Jam sepuluh pagi, Noval pulang di boceng Lastri. Daffa membuka pintu dan menyambut anaknya dengan senyuman. Noval tampak bahagia melihat papanya masih ada di rumah."Nah, papa masih di rumah, kan?" kata Daffa."Iya." Noval merangkul papanya yang sudah kembali duduk di sofa. Daffa menciumi wajah tampannya si anak."Mas Noval, ganti baju dulu, yuk!" teriak Lastri dari kamar."Noval mau digantiin sama papa, Mbak," jawab Noval. Lastri keluar membawakan bajunya Noval."Biar saya saja yang gantiin, Tri.""Njih, Pak. Oh ya, tadi saya belikan bakso buat Bapak. Mau dituangkan ke mangkuk sekarang?" tanya Lastri setelah memberikan bajunya Noval."Boleh," jawab Daffa.Seharian Noval di kamar bermain dengan papanya. Rinjani mengirimkan pesan kalau tidak bisa pulang siang itu karena ada meeting dan kebetulan banyak pasien yang harus ditangani.Jam dua siang, Nasya datang ke rumah. Bocah perempuan itu membawakan wafel dan kue moci buat Noval. Ia juga mencium tangan Daffa. Gadis kecil yang sangat so
Jam empat pagi Rinjani terbangun karena handphone Daffa berdering tiada henti. Saat dilihat, ternyata Abila yang menelepon. Dia benar-benar gadis gila. Rinjani berdecak lirih. Diterimanya panggilan itu."Mas." Terdengar suara Abila terdengar begitu bahagia karena teleponnya dijawab."Mau apa kamu?" jawab Rinjani dan gadis di seberang langsung menutup panggilan. Mungkin terkejut karena yang mengangkat telepon ternyata istri dari pria pujaannya.Daffa terbangun saat mendengar Rinjani membuka lemari untuk mengambil daster. Wanita itu menanggalkan piyama yang ia pakai, membenahi tali bra, baru memakai dasternya.Membuat Daffa makin senewen. Di mana malam tadi pun ia tidak bisa tidur setelah Rinjani terlelap. Eh, pagi baru membuka mata, disaat hormon testosteron lagi tinggi-tingginya sudah disuguhi pemandangan yang makin membuat gila. Jelas pula itu, karena lampu sudah dinyalakan oleh istrinya.Bisa apa sekarang dengan kakinya yang sakit.Rinjani keluar kamar dan langsung memasak di dapur.
RINDU YANG TERLUKA - Bukan Perempuan Murahan Ingin sekali Daffa menemui Abila dan bilang kalau semua sudah selesai. Meneruskan hidup masing-masing. Dia bisa mencari pasangan yang sama-sama masih single. Dan Daffa bisa kembali tenang menjalani kehidupan bersama keluarga kecilnya.Namun apa segampang itu? Ternyata Abila lebih gila daripada perempuan-perempuan masa lalu yang pernah dipacari dan mengejar-ngejarnya.Ah, anggap saja ini harga mahal yang harus dibayar. Sebab telah mengingkari janji yang pernah diucapkan pada Rinjani. Mengkhianati janji suci pernikahan mereka.Saat tengah termenung, ponselnya berdering. Papanya menelepon. Daffa meletakkan kembali benda pipih itu di meja. Lebih baik tidak usah dijawab saja.Daffa keluar kamar. Dari jendela samping ia melihat Reza yang berpakaian rapi tengah memandang sejenak ke arah rumahnya. Kemudian masuk ke dalam mobil. Beberapa menit kemudian kendaraan warna silver meninggalkan garasi.Setenang apapun, ia tetap kepikiran tentang istrinya
"Kenapa nyari calon penggantiku gadis seperti itu. Rugi, Mas. Harusnya cari yang sholehah. Yang menjaga dan menutup auratnya dengan baik. Tapi mana ada wanita disebut sholehah kalau mau saja berkencan dengan suami orang. Setidaknya carilah yang cerdas, pintar, kekayaannya nggak habis tujuh turunan.""Rin ....""Eh, tapi Abila kaya raya kan, Mas?""Rin, kamu lebih dari segalanya dari dia. Mas yang salah." Rasanya Daffa kembali frustasi. Rinjani kembali mengulitinya.Daffa ingat perkataan Bre. "Aku doakan Rin bisa memaafkan dan menerimamu kembali, Fa. Tapi kamu harus siap jika kesalahan ini akan diungkitnya sepanjang hidup. Sampai akhir hayat. Perempuan mudah luluh dan memaafkan tapi tidak mudah untuk melupakan. Aku bisa bicara begini, karena mamaku seperti itu."Rinjani yang sebenarnya mulai tenang, seharian ini kembali kalut karena telepon gadis bin*l itu. Kemarin-kemarin hanya mengira-ngira saja kalau Abila masih menghubungi suaminya, tapi subuh tadi ia mengetahuinya secara langsung.
