"Kenapa? Biar kamu bisa numpang di mobil duda sebelah kalau hendak ke mana-mana." Daffa berkata tajam."Nggak usah mengada-ada. Kecurigaanmu nggak beralasan, Mas. Begitulah kalau pernah curang. Bawaannya juga mencurigai pasangan. Dikira aku pun melakukan seperti apa yang mas lakukan."Daffa terdiam dan mereka saling pandang. Baru kali ini merasakan cemburu sehebat ini. Membuatnya berat meninggalkan Pujon Selatan."Mas, mandi dulu sana." Rinjani memberikan handuk bersih pada suaminya. Daffa menerima sekaligus menarik tangan istrinya. Mencumbu Rinjani di ruang tengah. Memantik h*srat yang kembali menguasai."Kamu nanti telat, Mas. Jangan menambah masalah lagi. Banyak yang harus kamu selesaikan, bukan?" Rinjani berusaha merenggangkan tubuhnya menjauh dari Daffa."Sekarang berangkat pun, sudah telat untuk meeting jam sembilan nanti. Satu jam dari sini belum tentu bisa sampai Surabaya," jawab Daffa tanpa melonggarkan tangannya."Rin, kita kembali ke Surabaya.""Jangan egois, Mas. Semalam M
Dan mulai hari itu, Daffa fokus pada perusahaan. Menyelesaikan pekerjaan satu per satu. Dia butuh fokus dan konsentrasi. Juga harus mencari tahu siapa yang berusaha menjatuhkannya. Bergerak sendiri karena tidak ingin salah mempercayai orang, meski dengan Teddy sekalipun.***L***Dua minggu kemudian ...."Dokter Rin, mari pulang bareng saya." Reza menghampiri Rinjani yang masih berdiri di teras aula sekolahan Noval karena hujan turun sangat deras.Siang itu memang ada pertemuan wali murid untuk membahas acara outbound untuk anak-anak TK. Sejak Daffa masih sekolah di Surabaya, setiap ada undangan pertemuan wali murid, Rinjani selalu menyempatkan untuk hadir sendiri. Meski ada Lastri yang bisa mewakili.Reza juga hadir sendiri karena Bu Murti yang biasa datang sedang tidak enak badan. Kesehatan sang ibu memang menurun drastis akhir-akhir ini. "Saya bawa motor, Pak Reza.""Nggak mungkin kan dokter Rin boceng Noval pulang naik motor kondisi hujan deras begini," sanggah Reza."Bareng sama
RINDU YANG TERLUKA - Daffa & Bre"Halo, Bre." Daffa duduk di mobilnya, baru menerima telepon."Hai, kamu di mana?" Suara sahabatnya di seberang. "Di kantor. Kamu di Surabaya apa di Malang?""Di Malang. Kapan kamu ke Malang?""Bentar lagi aku on the way ke sana.""Bisa kita ketemuan.""Aku nggak janji, Bre. Kacau banget pikiranku sekarang. Mana urusan perusahaan belum kelar. Ditambah lagi kepikiran sama Rin. Sumpah lama-lama aku bisa sinting."Terdengar tawa ngakak di seberang. "Kamu jangan gila. Biar aku saja yang gila. Nggak enak banget jadi orang yang paling menyesal dan kehilangan, Fa. Perjuangkan jangan sampai terlepas. Jangan sampai Rin mengajukan khulu. Kelar hidup loe. Biar aku saja yang nyesel. Kamu jangan." Suara Bre terdengar berat."Masih ingat kan gimana kamu ngejar Rin dulu. Kamu mati-matian dapetin dia, sedangkan waktu itu aku sudah nikah sama Livia tapi masih sibuk ngeyakinin mamaku. Punyaku sudah terlepas dan kamu jangan ngikutin jejakku. Kalau kamu beneran masih ber
Mobil memasuki garasi rumah. Daffa tergesa masuk dan mandi. Memasukkan beberapa pakaian ke dalam ransel karena akan menginap di sana beberapa hari.Ketika masih berganti baju, ponsel di atas kasur kembali berpendar. Diterima atau diabaikan saja panggilan itu. Dibiarkan bikin runyam, diterima tambah masalah. Pusing banget jadinya. Daffa memilih membiarkan. Hingga pesan beruntun diterimanya dari gadis itu, Abila.Daffa meraih ponselnya dan berdiri di dekat jendela kamar.[Mas Daffa, ketemuan yuk!][Cuek banget sekarang. Takut ya sama binimu, Mas? Lupa kalau aku pernah menemani hari-harimu? Lupa juga kita pernah melewati malam yang panas di Jogja. Setelah kamu mengambil semuanya, setelah ketauan istrimu, kenapa lelaki hot ini jadi melempem.]Pesan terakhir yang membuat Daffa meradang. Giginya gemertak menahan amarah. Ingin mengabaikan saja, tapi ia tidak terima dengan pengakuan Abila yang telah tidur dengannya. Daffa diam beberapa lama kemudian memutuskan menelepon saja."Hai, Mas Daffa.
