisakah diusahakan bertemu selain di penjara?"Malam itu Ika memberitahu sang suami perihal pesan yang dikirim mantan adik iparnya. Tentu Ika harus mendiskusikan bersama Reza untuk mengambil keputusan. "Pikirkan psikologis anak-anak. Selama ini mereka hanya mendengar papanya di penjara dari cerita. Tidak menyaksikan secara langsung. Kalau mereka melihat sendiri, pasti akan menjadi beban mental dan mengusik ketenangan jiwa anak-anak. Terutama Zahra yang sudah besar."Ika mengangguk. Benar yang dikatakan sang suami. Karena dia pun memikirkan hal yang sama."Bobby baru setahun menjalani hukumannya, Pa. Mana mungkin diizinkan keluar sebentar dengan alasan tertentu.""Ada beberapa alasan yang bisa membuat pihak berwenang memberi izin untuk Bobby keluar dalam beberap
"Sudah. Tadi malam Iren ngasih tahu kalau Mas Yansa diopname. Livernya kambuh lagi. Kamu mau nyambangi?""Kayaknya nggak, Mbak. Rin juga lagi sakit.""Sakit apa?""Masuk angin.""Jangan-jangan istrimu hamil lagi?""Nggak. Hanya masuk angin. Beberapa hari ini memang sibuk di klinik sampai malam karena rekannya ada yang cuti. Minggu kemarin, tiga hari Rin juga bolak-balik ke Batu untuk seminar.""Nanti mbak ke rumahmu.""Oke. Kalau gitu aku berangkat dulu, Mbak.""Kamu nyetir sendiri?""Iya. Ibnu sudah berangkat pagi tadi ngantar proposal ke Surabaya."Daffa bangkit dari duduknya. Menyapa sebentar pada Bu Murti yang sedang memetik sayuran di halaman samping, lantas masuk mobil dan pergi.Ika masuk ke dalam rumah dan langsung ke dapur. Sebelum mulai sibuk dengan pekerjaannya, dia selalu menyempatkan untuk membantu memasak. Sambil memotong sayuran, ia teringat dengan sepupunya. Mereka pernah membesar bersama di dalam keluarga besar Joyo Winoto. Itu nama kakek mereka. Disaat masih sekola
"Noval sudah berani tidur sendiri di kamarnya, Mas. Asal sebelum tidur ditemani dulu. Kalau Rachel biar tidur di kamar kita untuk sementara. Setelah dia bisa jalan biar ditemani oleh Mak Sum di kamarnya. Gimana?""Oke," jawab Daffa seraya merapatkan pelukannya. Mereka berdua sedang duduk menyaksikan hujan di luar dari balik jendela kaca."Terima kasih untuk hadiahnya, Mas. Tadi pagi kita buru-buru sampai aku nggak sempat bilang terima kasih." Rinjani berkata sambil menyentuh kalung di lehernya."Apa yang mas berikan tidak seberapa dibandingkan dengan apa yang kamu berikan dalam hidup mas, Rin. Kamu menyempurnakan hidup lelaki yang tidak sempurna ini. "Kamu memberikan gelar lelaki br*ngsek ini sebagai seorang ayah. Memberikan kesempatan disaat kesalahan mas teramat fatal. Maaf, untuk semua kesalahan kemarin. Mas bangga memilikimu.""Nggak usah diingat lagi. Kita sudah melangkah sejauh ini. Yang lalu biarlah berlalu. Kita berjuang untuk masa depan keluarga kecil kita. Tapi sekali lagi
RINDU YANG TERLUKA - Biarlah Berlalu Kejutan macam apa ini. Daffa malah sukses membuat Rinjani kelabakan dan tergesa-gesa ke klinik dengan rambut yang belum kering. Dan jadi pusat perhatian, karena belum pernah ia datang ke klinik dengan rambut seperti ini.Mau marah, tapi ini hari ulang tahunnya. Mau marah, tapi Daffa seromantis itu. Ah, sejak dulu sebenarnya Daffa memang sangat romantis meski kemauannya tidak bisa dibantah. Bahkan di tengah perselingkuhannya, Daffa tetap romantis plus egois.Rinjani menghela nafas lalu duduk di kursinya. Meraba kalung berlian di balik kerah bajunya. Daffa yang memakaikannya sesaat sebelum pria itu membawanya terbang ke nirwana."Ini harus dipakai. Nggak mengganggu aktivitasmu, kan?"Sekarang hadiah istimewa itu melingkar dan di sembunyikan di balik kerah baju. Rinjani selalu memakai baju dengan kerah yang menutupi leher jenjangnya."Nanti malam kita dinner dan nginap di Batu," kata Daffa sebelum Rinjani turun dari mobil saat di antar tadi. Jarak