Rinjani tersenyum samar. Senyum penuh misteri bagi Daffa yang perasaannya kebat-kebit."Aku nggak mungkin membuat drama supaya kamu cemburu, Mas. Terlalu murahan jika aku sampai melakukan hal konyol dengan berpura-pura dekat dengan pria lain untuk mengujimu. Aku dan Pak Reza hanya sebatas tetangga. Kebetulan anak-anak juga satu sekolahan. "Kalau aku minta tolong karena memang benar-benar butuh dan hanya dia yang ada. Bukan untuk mencari perhatiannya. Aku nggak akan semurah itu. Kesepian, sedang dikhianati, lantas mencari perhatian pria lain. Mas, apa mungkin aku melakukan itu?"Daffa menggeleng. Malu pada istri yang telah dikhianatinya. Perempuan yang memegang teguh prinsipnya. "Kamu wanita dan istri hebat, Rin.""Kamu salah, Mas. Kalau aku hebat dan baik, suamiku nggak akan mencari kebahagiaan pada wanita lain.""Suamimu yang br*ngsek. Maafkan mas."Ponsel Daffa yang berpendar mengalihkan perhatian mereka. "Bre sudah ada di depan, Rin," ujar Daffa setelah membaca pesan dan membala
RINDU YANG TERLUKA - Perempuan di Sebuah KafeDaffa merangkul Rinjani dengan lengan kiri. Mengecup puncak kepala istrinya berkali-kali. Antara dirinya dan Trecy hanya sebatas rekan bisnis, tak lebih. Semoga Rinjani mengerti setelah kehadiran Abila mengguncang pernikahan mereka."Udah ditunggu Mas Bre, Mas." Rinjani mengurai dekapan."Rin, mas nggak tahu batas waktu untuk menyelesaikan permasalahan ini. Tapi begitu selesai, mas akan pindah ke sini tinggal bersamamu dan Noval. Mas harap kamu mengerti.""Bukankah aku selalu mengerti, Mas. Dengan kondisi apapun aku harus selalu mengerti. Bahkan jika gadis tadi adalah Abila selanjutnya, aku juga harus mengerti.""Bukan, Rin. Sumpah. Dia cuma rekan kerja. Trecy hanya staf perwakilan dari rekan bisnis perusahaan," tekan Daffa.Keduanya saling pandang. Daffa paham perasaan istrinya. Kalau Rinjani curiga itu hal wajar. Mengingat bagaimana masa lalunya dan pengkhianatan yang baru ia lakukan. Tentu butuh waktu untuk memulihkan kepercayaannya.R
Bre membelokkan mobilnya ke pusat perbelanjaan dan oleh-oleh yang sangat ramai sore itu. Hujan tinggal menyisakan gerimis. "Kamu mau kubelikan apa?""Minum saja.""Snack?""Tidak usah.""Oke." Pria itu turun meninggalkan sahabatnya dalam mobil.Daffa memperhatikan area parkiran yang penuh pengunjung. Beberapa bis dan travel terparkir di sana. Mungkin rombongan anak-anak sekolah yang sedang berlibur. Ia juga memperhatikan kafe yang berada di lantai dua.Beberapa kali Daffa mengerjapkan mata saat melihat seseorang yang sangat di kenalnya. Ia yakin sekali itu kakak iparnya. Duduk berhadapan dengan perempuan di balik pagar pembatas koridor kafe lantai dua.Jendela kaca di turunkan sedikit, Daffa mengambil foto mereka. Agak buram karena jaraknya lumayan jauh dan kondisi masih gerimis.Daffa menelepon Bre."Ada apa, Bro?""Selesai belanja nanti, jangan keluar dulu. Langsung ke kafe Brawijaya di lantai dua. Aku melihat Mas Bobby bersama perempuan di sana.""Yakin kalau itu Bobby?""Iya. Mer