"Mungkin ingin cari suasana baru, Ma," jawab Reza. Walaupun sudah tahu apa alasan Rinjani pindah ke Malang, tapi Reza tidak mungkin menceritakan hal itu pada sang mama. Pemilik klinik Semesta adalah teman baik Reza, jadi dia yang menceritakan latar belakang kehidupan Rinjani dan suaminya saat mereka ngopi seminggu yang lalu.Temannya juga cerita kalau Rinjani sudah menjadi yatim piatu semenjak kelas empat SD. Hidup bersama omnya hingga dia menikah. "Dokter Ratih, temanku yang cerita, Za. Makanya aku ngasih kesempatan kerja di klinikku. Aku memaklumi apa yang dilakukannya saat itu, walaupun di mata hukum tetap saja dia salah. Kasihan, masih muda dan karirnya masih panjang."Apa kurangnya Rinjani, tidak hanya cantik, tapi baik, dan dokter lagi. Perempuan seperti ini masih dikhianati. Wanita seperti apa yang membuat suaminya tega mendua."Za, jangan jatuh hati pada istri orang." Peringatan dari sang mama membuat Reza terkesiap."Nggak mungkin, Ma." Reza tersenyum sambil mengalihkan panda
RINDU YANG TERLUKA - Perempuan Gila"Permisi, Sus. Saya ingin bertemu dokter Rin. Bisa minta tolong untuk dipanggikan sebentar saja?" Daffa menahan seorang perawat yang tergesa keluar dari ruang IGD."Maaf, Pak. Apa Anda ingin periksa?" tanya perawat itu yang memang tidak mengenali siapa Daffa. "Silakan daftar dan mengantri dulu, karena Dokter Rindu sedang sibuk menangani pasien kecelakaan sekarang ini." Selesai menjawab dengan sopan, perawat yang membawa baskom segera berlalu meninggalkannya.Daffa mundur dan duduk di bangku logam yang terasa sangat dingin. Hujan belum ada tanda akan berhenti. Dokter Rindu. Di klinik itu Rinjani dipanggil dokter Rindu?Dokter Rinjani Rindu Fawzia.Jarum jam di tangan Daffa menunjukkan pukul sepuluh malam. Di ruang IGD masih sibuk. Para keluarga pasien berdatangan dalam keadaan panik dan cemas.Sebuah mobil ambulan berhenti tepat di depan pintu IGD. Beberapa perawat membuka pintu mobil dan pintu IGD lebar-lebar. Beberapa pasien di dorong keluar dan m
[Apa maumu, Bil? Kenapa kamu kirim foto penuh fitnah itu pada istriku.][Biar dia tahu kalau suaminya yang begitu hot itu juga meniduri wanita lain. Kenapa, Mas? Kamu takut sekarang. Garang cuman di ranjang, keok di depan bini.][Jaga bicaramu. Kamu benar-benar perempuan tidak tahu malu, Bila. Bisa-bisanya bicara seperti ini. Aku nggak pernah menyentuhmu.][Takut kamu, Mas?][Perempuan gila kamu, Bil.]Daffa meletakkan ponsel dengan kasar di atas meja. Lantas mengusap wajahnya dengan gusar. Tak lama kemudian kembali masuk kamar. Rinjani masih miring menghadap dinding. Daffa perlahan kembali merebahkan diri di belakang istrinya.Keresahan kian merajalela. Takut Rinjani diam-diam mengajukan gugatan cerai atau lebih parahnya lagi melakukan khulu.***L***Semenjak bangun habis salat subuh hingga mempersiapkan sarapan, Rinjani tidak bicara sama sekali. Semua dikerjakan dalam diam. Menyuguhkan secangkir kopi juga tanpa perkataan. Wanita itu hanya berbicara, menjawab pertanyaan Lastri dan No
