Reza yang telah sampai di teras, menoleh pada kerumunan warung di seberang. Kaum perempuan sibuk memilih barang yang hendak dibeli, tentunya sambil bicara ngobrol ke sana ke mari. Ada saja yang mereka dibahas. Bahkan gosip artis di TV tak luput jadi perbincangan. Jangankan kehidupan artis, cerita fiksi di sinetron saja membuat mereka berapi-api untuk membahasnya.Masih terlihat Rinjani diam sambil memilih sesuatu dan memasukkan ke dalam keranjang. Ah, wanita itu mencuri tempat di kekosongan jiwanya. Perempuan yang statusnya masih istri orang. Salah, kan? Tapi dia tidak bisa membendung rasa itu."Za, kenapa melamun di situ?" Bu Murti yang muncul dari dalam menegur putranya."Nggak apa-apa, Ma." Reza tergagap dan segera masuk ke rumah.Bu Murti keluar lalu memperhatikan ke arah sang putra tadi memandang. Oh ternyata ada dokter Rin di sana.Setelah sekian lama hidup menduda, akhirnya bisa kembali jatuh cinta pada seorang perempuan. Namun sayang sekali, status Rinjani ini masih milik oran
Gandi tersenyum sambil menepuk pundak temannya. "Kalau kamu nggak melakukannya dengan gadis itu, tetap yakinkan istrimu. Soal hasilnya nanti gimana, pasrahkan saja. Kita nggak bisa maksa seseorang untuk percaya pada kita, Fa. Yang penting kamu sudah berusaha."Daffa menunduk. Menatap paving yang dipijaknya. Jauh-jauh menempuh perjalanan dalam kondisi hujan deras dan lelah, ternyata tidak mendapatkan hasil yang diharapkan. Apakah Rinjani masih bisa mempercayainya lagi? Badan pun rasanya sangat lelah. Mata juga terasa pedih karena mengantuk. Dia hanya sempat tidur sekitar satu jam saja."Aku langsung balik, Gan. Mumpung jam segini, sampai Malang nggak terlalu malam.""Istirahatlah dulu. Aku tahu kamu capek banget ini. Bahaya nyetir dalam keadaan pikiran kacau dan badan lelah." Nasehat Gandi.Daffa menarik napas panjang sambil menatap langit yang redup. Seredup harapannya yang suram. "Aku bisa istirahat di rest area nanti. Malah nggak tenang kalau nggak segera pulang. Terima kasih banyak
RINDU YANG TERLUKA- Harga Diri "Karena kamu anak saya seperti ini. Kalau kamu merasa sempurna dan nggak bisa mempercayai lagi Daffa, cerai saja. Daripada anak saya pontang-panting meyakinkan istri yang sama sekali tidak bisa mempercayainya lagi." Begitu pedas kalimat itu di telinga Rinjani. Membuat air mata mengalir tanpa kompromi.Dia yang dikhianati, seolah dia pula yang menyakiti."Kamu terlalu egois, menganggap diri paling suci. Sampai membuat drama untuk mengacaukan hati anak saya."Dua kakak ipar yang sebenarnya sangat mengantuk masih sanggup menatap Rinjani dengan sinis. Sementara suami Ika, menantu pertama Pak Farhan, hanya menunduk diam."Nggak usah temui anak saya lagi setelah ini. Dia masih bisa mendapatkan istri yang lebih baik darimu."Rinjani menghapus air mata lantas meninggalkan tempat itu. Harga dirinya dicabik-cabik oleh mertua laki-laki yang seharusnya bisa menjembatani hubungan mereka supaya jauh lebih baik. Siapa yang egois sebenarnya?Bagaimana tidak tercabik-c