"Mama lega kamu pulang. Kenapa Bre nggak diajak mampir dulu?""Nggak, Ma.""Gimana kabar Rin dan Noval?" tanya Bu Tiwi setelah Daffa duduk menyelonjorkan kaki di sofa."Mereka baik-baik saja. Rin titip salam buat, Mama."Bu Tiwi tersenyum haru. Dia sebenarnya kangen dengan menantu dan cucunya. Namun harus ditahan sebelum keadaan kondusif."Mbak Ika tidak nyariin aku lagi, Ma?""Nggak. Lagian dia sibuk di kantor karena Bobby ada urusan di Malang. Akhir-akhir ini sering banget Bobby ke Malang. Apa perusahaan ada projek di sana?""Ada. Tapi bukan Mas Bobby yang pegang." Daffa tidak memberitahu apa yang ia lihat beberapa jam yang lalu. Kalau ingin mengungkap, bukan pada mamanya. Tapi pada Ika dan sang papa. Biar mereka tahu, menantu yang disangka alim, ternyata juga berkhianat."Ayo, makan dulu!" ajak Bu Tiwi."Aku masih kenyang, Ma. Sebelum berangkat tadi malam, terus mampir ngopi sama Bre. Aku mau istirahat dulu di kamar." Daffa masuk ke kamarnya. Lantas menelepon Rinjani dan ngobrol be
Rasa bahagia sekaligus haru menyelimuti ruang perawatan mamanya Bobby. Pria dengan seragam lapas itu memeluk erat dua putrinya. Air mata tumpah tak terkira. Karena isaknya, sampai menyulitkan untuk bicara.Sang mama yang tergolek di atas brankar tak bisa bergerak selain menangis. Adik Bobby sibuk menghapus air matanya sendiri. Begitu juga dengan Ika. Tidak menyangka jika jalan kehidupan putri-putrinya seperti ini. Reza merangkul sambil mengusap-usap lengan istrinya untuk menenangkan. Ika bukan menangisi Bobby, tapi menangis untuk kedua anaknya.Sedangkan Nasya yang tidak seberapa mengerti, duduk diam di sebelah papanya."Terima kasih banyak, Pak Reza. Sudah menjaga dan membimbing anak-anak saya. Terima kasih. Saya titip mereka." Bobby yang sudah mulai tenang, bicara pada Reza."Jangan khawatir, Pak Bobby. Saya akan menyayangi dan menjaga mereka dengan baik," jawab Reza dengan penuturan sopan dan ramah. Bobby ganti memandang mantan istrinya. "Maafkan kesalahanku. Maafkan keluargaku j
Ika menghela nafas panjang. Pantaslah suara mantan adik iparnya terdengar cemas. Perempuan yang beberapa bulan lalu sempat mencak-mencak dan marah karena sang kakak mendapatkan hukuman lumayan lama, kini melunak. Mungkin sekarang benar-benar merasakan bagaimana kehilangan support dan ATM berjalannya.Selama ini Bobby dan Ika yang mensupport pengobatan wanita itu. Makanya kesehatannya terjaga. Namun mulai drop setelah Bobby masuk penjara dan tidak ada dukungan finansial lagi.Sudah hidup enak karena Ika tidak sayang uang buat mereka, tapi mereka diam-diam malah memberikan dukungan pada Bobby bermain serong. Apa mereka pikir, hidupnya akan jauh lebih baik lagi? Orang tamak akan terperosok pada ketamakannya sendiri."Bagaimana, Ma?" Reza menyentuh pundak sang istri yang masih berdiri di teras rumah.Ika mengajak suaminya duduk. Kemudian menceritakan tentang percakapannya dengan mantan ipar."Sebenarnya ini solusi, Ma. Kalau pihak keluarga Bobby mau mengajukan permohonan supaya Bobby diiz
RINDU YANG TERLUKA- Sehari di Surabaya "Ma, papa nggak ngelarang kamu membawa anak-anak menjenguk papanya. Apapun yang terjadi, nggak ada yang bisa memisahkan darah yang mengalir sama di tubuh mereka. Tapi papa ngasih saran, bisakah diusahakan bertemu selain di penjara?"Malam itu Ika memberitahu sang suami perihal pesan yang dikirim mantan adik iparnya. Tentu Ika harus mendiskusikan bersama Reza untuk mengambil keputusan. "Pikirkan psikologis anak-anak. Selama ini mereka hanya mendengar