Ketenangan yang tercipta beberapa minggu ini, kembali terusik oleh pesan semalam. Ia bisa melihat sesalan di tatapan Daffa, tapi jiwanya tidak bisa dibohongi. Sakit itu tetap terasa. Sedangkan Daffa yang masih berdiri di depan pintu, mendengar isak tangis dari dalam. Apakah sudah tertutup hati Rinjani untuk menerimanya kembali? Daffa tidak ingin mengalami sesal dan luka seperti sahabatnya. Kehilangan yang dialami Bre saja bisa ia rasakan, bagaimana jika itu terjadi pada dirinya. Pasti akan lebih terpuruk lagi daripada Bre. Gila mungkin.Rinjani kaget saat keluar mendapati suaminya masih berdiri di depan kamar."Mas, aku berangkat ke klinik." Rinjani menenteng tas ke arah pintu."Mas anterin.""Nggak usah. Aku biasa jalan kaki. Deket banget. Lucu kalau naik mobil," tolak Rinjani seraya memakai sepatunya.Daffa mengambil kunci mobil lantas meraih lengan sang istri. Di rumah sana, Bu Murti yang sedang berjemur di halaman tersenyum ke arahnya. Rinjani mengangguk sebagai balasan. Daffa m
Rasa bahagia sekaligus haru menyelimuti ruang perawatan mamanya Bobby. Pria dengan seragam lapas itu memeluk erat dua putrinya. Air mata tumpah tak terkira. Karena isaknya, sampai menyulitkan untuk bicara.Sang mama yang tergolek di atas brankar tak bisa bergerak selain menangis. Adik Bobby sibuk menghapus air matanya sendiri. Begitu juga dengan Ika. Tidak menyangka jika jalan kehidupan putri-putrinya seperti ini. Reza merangkul sambil mengusap-usap lengan istrinya untuk menenangkan. Ika bukan menangisi Bobby, tapi menangis untuk kedua anaknya.Sedangkan Nasya yang tidak seberapa mengerti, duduk diam di sebelah papanya."Terima kasih banyak, Pak Reza. Sudah menjaga dan membimbing anak-anak saya. Terima kasih. Saya titip mereka." Bobby yang sudah mulai tenang, bicara pada Reza."Jangan khawatir, Pak Bobby. Saya akan menyayangi dan menjaga mereka dengan baik," jawab Reza dengan penuturan sopan dan ramah. Bobby ganti memandang mantan istrinya. "Maafkan kesalahanku. Maafkan keluargaku j
Ika menghela nafas panjang. Pantaslah suara mantan adik iparnya terdengar cemas. Perempuan yang beberapa bulan lalu sempat mencak-mencak dan marah karena sang kakak mendapatkan hukuman lumayan lama, kini melunak. Mungkin sekarang benar-benar merasakan bagaimana kehilangan support dan ATM berjalannya.Selama ini Bobby dan Ika yang mensupport pengobatan wanita itu. Makanya kesehatannya terjaga. Namun mulai drop setelah Bobby masuk penjara dan tidak ada dukungan finansial lagi.Sudah hidup enak karena Ika tidak sayang uang buat mereka, tapi mereka diam-diam malah memberikan dukungan pada Bobby bermain serong. Apa mereka pikir, hidupnya akan jauh lebih baik lagi? Orang tamak akan terperosok pada ketamakannya sendiri."Bagaimana, Ma?" Reza menyentuh pundak sang istri yang masih berdiri di teras rumah.Ika mengajak suaminya duduk. Kemudian menceritakan tentang percakapannya dengan mantan ipar."Sebenarnya ini solusi, Ma. Kalau pihak keluarga Bobby mau mengajukan permohonan supaya Bobby diiz
RINDU YANG TERLUKA- Sehari di Surabaya "Ma, papa nggak ngelarang kamu membawa anak-anak menjenguk papanya. Apapun yang terjadi, nggak ada yang bisa memisahkan darah yang mengalir sama di tubuh mereka. Tapi papa ngasih saran, bisakah diusahakan bertemu selain di penjara?"Malam itu Ika memberitahu sang suami perihal pesan yang dikirim mantan adik iparnya. Tentu Ika harus mendiskusikan bersama Reza untuk mengambil keputusan. "Pikirkan psikologis anak-anak. Selama ini mereka hanya