Bu Tiwi menceritakan peristiwa di hotel Jogjakarta beberapa bulan lalu seperti cerita yang dipaparkan Abila tadi. Makin membuat Daffa terperanjat. Abila benar-benar sudah berada di luar kendali. "Apa benar yang diceritakan gadis itu?" tanya Bu Tiwi menahan geram dengan netra berkaca-kaca."Dia bohong, Ma. Aku nggak mungkin melakukannya dalam keadaan terkapar. Setidaknya setelah sadar aku pasti menemukan kejanggalan, tapi aku tidak menemukan bukti apapun. Jangan percaya pengakuan gadis itu," elak Daffa tidak terima."Ada-ada saja kamu, Daf. Setelah menikah mama pikir kamu berhenti," tangis Bu Tiwi pecah."Maaf, Ma. Percayalah kalau aku tidak melakukannya. Gadis itu ingin menjebakku."Bu Tiwi menghapus air mata dan menarik napas dalam-dalam. "Bagaimana mama mempercayaimu lagi. Gadis itu menangis-nangis tadi.""Aku yakin nggak ngelakuin itu ke Bila." Daffa frustasi. Kembali mengingat pagi hari di kamar hotel saat itu. Andai kesadarannya benar-benar pulih, harusnya dia mencari bukti atas
RINDU YANG TERLUKA- Luruhnya Sang Casanova Daffa membaca surat lamaran kerja yang terdiri dari empat paragraf itu. Padat, jelas, dan menarik. Dari surat itu dia tahu alamat lengkap di mana Rinjani akan bekerja. Klinik Semesta yang ada di kota Pujon, Malang.Dia juga memperhatikan CV yang dilampirkan, termasuk membaca dengan teliti surat izin dari suami yang butuh tanda tangannya."Baru setengah jam yang lalu aku selesai mengetiknya, Mas. Kami sampai Surabaya jam sepuluh pagi tadi.""Di Surabaya klinik ini juga ada. Kenapa pilih Malang?""Aku ingin mencari suasana baru. Di pinggiran yang jauh dari keramaian. Noval akan ikut denganku. Tapi sewaktu-waktu Mas bisa menjemputnya. Aku nggak mau bersengketa soal anak. Biarlah dia merasakan mendapat perhatian yang lengkap meski kita ... berpisah.""Bisa nggak, jangan ngomong soal perpisahan terus. Mas nggak bakalan nyerein kamu." Daffa mulai sakit kepala mendengar ucapan istrinya."Tanda tangani dulu!" Rinjani menggeser pulpen di hadapan sua
Azan Maghrib berkumandang dari toa masjid yang tidak jauh dari rumah Pak Haslam. "Mas, sudah maghrib. Salat dulu. Jangan bolong-bolong lagi ibadahnya. Marilah kita memulai memperbaiki diri. Bukan untuk siapa-siapa, ibadah itu untuk diri kita sendiri. Cara menjaga hubungan kita dengan Tuhan." Rinjani mengingatkan.Pada saat itu Pak Haslam keluar rumah sambil membawa sajadah di pundak. Bu Mila yang sudah memakai mukena menyusul di belakangnya. Daffa mencium tangan laki-laki itu. "Om, mau ke mushola. Nak Daffa mau ikut atau sholat di rumah?""Saya numpang sholat di sini saja, Om," jawab Daffa."Rin, kamu siapkan sajadah dan tempat sholat untuk suamimu." Bu Mila berkata pada Rinjani.Setelah om dan tantenya pergi ke masjid, Rinjani mengajak Daffa masuk rumah. Mengantarkan lelaki itu untuk wudhu di belakang. Saat itu Noval sedang menonton televisi ditemani oleh Lastri. "Nanti malam papa bobok di sini juga, ya. Noval kangen sama papa." Perkataan polos si kecil ketika Daffa menghampiri."Bo
Daffa hendak merengkuh istrinya tapi Rinjani segera melangkah keluar kamar. Tidak lama kemudian terdengar ucapan salam dari Pak Haslam dan Bu Mila yang baru pulang dari masjid.Malam itu mereka makan bersama. Ngobrol seperti biasa tanpa menyinggung segala perkara yang terjadi. Noval tidak mau lepas dari pangkuan papanya setelah seminggu tidak bertemu. Membuat perasaan Rinjani kembali bercelaru. Seminggu di kampung besannya Pak Haslam, Noval sibuk juga bertanya tentang papanya. Berulang kali memintanya supaya menelepon Daffa, tapi signal sangat tidak mendukung di sana. Dan Noval bisa dibujuk."Daffa keliatan nyesel banget, Rin. Dia benar-benar merasa kehilangan kalian," ujar Bu Mila ketika Rinjani membantu mencuci perkakas di dapur."Buaya kan begitu, Tante.""Jangan salah, Rin. Buaya itu hanya memiliki satu pasangan dalam hidupnya. Setia pada satu betina.""Itu buaya di air, Tan. Beda sama buaya darat."Bu Mila tersenyum geli mendengar perkataan keponakannya. "Rinjani, kamu bisa saja