Netra Bu Murti berkaca-kaca saat diberitahu kalau Ika sedang hamil. Bibirnya yang bergetar mengucap syukur berulang kali. Reza, Ika, dan anak-anak sampai di Pujon sudah jam sembilan malam. Reza langsung ke kamar sang mama untuk membagikan kabar gembira."Jaga Ika baik-baik. Jangan biarkan dia melakukan pekerjaan rumah. Biar anak-anak di urus ART. Kamu juga harus tirakat."Kata terakhir yang diucapkan Bu Murti, bagi Reza tidak menjadi masalah. Dia sudah terbiasa mengatasi kesendiriannya hampir lima tahun setelah mamanya Nasya meninggal. "Ika akan bekerja dari rumah, Ma. Jadi dia nggak akan ngantor lagi.""Syukurlah. Segera ajak Ika periksa ke dokter.""Besok kami pergi periksa. Jadwalku ke kampus kebetulan siang.""Ya sudah. Kamu istirahat sana."Reza mengusap punggung mamanya. Kemudian beranjak meninggalkan kamar itu.***L***Satu bulan kemudian ...."Tri, tinggalin aja. Kamu ke depan sana. Kamu ini pengantin baru, nggak usah ikutan beres-beres," tegur Mak Sum menghampiri Lastri yan
Usai makan siang, Daffa mengajak istri dan anaknya pulang ke Malang. Sedangkan Ika dan Reza memutuskan pulang sorenya. Sebab Reza masih ada acara ketemuan dengan temannya di Surabaya.Daffa singgah di Batu. Bertemu Bre di sebuah kafe. Kehadiran Noval agak mengobati kerinduannya pada Alvian. Sudah lama dia tidak bertemu dengan anak Alan dan Livia itu.Bre juga mengendong baby Rachel."Nggak pengen kamu punya boneka hidup seperti ini?" tanya Daffa menghampiri Bre yang membopong Rachel di balkon kafe.Bre tersenyum. "Aku sudah cukup bahagia melihat kamu bisa kembali bersama dengan Rin. Memiliki anak-anak yang tampan dan cantik. Aku juga bahagia melihat Livia bahagia. Biar aku menjalani hidup yang aku pilih.""Sebeku itu hatimu?"Bre diam. Daffa juga diam. Mereka memperhatikan pemandangan di kejauhan yang mulai berselimut kabut. Entah sudah berapa kali Daffa memberikan semangat pada sahabatnya, tapi tampaknya sia-sia. Bre keukeh dengan keputusannya."Mbak Ika juga lagi hamil." "Oh ya?""
RINDU YANG TERLUKA - Romantis "Tekanan darah Mbak Ika menurun, detak jantung meningkat. Ini salah satu tanda stres. Tapi aku yakin Mbak Ika nggak sedang dalam tekanan. Mbak dan Pak Reza sangat bahagia. Kata Mas Daffa pekerjaan juga baik-baik saja. Jadi aku yakin kalau Mbak Ika pasti sedang hamil ini," kata Rinjani setelah melakukan pemeriksaan pada kakak iparnya. Meski sebagai dokter umum, Rinjani memiliki kompetensi ANC (Antenatal Care). Pemeriksaan kehamilan secara umum.Ika bangun dari pembaringan. "Mbak emang udah telat datang bulan, Rin. Sudah sepuluh hari ini.""Kenapa Mbak nggak melakukan testpack?""Nggak, karena mbak takut kecewa lagi. Bulan-bulan kemarin kalau telat haid Mbak langsung test tapi hasilnya negatif. Makanya kali ini Mbak biarin.""Coba cek, Mbak. Aku yakin Mbak Ika lagi hamil ini.""Nanti Mbak beli testpack. Yuk, kita keluar."Ika dan Rinjani melangkah keluar kamar. Di depan pintu sudah ada Reza yang menunggu. Dia tadi khawatir kenapa istri dan iparnya masuk k