Rinjani keluar dari rumah makan dan berdiri di pinggir jalan."Assalamu'alaikum, Pak Reza.""Wa'alaikumsalam. Bagaimana keadaan suami, Dokter?"Tidak bisa menjawab, tangis Rinjani tumpah. Dia tidak bisa menahan diri. Entah pada siapa lagi ia bisa membagi beban di hati. Saat Reza menelepon, tangisnya tidak bisa dibendung."Apa keadaan suami dokter parah?""N-nggak, Pak Reza. Sudah ditangani dengan baik oleh para tenaga medis di sini," jawab Rinjani yang belum bisa menceritakan tentang sambutan sang mertua terhadapnya."Syukurlah. Semoga bisa lekas pulang.""Makasih, Pak Reza. Saya usahakan sore ini sudah sampai di Malang.""Jangan buru-buru, Dok? Pakai saja mobil sampai urusan selesai.""Saya nggak enak, Pak Reza.""Nggak apa-apa. Santai saja.""Terima kasih banyak, Pak. Habis ini saya mau menelepon klinik dan sekolahnya Noval untuk minta izin.""Oke, Dok. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Rinjani menghubungi pihak klinik, menelepon guru sekolahnya Noval, juga menelepon Pak Haslam
Hingga tengah hari Rinjani menunggu di parkiran rumah sakit. Daffa juga belum dipindahkan ke ruang perawatan. Setiap kali hendak menemui, entah papa mertua atau pun iparnya menghalangi. Mama mertuanya tidak ikut, orang yang bisa diharapkan berpihak padanya."Pak, kita pulang sekarang saja," ujarnya pada Pak Slamet."Sekarang, Bu Dokter?""Iya." Lebih baik pulang saja. Mau menunggu sampai kapan, mertuanya tidak mengizinkan ia menemui Daffa. Terlalu lama membawa mobil Reza juga sungkan. Meski pemiliknya bilang tidak apa-apa.Nanti kalau Noval diajak bertemu papanya, malah membuat anak itu rewel. Nangis dan tidak mau pulang. Belum lagi jika bertemu sama kakeknya. Tapi Pak Farhan tadi tidak menanyakan tentang cucunya sama sekali. Sepanjang perjalanan pikiran Rinjani tidak karuan. Khawatir, cemas, dan rasa yang tidak bisa ia gambarkan dengan kata-kata. Ingin sekali melihat keadaan Daffa. Ditambah ucapan mertuanya mencabik-cabik hati. Dia yang dikhianati, dia juga yang dihakimi. Harga diri
RINDU YANG TERLUKA - Harapan "Selamat pagi, Pak." Seorang suster menyapanya ramah. Di tangannya ada kotak kecil berisi obat."Pagi juga, Sus.""Sendirian, Pak?""Papa dan ipar saya baru saja pulang," jawab Daffa.Perawat memeriksa infus. Kemudian memberikan obat yang harus di minum pagi itu."Suster, bisa saya pinjam ponselnya sebentar. Untuk menelepon istri saya." Daffa bicara ketika perawat hendak keluar ruangan.Gadis itu tampak ragu. Daffa sendirian, kenapa tidak membawa handphone. Ruang perawatannya saja VVIP. Tapi ponsel tidak ada, juga tidak ditemani satu pun kerabat. Tega benar istrinya tidak menunggui."Kalau Suster keberatan, nggak apa-apa," ujar Daffa akhirnya."Ti-tidak keberatan, Pak. Ini ...." Perawat mengambil ponsel yang ada di saku bajunya dan memberikan pada Daffa. "Makasih, Sus."Daffa segera mengetik nomer sang istri dan menelponnya. Beberapa kali menelepon, tapi panggilannya tidak dijawab. Kembali mencoba dan mencoba lagi tetap nihil. Daffa memandang perawat ya
Di antara mereka semua, sebenarnya sang mama bisa diharapkan untuk membantunya menghubungi Rinjani. Namun tidak mungkin Daffa akan bicara di depan papa dan kakaknya. Mereka berbincang, setengah jam kemudian Pak Fahmi dan istrinya datang. Fahmi ini kakak sulungnya Pak Farhan. Mereka empat bersaudara, laki-laki semua. Pak Farhan anak nomer tiga. Keempatnya memiliki posisi yang penting di Jaya Gemilang. Anak-anak mereka juga memiliki peran di perusahaan.Percakapan di kamar perawatan tidak jauh dari bisnis. Daffa enggan nimbrung. Merasakan sakit dan kepikiran tentang Rinjani dan Noval saja sudah tidak bisa menangkap apa yang sedang dibahas. Sesekali Daffa melirik pada iparnya yang terlihat begitu mendominasi percakapan.Sepertinya sang mama sudah didoktrin oleh papanya agar tidak menyinggung nama Rinjani dalam pertemuan itu. Dirinya yang salah, tapi Rinjani yang menerima hukumannya.Jam sepuluh pagi dokter ortopedi visit. Lelaki dengan rambut nyaris semuanya berwarna perak itu sangat r
