RINDU YANG TERLUKA - Semalam Saja"Papa tadi berangkat jam berapa, Ma?" tanya Ika yang baru datang dan duduk di sofa ruang tengah. Dia tadi mengantarkan anaknya ke sekolah, sekalian mampir ke rumah orang tuanya.Bu Tiwi membawakan sepiring pisang goreng dan diletakkan di meja depan putrinya. Tidak mengira si sulung datang pagi itu. Semoga saja dia tidak ingin bertemu Daffa.Wanita itu kebat-kebit. Sudah capek dengan segala drama dan permasalahan dalam keluarga mereka."Habis subuh tadi.""Daffa mana, Ma? Belum bangun ya?""Daffa lagi nyambangi rumahnya," jawab Bu Tiwi setenang mungkin supaya putrinya tidak curiga."Naik apa?""Di jemput sama temannya. Oh ya, kamu sudah sarapan apa belum?" Bu Tiwi mengalihkan percakapan."Sudah tadi. Sebenarnya aku pengen ngobrol sama Daffa sih. Kutelepon bolak-balik tapi nggak dijawab.""Adikmu masih butuh istirahat, Ka. Kan masih dalam proses pemulihan. Jangan ganggu dulu. Dia juga nggak selalu pegang ponselnya.""Padahal urusan kantor butuh dia, Ma
Jam sepuluh pagi, Noval pulang di boceng Lastri. Daffa membuka pintu dan menyambut anaknya dengan senyuman. Noval tampak bahagia melihat papanya masih ada di rumah."Nah, papa masih di rumah, kan?" kata Daffa."Iya." Noval merangkul papanya yang sudah kembali duduk di sofa. Daffa menciumi wajah tampannya si anak."Mas Noval, ganti baju dulu, yuk!" teriak Lastri dari kamar."Noval mau digantiin sama papa, Mbak," jawab Noval. Lastri keluar membawakan bajunya Noval."Biar saya saja yang gantiin, Tri.""Njih, Pak. Oh ya, tadi saya belikan bakso buat Bapak. Mau dituangkan ke mangkuk sekarang?" tanya Lastri setelah memberikan bajunya Noval."Boleh," jawab Daffa.Seharian Noval di kamar bermain dengan papanya. Rinjani mengirimkan pesan kalau tidak bisa pulang siang itu karena ada meeting dan kebetulan banyak pasien yang harus ditangani.Jam dua siang, Nasya datang ke rumah. Bocah perempuan itu membawakan wafel dan kue moci buat Noval. Ia juga mencium tangan Daffa. Gadis kecil yang sangat so
Jam empat pagi Rinjani terbangun karena handphone Daffa berdering tiada henti. Saat dilihat, ternyata Abila yang menelepon. Dia benar-benar gadis gila. Rinjani berdecak lirih. Diterimanya panggilan itu."Mas." Terdengar suara Abila terdengar begitu bahagia karena teleponnya dijawab."Mau apa kamu?" jawab Rinjani dan gadis di seberang langsung menutup panggilan. Mungkin terkejut karena yang mengangkat telepon ternyata istri dari pria pujaannya.Daffa terbangun saat mendengar Rinjani membuka lemari untuk mengambil daster. Wanita itu menanggalkan piyama yang ia pakai, membenahi tali bra, baru memakai dasternya.Membuat Daffa makin senewen. Di mana malam tadi pun ia tidak bisa tidur setelah Rinjani terlelap. Eh, pagi baru membuka mata, disaat hormon testosteron lagi tinggi-tingginya sudah disuguhi pemandangan yang makin membuat gila. Jelas pula itu, karena lampu sudah dinyalakan oleh istrinya.Bisa apa sekarang dengan kakinya yang sakit.Rinjani keluar kamar dan langsung memasak di dapur.
RINDU YANG TERLUKA - Bukan Perempuan Murahan Ingin sekali Daffa menemui Abila dan bilang kalau semua sudah selesai. Meneruskan hidup masing-masing. Dia bisa mencari pasangan yang sama-sama masih single. Dan Daffa bisa kembali tenang menjalani kehidupan bersama keluarga kecilnya.Namun apa segampang itu? Ternyata Abila lebih gila daripada perempuan-perempuan masa lalu yang pernah dipacari dan mengejar-ngejarnya.Ah, anggap saja ini harga mahal yang harus dibayar. Sebab telah mengingkari janji yang pernah diucapkan pada Rinjani. Mengkhianati janji suci pernikahan mereka.Saat tengah termenung, ponselnya berdering. Papanya menelepon. Daffa meletakkan kembali benda pipih itu di meja. Lebih baik tidak usah dijawab saja.Daffa keluar kamar. Dari jendela samping ia melihat Reza yang berpakaian rapi tengah memandang sejenak ke arah rumahnya. Kemudian masuk ke dalam mobil. Beberapa menit kemudian kendaraan warna silver meninggalkan garasi.Setenang apapun, ia tetap kepikiran tentang istrinya
"Kenapa nyari calon penggantiku gadis seperti itu. Rugi, Mas. Harusnya cari yang sholehah. Yang menjaga dan menutup auratnya dengan baik. Tapi mana ada wanita disebut sholehah kalau mau saja berkencan dengan suami orang. Setidaknya carilah yang cerdas, pintar, kekayaannya nggak habis tujuh turunan.""Rin ....""Eh, tapi Abila kaya raya kan, Mas?""Rin, kamu lebih dari segalanya dari dia. Mas yang salah." Rasanya Daffa kembali frustasi. Rinjani kembali mengulitinya.Daffa ingat perkataan Bre. "Aku doakan Rin bisa memaafkan dan menerimamu kembali, Fa. Tapi kamu harus siap jika kesalahan ini akan diungkitnya sepanjang hidup. Sampai akhir hayat. Perempuan mudah luluh dan memaafkan tapi tidak mudah untuk melupakan. Aku bisa bicara begini, karena mamaku seperti itu."Rinjani yang sebenarnya mulai tenang, seharian ini kembali kalut karena telepon gadis bin*l itu. Kemarin-kemarin hanya mengira-ngira saja kalau Abila masih menghubungi suaminya, tapi subuh tadi ia mengetahuinya secara langsung.