papanya di penjara dari cerita. Tidak menyaksikan secara langsung. Kalau mereka melihat sendiri, pasti akan menjadi beban mental dan mengusik ketenangan jiwa anak-anak. Terutama Zahra yang sudah besar."Ika mengangguk. Benar yang dikatakan sang suami. Karena dia pun memikirkan hal yang sama."Bobby baru setahun menjalani hukumannya, Pa. Mana mungkin diizinkan keluar sebentar dengan alasan tertentu.""Ada beberapa alasan yang bisa membuat pihak berwenang memberi izin untuk Bobby keluar dalam beberap
"Sudah. Tadi malam Iren ngasih tahu kalau Mas Yansa diopname. Livernya kambuh lagi. Kamu mau nyambangi?""Kayaknya nggak, Mbak. Rin juga lagi sakit.""Sakit apa?""Masuk angin.""Jangan-jangan istrimu hamil lagi?""Nggak. Hanya masuk angin. Beberapa hari ini memang sibuk di klinik sampai malam karena rekannya ada yang cuti. Minggu kemarin, tiga hari Rin juga bolak-balik ke Batu untuk seminar.""Nanti mbak ke rumahmu.""Oke. Kalau gitu aku berangkat dulu, Mbak.""Kamu nyetir sendiri?""Iya. Ibnu sudah berangkat pagi tadi ngantar proposal ke Surabaya."Daffa bangkit dari duduknya. Menyapa sebentar pada Bu Murti yang sedang memetik sayuran di halaman samping, lantas masuk mobil dan pergi.Ika masuk ke dalam rumah dan langsung ke dapur. Sebelum mulai sibuk dengan pekerjaannya, dia selalu menyempatkan untuk membantu memasak. Sambil memotong sayuran, ia teringat dengan sepupunya. Mereka pernah membesar bersama di dalam keluarga besar Joyo Winoto. Itu nama kakek mereka. Disaat masih sekola
"Noval sudah berani tidur sendiri di kamarnya, Mas. Asal sebelum tidur ditemani dulu. Kalau Rachel biar tidur di kamar kita untuk sementara. Setelah dia bisa jalan biar ditemani oleh Mak Sum di kamarnya. Gimana?""Oke," jawab Daffa seraya merapatkan pelukannya. Mereka berdua sedang duduk menyaksikan hujan di luar dari balik jendela kaca."Terima kasih untuk hadiahnya, Mas. Tadi pagi kita buru-buru sampai aku nggak sempat bilang terima kasih." Rinjani berkata sambil menyentuh kalung di lehernya."Apa yang mas berikan tidak seberapa dibandingkan dengan apa yang kamu berikan dalam hidup mas, Rin. Kamu menyempurnakan hidup lelaki yang tidak sempurna ini. "Kamu memberikan gelar lelaki br*ngsek ini sebagai seorang ayah. Memberikan kesempatan disaat kesalahan mas teramat fatal. Maaf, untuk semua kesalahan kemarin. Mas bangga memilikimu.""Nggak usah diingat lagi. Kita sudah melangkah sejauh ini. Yang lalu biarlah berlalu. Kita berjuang untuk masa depan keluarga kecil kita. Tapi sekali lagi
RINDU YANG TERLUKA - Biarlah Berlalu Kejutan macam apa ini. Daffa malah sukses membuat Rinjani kelabakan dan tergesa-gesa ke klinik dengan rambut yang belum kering. Dan jadi pusat perhatian, karena belum pernah ia datang ke klinik dengan rambut seperti ini.Mau marah, tapi ini hari ulang tahunnya. Mau marah, tapi Daffa seromantis itu. Ah, sejak dulu sebenarnya Daffa memang sangat romantis meski kemauannya tidak bisa dibantah. Bahkan di tengah perselingkuhannya, Daffa tetap romantis plus egois.Rinjani menghela nafas lalu duduk di kursinya. Meraba kalung berlian di balik kerah bajunya. Daffa yang memakaikannya sesaat sebelum pria itu membawanya terbang ke nirwana."Ini harus dipakai. Nggak mengganggu aktivitasmu, kan?"Sekarang hadiah istimewa itu melingkar dan di sembunyikan di balik kerah baju. Rinjani selalu memakai baju dengan kerah yang menutupi leher jenjangnya."Nanti malam kita dinner dan nginap di Batu," kata Daffa sebelum Rinjani turun dari mobil saat di antar tadi. Jarak