Rinjani memperhatikan sederetan angka di log panggilannya. Nomor asing yang tidak tahu itu siapa karena foto profilnya tidak muncul. Apa Abila yang menerornya? Tidak mungkin gadis itu tidak tahu kalau Daffa mengalami musibah.Nomer Daffa tidak bisa dihubungi lagi. Jelas saja nomernya di blokir. Bukan oleh Daffa, pasti oleh keluarganya. Rinjani dapat kabar dari Pak Haslam kalau Daffa masih di rumah sakit. Membuat Rinjani khawatir, apa separah itu luka suaminya.Pesan yang dikirim Rinjani pada Dinda juga tertolak. Asisten Daffa sudah memblokir nomernya. Mungkin atas permintaan Pak Farhan. Rinjani juga tidak bisa menghubungi nomer mertuanya. Miris. Wanita itu tersenyum getir dengan netra berkaca-kaca. Ia tidak akan mengemis bertanya pada orang-orang yang berada di bawah kekuasaan sang mertua. Jika Daffa sembuh, Daffa masih mengingatnya dan Noval, lelaki itu pasti akan menemui mereka. Untuk kembali memperjuangkan hubungan atau untuk menyelesaikan. Tak mengapa. Ia akan terima. Mungkin Da
Rasa bahagia sekaligus haru menyelimuti ruang perawatan mamanya Bobby. Pria dengan seragam lapas itu memeluk erat dua putrinya. Air mata tumpah tak terkira. Karena isaknya, sampai menyulitkan untuk bicara.Sang mama yang tergolek di atas brankar tak bisa bergerak selain menangis. Adik Bobby sibuk menghapus air matanya sendiri. Begitu juga dengan Ika. Tidak menyangka jika jalan kehidupan putri-putrinya seperti ini. Reza merangkul sambil mengusap-usap lengan istrinya untuk menenangkan. Ika bukan menangisi Bobby, tapi menangis untuk kedua anaknya.Sedangkan Nasya yang tidak seberapa mengerti, duduk diam di sebelah papanya."Terima kasih banyak, Pak Reza. Sudah menjaga dan membimbing anak-anak saya. Terima kasih. Saya titip mereka." Bobby yang sudah mulai tenang, bicara pada Reza."Jangan khawatir, Pak Bobby. Saya akan menyayangi dan menjaga mereka dengan baik," jawab Reza dengan penuturan sopan dan ramah. Bobby ganti memandang mantan istrinya. "Maafkan kesalahanku. Maafkan keluargaku j
Ika menghela nafas panjang. Pantaslah suara mantan adik iparnya terdengar cemas. Perempuan yang beberapa bulan lalu sempat mencak-mencak dan marah karena sang kakak mendapatkan hukuman lumayan lama, kini melunak. Mungkin sekarang benar-benar merasakan bagaimana kehilangan support dan ATM berjalannya.Selama ini Bobby dan Ika yang mensupport pengobatan wanita itu. Makanya kesehatannya terjaga. Namun mulai drop setelah Bobby masuk penjara dan tidak ada dukungan finansial lagi.Sudah hidup enak karena Ika tidak sayang uang buat mereka, tapi mereka diam-diam malah memberikan dukungan pada Bobby bermain serong. Apa mereka pikir, hidupnya akan jauh lebih baik lagi? Orang tamak akan terperosok pada ketamakannya sendiri."Bagaimana, Ma?" Reza menyentuh pundak sang istri yang masih berdiri di teras rumah.Ika mengajak suaminya duduk. Kemudian menceritakan tentang percakapannya dengan mantan ipar."Sebenarnya ini solusi, Ma. Kalau pihak keluarga Bobby mau mengajukan permohonan supaya Bobby diiz