RINDU YANG TERLUKA - Tempat Baru Ponsel Daffa berdering. Ada apa papanya menelepon jam sebelas malam begini. Apa terjadi sesuatu. Daffa bangun dari duduknya dengan perasaan khawatir. Siapa tahu Abila nekat membuat kekacauan yang lebih parah lagi dengan menemui papanya."Halo, Pa.""Kamu belum tidur?""Belum. Ada apa, Pa?""Ada yang ingin papa bicarakan sama kamu. Datang ke rumah, papa tunggu."Ponsel dimatikan. Daffa diam untuk beberapa saat. Sifat pemaksa sang papa sebenarnya tidak jauh dari karakternya sendiri. Kadang dirinya juga jengkel kalau diwajibkan pergi dalam kondisi tidak tahu waktu begini.Daffa bangkit dengan malas dan kembali memakai jaketnya. Saat keluar rumah ia tidak membangunkan Mak Sum. Kasihan, pasti sedang nyenyaknya tidur sekarang ini.Mobil melaju kencang membelah malam yang lumayan lengang.Suasana ruang tamu rumah orang tuanya masih terang benderang saat Daffa sampai. Papa dan mamanya masih menunggu di temani dua cangkir teh panas di atas meja. Tampaknya ada
"Aku nggak akan nyerein Rin apapun yang terjadi, Ma." Daffa berhenti sejenak lantas memandang sang papa. "Pa, aku sudah menyetujui dan menandatangani surat izin Rin kembali bekerja. Aku pikir, kami memang butuh waktu untuk saling introspeksi diri. Aku nggak nyalahin Rin kalau begitu susahnya mempercayaiku lagi. Tapi aku akan terus mencoba untuk merebut hatinya kembali."Jadi aku sangat memohon pengertian papa dan mama, agar tidak menahan Noval. Aku akan carikan tempat tinggal yang aman dan nyaman di Malang. Ada Lastri juga yang bersama mereka untuk menjaga Noval. Rin juga tetap memberikan kesempatan kita bisa bertemu Noval. "Setelah apa yang terjadi, tentunya Rin tidak nyaman lagi berkarir di Surabaya. Nanti aku yang akan bolak-balik Surabaya-Malang.""Kamu pikir itu nggak nyita waktu?" sergah Pak Farhan. "Kita bisa mencarikan pekerjaan untuk istrimu itu supaya tetap di Surabaya.""Pa, aku tidak bisa memaksakan kehendak. Aku yang salah. Rin tidak nyaman lagi di kota ini apalagi Abila
Daffa meraih pinggang istrinya hingga mereka melekat. "Kita bermalam di sini, besok pagi baru kita jemput Noval terus ke rumah Om untuk pamitan."Rinjani berusaha melepaskan tangan Daffa yang melingkari pinggangnya. Namun tetap tidak semudah itu bisa lepas. Apalagi tatapan tajam yang penuh gelora itu seolah hendak menerkamnya bulat-bulat."Kekasihmu mengirimkan pesan padaku kemarin pagi."Netra Daffa menyipit karena kaget. Abila benar-benar nekat. "Jangan gunakan sebutan itu.""Oh, aku lupa. Gadis kesayanganmu menghubungiku ngajak ketemuan."Wajah Daffa memerah. Ia mengalihkan pandangan. Rinjani benar-benar mengujinya dengan segala sebutan yang sengaja untuk menyindirnya."Dari mana dia tahu nomer teleponmu?""Mana aku tahu. Bisa jadi melihat dari ponsel Mas saat kalian berkencan.""Aku sudah memutuskan meninggalkan kota ini untuk membuka lembaran baru di tempat baru. Dengan Abila atau dengan siapapun Mas nanti akan menjadikannya pelabuhan terakhir, tetap jalin komunikasi yang baik de
RINDU YANG TERLUKA - Kangen "Tri, ibu mana?" tanya Daffa dengan gusar. Sejak tadi teleponnya tidak dijawab oleh Rinjani. Padahal istrinya sudah pulang dari klinik."Ibu lagi meriksa Bu Murti, Pak. Mendadak beliau sakit dan Pak Reza minta tolong Bu Dokter untuk memeriksa."Daffa berdecak lirih. Gimana dia mau marah. Istrinya kan dokter. Tahu kan tugas dokter itu apa. Jadi tidak mungkin Daffa mencak-mencak karena cemburu. Padahal rupa pria tetangga itu seperti apa, Daffa belum melihatnya."Noval mana?""Mas Noval ikut, Pak.""Ya, sudah." Daffa meletakkan ponsel dengan kasar di sebelahnya. Semenjak kembali dari Malang. Drama banget perasaannya. Cemburu, cemas, takut, jungkir balik pokoknya. Seminggu yang meresahkan dan tidak tenang.Duda sebelah rumah membuatnya kalang kabut. Muhammad Reza Yusuf begitu Lastri memberitahu namanya dua hari yang lalu. Apa orangnya juga setampan namanya? Nabi Yusuf yang memiliki ketampanan seperempat jagat. Apa dia mendapatkan cipratan yang lebih banyak d