Rinjani tersenyum samar. Senyum penuh misteri bagi Daffa yang perasaannya kebat-kebit."Aku nggak mungkin membuat drama supaya kamu cemburu, Mas. Terlalu murahan jika aku sampai melakukan hal konyol dengan berpura-pura dekat dengan pria lain untuk mengujimu. Aku dan Pak Reza hanya sebatas tetangga. Kebetulan anak-anak juga satu sekolahan. "Kalau aku minta tolong karena memang benar-benar butuh dan hanya dia yang ada. Bukan untuk mencari perhatiannya. Aku nggak akan semurah itu. Kesepian, sedang dikhianati, lantas mencari perhatian pria lain. Mas, apa mungkin aku melakukan itu?"Daffa menggeleng. Malu pada istri yang telah dikhianatinya. Perempuan yang memegang teguh prinsipnya. "Kamu wanita dan istri hebat, Rin.""Kamu salah, Mas. Kalau aku hebat dan baik, suamiku nggak akan mencari kebahagiaan pada wanita lain.""Suamimu yang br*ngsek. Maafkan mas."Ponsel Daffa yang berpendar mengalihkan perhatian mereka. "Bre sudah ada di depan, Rin," ujar Daffa setelah membaca pesan dan membala
RINDU YANG TERLUKA - Perempuan di Sebuah KafeDaffa merangkul Rinjani dengan lengan kiri. Mengecup puncak kepala istrinya berkali-kali. Antara dirinya dan Trecy hanya sebatas rekan bisnis, tak lebih. Semoga Rinjani mengerti setelah kehadiran Abila mengguncang pernikahan mereka."Udah ditunggu Mas Bre, Mas." Rinjani mengurai dekapan."Rin, mas nggak tahu batas waktu untuk menyelesaikan permasalahan ini. Tapi begitu selesai, mas akan pindah ke sini tinggal bersamamu dan Noval. Mas harap kamu mengerti.""Bukankah aku selalu mengerti, Mas. Dengan kondisi apapun aku harus selalu mengerti. Bahkan jika gadis tadi adalah Abila selanjutnya, aku juga harus mengerti.""Bukan, Rin. Sumpah. Dia cuma rekan kerja. Trecy hanya staf perwakilan dari rekan bisnis perusahaan," tekan Daffa.Keduanya saling pandang. Daffa paham perasaan istrinya. Kalau Rinjani curiga itu hal wajar. Mengingat bagaimana masa lalunya dan pengkhianatan yang baru ia lakukan. Tentu butuh waktu untuk memulihkan kepercayaannya.R
Bre membelokkan mobilnya ke pusat perbelanjaan dan oleh-oleh yang sangat ramai sore itu. Hujan tinggal menyisakan gerimis. "Kamu mau kubelikan apa?""Minum saja.""Snack?""Tidak usah.""Oke." Pria itu turun meninggalkan sahabatnya dalam mobil.Daffa memperhatikan area parkiran yang penuh pengunjung. Beberapa bis dan travel terparkir di sana. Mungkin rombongan anak-anak sekolah yang sedang berlibur. Ia juga memperhatikan kafe yang berada di lantai dua.Beberapa kali Daffa mengerjapkan mata saat melihat seseorang yang sangat di kenalnya. Ia yakin sekali itu kakak iparnya. Duduk berhadapan dengan perempuan di balik pagar pembatas koridor kafe lantai dua.Jendela kaca di turunkan sedikit, Daffa mengambil foto mereka. Agak buram karena jaraknya lumayan jauh dan kondisi masih gerimis.Daffa menelepon Bre."Ada apa, Bro?""Selesai belanja nanti, jangan keluar dulu. Langsung ke kafe Brawijaya di lantai dua. Aku melihat Mas Bobby bersama perempuan di sana.""Yakin kalau itu Bobby?""Iya. Mer