RINDU YANG TERLUKA- Sehari di Surabaya "Ma, papa nggak ngelarang kamu membawa anak-anak menjenguk papanya. Apapun yang terjadi, nggak ada yang bisa memisahkan darah yang mengalir sama di tubuh mereka. Tapi papa ngasih saran, bisakah diusahakan bertemu selain di penjara?"Malam itu Ika memberitahu sang suami perihal pesan yang dikirim mantan adik iparnya. Tentu Ika harus mendiskusikan bersama Reza untuk mengambil keputusan. "Pikirkan psikologis anak-anak. Selama ini mereka hanya mendengar papanya di penjara dari cerita. Tidak menyaksikan secara langsung. Kalau mereka melihat sendiri, pasti akan menjadi beban mental dan mengusik ketenangan jiwa anak-anak. Terutama Zahra yang sudah besar."Ika mengangguk. Benar yang dikatakan sang suami. Karena dia pun memikirkan hal yang sama."Bobby baru setahun menjalani hukumannya, Pa. Mana mungkin diizinkan keluar sebentar dengan alasan tertentu.""Ada beberapa alasan yang bisa membuat pihak berwenang memberi izin untuk Bobby keluar dalam beberap
"Sudah. Tadi malam Iren ngasih tahu kalau Mas Yansa diopname. Livernya kambuh lagi. Kamu mau nyambangi?""Kayaknya nggak, Mbak. Rin juga lagi sakit.""Sakit apa?""Masuk angin.""Jangan-jangan istrimu hamil lagi?""Nggak. Hanya masuk angin. Beberapa hari ini memang sibuk di klinik sampai malam karena rekannya ada yang cuti. Minggu kemarin, tiga hari Rin juga bolak-balik ke Batu untuk seminar.""Nanti mbak ke rumahmu.""Oke. Kalau gitu aku berangkat dulu, Mbak.""Kamu nyetir sendiri?""Iya. Ibnu sudah berangkat pagi tadi ngantar proposal ke Surabaya."Daffa bangkit dari duduknya. Menyapa sebentar pada Bu Murti yang sedang memetik sayuran di halaman samping, lantas masuk mobil dan pergi.Ika masuk ke dalam rumah dan langsung ke dapur. Sebelum mulai sibuk dengan pekerjaannya, dia selalu menyempatkan untuk membantu memasak. Sambil memotong sayuran, ia teringat dengan sepupunya. Mereka pernah membesar bersama di dalam keluarga besar Joyo Winoto. Itu nama kakek mereka. Disaat masih sekola
"Noval sudah berani tidur sendiri di kamarnya, Mas. Asal sebelum tidur ditemani dulu. Kalau Rachel biar tidur di kamar kita untuk sementara. Setelah dia bisa jalan biar ditemani oleh Mak Sum di kamarnya. Gimana?""Oke," jawab Daffa seraya merapatkan pelukannya. Mereka berdua sedang duduk menyaksikan hujan di luar dari balik jendela kaca."Terima kasih untuk hadiahnya, Mas. Tadi pagi kita buru-buru sampai aku nggak sempat bilang terima kasih." Rinjani berkata sambil menyentuh kalung di lehernya."Apa yang mas berikan tidak seberapa dibandingkan dengan apa yang kamu berikan dalam hidup mas, Rin. Kamu menyempurnakan hidup lelaki yang tidak sempurna ini. "Kamu memberikan gelar lelaki br*ngsek ini sebagai seorang ayah. Memberikan kesempatan disaat kesalahan mas teramat fatal. Maaf, untuk semua kesalahan kemarin. Mas bangga memilikimu.""Nggak usah diingat lagi. Kita sudah melangkah sejauh ini. Yang lalu biarlah berlalu. Kita berjuang untuk masa depan keluarga kecil kita. Tapi sekali lagi
RINDU YANG TERLUKA - Biarlah Berlalu Kejutan macam apa ini. Daffa malah sukses membuat Rinjani kelabakan dan tergesa-gesa ke klinik dengan rambut yang belum kering. Dan jadi pusat perhatian, karena belum pernah ia datang ke klinik dengan rambut seperti ini.Mau marah, tapi ini hari ulang tahunnya. Mau marah, tapi Daffa seromantis itu. Ah, sejak dulu sebenarnya Daffa memang sangat romantis meski kemauannya tidak bisa dibantah. Bahkan di tengah perselingkuhannya, Daffa tetap romantis plus egois.Rinjani menghela nafas lalu duduk di kursinya. Meraba kalung berlian di balik kerah bajunya. Daffa yang memakaikannya sesaat sebelum pria itu membawanya terbang ke nirwana."Ini harus dipakai. Nggak mengganggu aktivitasmu, kan?"Sekarang hadiah istimewa itu melingkar dan di sembunyikan di balik kerah baju. Rinjani selalu memakai baju dengan kerah yang menutupi leher jenjangnya."Nanti malam kita dinner dan nginap di Batu," kata Daffa sebelum Rinjani turun dari mobil saat di antar tadi. Jarak