Netra Bu Murti berkaca-kaca saat diberitahu kalau Ika sedang hamil. Bibirnya yang bergetar mengucap syukur berulang kali. Reza, Ika, dan anak-anak sampai di Pujon sudah jam sembilan malam. Reza langsung ke kamar sang mama untuk membagikan kabar gembira."Jaga Ika baik-baik. Jangan biarkan dia melakukan pekerjaan rumah. Biar anak-anak di urus ART. Kamu juga harus tirakat."Kata terakhir yang diucapkan Bu Murti, bagi Reza tidak menjadi masalah. Dia sudah terbiasa mengatasi kesendiriannya hampir lima tahun setelah mamanya Nasya meninggal. "Ika akan bekerja dari rumah, Ma. Jadi dia nggak akan ngantor lagi.""Syukurlah. Segera ajak Ika periksa ke dokter.""Besok kami pergi periksa. Jadwalku ke kampus kebetulan siang.""Ya sudah. Kamu istirahat sana."Reza mengusap punggung mamanya. Kemudian beranjak meninggalkan kamar itu.***L***Satu bulan kemudian ...."Tri, tinggalin aja. Kamu ke depan sana. Kamu ini pengantin baru, nggak usah ikutan beres-beres," tegur Mak Sum menghampiri Lastri yan
Usai makan siang, Daffa mengajak istri dan anaknya pulang ke Malang. Sedangkan Ika dan Reza memutuskan pulang sorenya. Sebab Reza masih ada acara ketemuan dengan temannya di Surabaya.Daffa singgah di Batu. Bertemu Bre di sebuah kafe. Kehadiran Noval agak mengobati kerinduannya pada Alvian. Sudah lama dia tidak bertemu dengan anak Alan dan Livia itu.Bre juga mengendong baby Rachel."Nggak pengen kamu punya boneka hidup seperti ini?" tanya Daffa menghampiri Bre yang membopong Rachel di balkon kafe.Bre tersenyum. "Aku sudah cukup bahagia melihat kamu bisa kembali bersama dengan Rin. Memiliki anak-anak yang tampan dan cantik. Aku juga bahagia melihat Livia bahagia. Biar aku menjalani hidup yang aku pilih.""Sebeku itu hatimu?"Bre diam. Daffa juga diam. Mereka memperhatikan pemandangan di kejauhan yang mulai berselimut kabut. Entah sudah berapa kali Daffa memberikan semangat pada sahabatnya, tapi tampaknya sia-sia. Bre keukeh dengan keputusannya."Mbak Ika juga lagi hamil." "Oh ya?""
RINDU YANG TERLUKA - Romantis "Tekanan darah Mbak Ika menurun, detak jantung meningkat. Ini salah satu tanda stres. Tapi aku yakin Mbak Ika nggak sedang dalam tekanan. Mbak dan Pak Reza sangat bahagia. Kata Mas Daffa pekerjaan juga baik-baik saja. Jadi aku yakin kalau Mbak Ika pasti sedang hamil ini," kata Rinjani setelah melakukan pemeriksaan pada kakak iparnya. Meski sebagai dokter umum, Rinjani memiliki kompetensi ANC (Antenatal Care). Pemeriksaan kehamilan secara umum.Ika bangun dari pembaringan. "Mbak emang udah telat datang bulan, Rin. Sudah sepuluh hari ini.""Kenapa Mbak nggak melakukan testpack?""Nggak, karena mbak takut kecewa lagi. Bulan-bulan kemarin kalau telat haid Mbak langsung test tapi hasilnya negatif. Makanya kali ini Mbak biarin.""Coba cek, Mbak. Aku yakin Mbak Ika lagi hamil ini.""Nanti Mbak beli testpack. Yuk, kita keluar."Ika dan Rinjani melangkah keluar kamar. Di depan pintu sudah ada Reza yang menunggu. Dia tadi khawatir kenapa istri dan iparnya masuk k