mendengar papanya di penjara dari cerita. Tidak menyaksikan secara langsung. Kalau mereka melihat sendiri, pasti akan menjadi beban mental dan mengusik ketenangan jiwa anak-anak. Terutama Zahra yang sudah besar."Ika mengangguk. Benar yang dikatakan sang suami. Karena dia pun memikirkan hal yang sama."Bobby baru setahun menjalani hukumannya, Pa. Mana mungkin diizinkan keluar sebentar dengan alasan tertentu.""Ada beberapa alasan yang bisa membuat pihak berwenang memberi izin untuk Bobby keluar dalam beberap
"Sudah. Tadi malam Iren ngasih tahu kalau Mas Yansa diopname. Livernya kambuh lagi. Kamu mau nyambangi?""Kayaknya nggak, Mbak. Rin juga lagi sakit.""Sakit apa?""Masuk angin.""Jangan-jangan istrimu hamil lagi?""Nggak. Hanya masuk angin. Beberapa hari ini memang sibuk di klinik sampai malam karena rekannya ada yang cuti. Minggu kemarin, tiga hari Rin juga bolak-balik ke Batu untuk seminar.""Nanti mbak ke rumahmu.""Oke. Kalau gitu aku berangkat dulu, Mbak.""Kamu nyetir sendiri?""Iya. Ibnu sudah berangkat pagi tadi ngantar proposal ke Surabaya."Daffa bangkit dari duduknya. Menyapa sebentar pada Bu Murti yang sedang memetik sayuran di halaman samping, lantas masuk mobil dan pergi.Ika masuk ke dalam rumah dan langsung ke dapur. Sebelum mulai sibuk dengan pekerjaannya, dia selalu menyempatkan untuk membantu memasak. Sambil memotong sayuran, ia teringat dengan sepupunya. Mereka pernah membesar bersama di dalam keluarga besar Joyo Winoto. Itu nama kakek mereka. Disaat masih sekola
"Noval sudah berani tidur sendiri di kamarnya, Mas. Asal sebelum tidur ditemani dulu. Kalau Rachel biar tidur di kamar kita untuk sementara. Setelah dia bisa jalan biar ditemani oleh Mak Sum di kamarnya. Gimana?""Oke," jawab Daffa seraya merapatkan pelukannya. Mereka berdua sedang duduk menyaksikan hujan di luar dari balik jendela kaca."Terima kasih untuk hadiahnya, Mas. Tadi pagi kita buru-buru sampai aku nggak sempat bilang terima kasih." Rinjani berkata sambil menyentuh kalung di lehernya."Apa yang mas berikan tidak seberapa dibandingkan dengan apa yang kamu berikan dalam hidup mas, Rin. Kamu menyempurnakan hidup lelaki yang tidak sempurna ini. "Kamu memberikan gelar lelaki br*ngsek ini sebagai seorang ayah. Memberikan kesempatan disaat kesalahan mas teramat fatal. Maaf, untuk semua kesalahan kemarin. Mas bangga memilikimu.""Nggak usah diingat lagi. Kita sudah melangkah sejauh ini. Yang lalu biarlah berlalu. Kita berjuang untuk masa depan keluarga kecil kita. Tapi sekali lagi
RINDU YANG TERLUKA - Biarlah Berlalu Kejutan macam apa ini. Daffa malah sukses membuat Rinjani kelabakan dan tergesa-gesa ke klinik dengan rambut yang belum kering. Dan jadi pusat perhatian, karena belum pernah ia datang ke klinik dengan rambut seperti ini.Mau marah, tapi ini hari ulang tahunnya. Mau marah, tapi Daffa seromantis itu. Ah, sejak dulu sebenarnya Daffa memang sangat romantis meski kemauannya tidak bisa dibantah. Bahkan di tengah perselingkuhannya, Daffa tetap romantis plus egois.Rinjani menghela nafas lalu duduk di kursinya. Meraba kalung berlian di balik kerah bajunya. Daffa yang memakaikannya sesaat sebelum pria itu membawanya terbang ke nirwana."Ini harus dipakai. Nggak mengganggu aktivitasmu, kan?"Sekarang hadiah istimewa itu melingkar dan di sembunyikan di balik kerah baju. Rinjani selalu memakai baju dengan kerah yang menutupi leher jenjangnya."Nanti malam kita dinner dan nginap di Batu," kata Daffa sebelum Rinjani turun dari mobil saat di antar tadi. Jarak