Netra Bu Murti berkaca-kaca saat diberitahu kalau Ika sedang hamil. Bibirnya yang bergetar mengucap syukur berulang kali. Reza, Ika, dan anak-anak sampai di Pujon sudah jam sembilan malam. Reza langsung ke kamar sang mama untuk membagikan kabar gembira."Jaga Ika baik-baik. Jangan biarkan dia melakukan pekerjaan rumah. Biar anak-anak di urus ART. Kamu juga harus tirakat."Kata terakhir yang diucapkan Bu Murti, bagi Reza tidak menjadi masalah. Dia sudah terbiasa mengatasi kesendiriannya hampir lima tahun setelah mamanya Nasya meninggal. "Ika akan bekerja dari rumah, Ma. Jadi dia nggak akan ngantor lagi.""Syukurlah. Segera ajak Ika periksa ke dokter.""Besok kami pergi periksa. Jadwalku ke kampus kebetulan siang.""Ya sudah. Kamu istirahat sana."Reza mengusap punggung mamanya. Kemudian beranjak meninggalkan kamar itu.***L***Satu bulan kemudian ...."Tri, tinggalin aja. Kamu ke depan sana. Kamu ini pengantin baru, nggak usah ikutan beres-beres," tegur Mak Sum menghampiri Lastri yan
Usai makan siang, Daffa mengajak istri dan anaknya pulang ke Malang. Sedangkan Ika dan Reza memutuskan pulang sorenya. Sebab Reza masih ada acara ketemuan dengan temannya di Surabaya.Daffa singgah di Batu. Bertemu Bre di sebuah kafe. Kehadiran Noval agak mengobati kerinduannya pada Alvian. Sudah lama dia tidak bertemu dengan anak Alan dan Livia itu.Bre juga mengendong baby Rachel."Nggak pengen kamu punya boneka hidup seperti ini?" tanya Daffa menghampiri Bre yang membopong Rachel di balkon kafe.Bre tersenyum. "Aku sudah cukup bahagia melihat kamu bisa kembali bersama dengan Rin. Memiliki anak-anak yang tampan dan cantik. Aku juga bahagia melihat Livia bahagia. Biar aku menjalani hidup yang aku pilih.""Sebeku itu hatimu?"Bre diam. Daffa juga diam. Mereka memperhatikan pemandangan di kejauhan yang mulai berselimut kabut. Entah sudah berapa kali Daffa memberikan semangat pada sahabatnya, tapi tampaknya sia-sia. Bre keukeh dengan keputusannya."Mbak Ika juga lagi hamil." "Oh ya?""
RINDU YANG TERLUKA - Romantis "Tekanan darah Mbak Ika menurun, detak jantung meningkat. Ini salah satu tanda stres. Tapi aku yakin Mbak Ika nggak sedang dalam tekanan. Mbak dan Pak Reza sangat bahagia. Kata Mas Daffa pekerjaan juga baik-baik saja. Jadi aku yakin kalau Mbak Ika pasti sedang hamil ini," kata Rinjani setelah melakukan pemeriksaan pada kakak iparnya. Meski sebagai dokter umum, Rinjani memiliki kompetensi ANC (Antenatal Care). Pemeriksaan kehamilan secara umum.Ika bangun dari pembaringan. "Mbak emang udah telat datang bulan, Rin. Sudah sepuluh hari ini.""Kenapa Mbak nggak melakukan testpack?""Nggak, karena mbak takut kecewa lagi. Bulan-bulan kemarin kalau telat haid Mbak langsung test tapi hasilnya negatif. Makanya kali ini Mbak biarin.""Coba cek, Mbak. Aku yakin Mbak Ika lagi hamil ini.""Nanti Mbak beli testpack. Yuk, kita keluar."Ika dan Rinjani melangkah keluar kamar. Di depan pintu sudah ada Reza yang menunggu. Dia tadi khawatir kenapa istri dan iparnya masuk k