Netra Bu Murti berkaca-kaca saat diberitahu kalau Ika sedang hamil. Bibirnya yang bergetar mengucap syukur berulang kali. Reza, Ika, dan anak-anak sampai di Pujon sudah jam sembilan malam. Reza langsung ke kamar sang mama untuk membagikan kabar gembira."Jaga Ika baik-baik. Jangan biarkan dia melakukan pekerjaan rumah. Biar anak-anak di urus ART. Kamu juga harus tirakat."Kata terakhir yang diucapkan Bu Murti, bagi Reza tidak menjadi masalah. Dia sudah terbiasa mengatasi kesendiriannya hampir lima tahun setelah mamanya Nasya meninggal. "Ika akan bekerja dari rumah, Ma. Jadi dia nggak akan ngantor lagi.""Syukurlah. Segera ajak Ika periksa ke dokter.""Besok kami pergi periksa. Jadwalku ke kampus kebetulan siang.""Ya sudah. Kamu istirahat sana."Reza mengusap punggung mamanya. Kemudian beranjak meninggalkan kamar itu.***L***Satu bulan kemudian ...."Tri, tinggalin aja. Kamu ke depan sana. Kamu ini pengantin baru, nggak usah ikutan beres-beres," tegur Mak Sum menghampiri Lastri yan
Usai makan siang, Daffa mengajak istri dan anaknya pulang ke Malang. Sedangkan Ika dan Reza memutuskan pulang sorenya. Sebab Reza masih ada acara ketemuan dengan temannya di Surabaya.Daffa singgah di Batu. Bertemu Bre di sebuah kafe. Kehadiran Noval agak mengobati kerinduannya pada Alvian. Sudah lama dia tidak bertemu dengan anak Alan dan Livia itu.Bre juga mengendong baby Rachel."Nggak pengen kamu punya boneka hidup seperti ini?" tanya Daffa menghampiri Bre yang membopong Rachel di balkon kafe.Bre tersenyum. "Aku sudah cukup bahagia melihat kamu bisa kembali bersama dengan Rin. Memiliki anak-anak yang tampan dan cantik. Aku juga bahagia melihat Livia bahagia. Biar aku menjalani hidup yang aku pilih.""Sebeku itu hatimu?"Bre diam. Daffa juga diam. Mereka memperhatikan pemandangan di kejauhan yang mulai berselimut kabut. Entah sudah berapa kali Daffa memberikan semangat pada sahabatnya, tapi tampaknya sia-sia. Bre keukeh dengan keputusannya."Mbak Ika juga lagi hamil." "Oh ya?""
RINDU YANG TERLUKA - Romantis "Tekanan darah Mbak Ika menurun, detak jantung meningkat. Ini salah satu tanda stres. Tapi aku yakin Mbak Ika nggak sedang dalam tekanan. Mbak dan Pak Reza sangat bahagia. Kata Mas Daffa pekerjaan juga baik-baik saja. Jadi aku yakin kalau Mbak Ika pasti sedang hamil ini," kata Rinjani setelah melakukan pemeriksaan pada kakak iparnya. Meski sebagai dokter umum, Rinjani memiliki kompetensi ANC (Antenatal Care). Pemeriksaan kehamilan secara umum.Ika bangun dari pembaringan. "Mbak emang udah telat datang bulan, Rin. Sudah sepuluh hari ini.""Kenapa Mbak nggak melakukan testpack?""Nggak, karena mbak takut kecewa lagi. Bulan-bulan kemarin kalau telat haid Mbak langsung test tapi hasilnya negatif. Makanya kali ini Mbak biarin.""Coba cek, Mbak. Aku yakin Mbak Ika lagi hamil ini.""Nanti Mbak beli testpack. Yuk, kita keluar."Ika dan Rinjani melangkah keluar kamar. Di depan pintu sudah ada Reza yang menunggu. Dia tadi khawatir kenapa istri dan iparnya masuk k