"Mas akui memang salah. Tapi urusan tempat tidur, mas hanya melakukannya denganmu. Yang dikatakan Bila itu omong kosong. Dia hanya ingin menjerat mas dengan pengakuan palsu itu.""Apapun bentuk hubungan kalian, hanya sekedar rekan bisnis, teman jalan atau makan, tapi itu sudah menyakitkan bagiku, Mas. Setidaknya kamu telah berbagi waktu dan bermesraan dengan perempuan lain." Selesai bicara Rinjani bangkit dari duduknya. Mengambil keranjang baju kotor."Izinkan aku bekerja, Mas. Aku juga ingin melanjutkan dan menata hidupku."Daffa menahan lengan Rinjani. "Bekerja di mana?""Jauh dari kota ini, jauh dari kehidupanmu," jawab Rinjani sambil mengusap air matanya. Kemudian bergegas keluar kamar.Daffa menarik simpul dasinya dan melepaskan benda itu. Sudah hilang semangatnya untuk berangkat ke kantor. Ponsel di saku celananya terus bergetar dan ia tidak peduli. Padahal siang ini ada meeting penting di kantor.Harusnya ia tidak terlena dengan tatapan memuja dari Abila. Ketertarikan terang-te
Rinjani yang masih di sana, mengambil dasi milik sang suami yang jatuh di lantai. Kemudian membenahi kerah dan kancing kemeja suaminya. "Pergilah ke kantor. Apapun yang terjadi di antara kita, jangan mengabaikan tanggungjawab pada pekerjaanmu, Mas. Noval butuh ayah yang kuat dan hebat," ujar Rinjani seraya kembali memakaikan dasi.Daffa justru memeluk istrinya."Marilah kita selesaikan permasalahan kita dengan kepala dingin," lanjut Rinjani sambil berusaha melepaskan tangan suaminya.Kepala dingin bagaimana? Apa ia harus menyetujui perpisahan yang diinginkan Rinjani."Mungkin saling menjauh untuk sementara adalah keputusan yang tepat, Mas. Setelah urusanku wajib lapor selesai, izinkan aku bekerja. Kita sama-sama menata hati dan saling introspeksi diri."Keduanya saling pandang."Mas akan memberimu waktu untuk sendirian. Tapi bukan berarti kita akan berpisah," jawab Daffa.Beberapa saat terdiam, akhirnya Rinjani mengangguk pelan. Hendak 'ngotot' sekuat mana, ia belum tentu menang dari
RINDU YANG TERLUKA- Seminggu dalam SepiMobil Rinjani yang masih berada di garasi membuat Daffa agak lega. Namun ia segera turun dan melangkah lebar masuk ke dalam rumah. Perasaannya tak enak saat ia melewati pintu utama. Sepi. Biasa ada suara kartun dari ruang keluarga, terdengar tawa renyah Noval yang terkekeh melihat kelucuan tokoh animasi kegemarannya.Benar. Hingga ia masuk ruang tengah tidak ada bocah lelaki yang berlari menyambut dan memeluknya seperti biasa. Jam berapa pun dia sampai rumah, Noval akan selalu menunggunya. Terlebih saat Rinjani masih di tahanan, Noval tidak mau lepas darinya. Malah duduk di ruang tamu untuk menunggunya pulang.Ini pertama kalinya Daffa mulai asing dengan kondisi yang berbeda."Ibu mana, Mak?" Daffa bertanya pada Mak Sum yang muncul dari ruang makan."Ibu sama Mas Noval pergi jam empat tadi, Pak," jawab wanita tua itu dengan canggung. Jam empat? Berarti baru satu jam yang lalu karena sekarang sudah jam lima sore. "Lastri ikut?""Njih.""Naik
"Sebaiknya kamu temui gadis itu dan ajak bicara baik-baik. Katakan kalau kamu memang nggak mungkin bisa sama dia karena kamu punya istri dan anak," saran Teddy siang itu saat mereka berdua tengah break makan siang di halaman kafe tak jauh dari kantor mereka. "Aku nggak mungkin nemui Bila. Dia bisa saja manfaatin pertemuan kami dan makin menambah runyam keadaan," jawab Daffa sambil menatap langit siang yang terik."Dia itu terobsesi banget sama kamu. Perempuan mana yang bisa menolak pesona Daffa Prasetya Bhakti, S.E., M.E. Ingat nggak sama mantanmu yang nangis kejer di hari pernikahanmu dengan Rin waktu itu. Padahal dia mantan waktu kamu masih S1, kan. Wih, masih segitunya cinta sama kamu.""Berhentilah mengejek, Ted," sergah Daffa.Teddy menyodorkan rokok pada sepupunya. Daffa hanya melirik sekilas. "Nggak pengen nyoba lagi? Lumayan untuk meredakan ketegangan. Rin juga nggak bakalan tahu." Teddy tersenyum sambil menyalakan rokok. Memang sengaja untuk menggoda sepupunya.Daffa menarik
Bu Tiwi menceritakan peristiwa di hotel Jogjakarta beberapa bulan lalu seperti cerita yang dipaparkan Abila tadi. Makin membuat Daffa terperanjat. Abila benar-benar sudah berada di luar kendali. "Apa benar yang diceritakan gadis itu?" tanya Bu Tiwi menahan geram dengan netra berkaca-kaca."Dia bohong, Ma. Aku nggak mungkin melakukannya dalam keadaan terkapar. Setidaknya setelah sadar aku pasti menemukan kejanggalan, tapi aku tidak menemukan bukti apapun. Jangan percaya pengakuan gadis itu," elak Daffa tidak terima."Ada-ada saja kamu, Daf. Setelah menikah mama pikir kamu berhenti," tangis Bu Tiwi pecah."Maaf, Ma. Percayalah kalau aku tidak melakukannya. Gadis itu ingin menjebakku."Bu Tiwi menghapus air mata dan menarik napas dalam-dalam. "Bagaimana mama mempercayaimu lagi. Gadis itu menangis-nangis tadi.""Aku yakin nggak ngelakuin itu ke Bila." Daffa frustasi. Kembali mengingat pagi hari di kamar hotel saat itu. Andai kesadarannya benar-benar pulih, harusnya dia mencari bukti atas
RINDU YANG TERLUKA- Luruhnya Sang Casanova Daffa membaca surat lamaran kerja yang terdiri dari empat paragraf itu. Padat, jelas, dan menarik. Dari surat itu dia tahu alamat lengkap di mana Rinjani akan bekerja. Klinik Semesta yang ada di kota Pujon, Malang.Dia juga memperhatikan CV yang dilampirkan, termasuk membaca dengan teliti surat izin dari suami yang butuh tanda tangannya."Baru setengah jam yang lalu aku selesai mengetiknya, Mas. Kami sampai Surabaya jam sepuluh pagi tadi.""Di Surabaya klinik ini juga ada. Kenapa pilih Malang?""Aku ingin mencari suasana baru. Di pinggiran yang jauh dari keramaian. Noval akan ikut denganku. Tapi sewaktu-waktu Mas bisa menjemputnya. Aku nggak mau bersengketa soal anak. Biarlah dia merasakan mendapat perhatian yang lengkap meski kita ... berpisah.""Bisa nggak, jangan ngomong soal perpisahan terus. Mas nggak bakalan nyerein kamu." Daffa mulai sakit kepala mendengar ucapan istrinya."Tanda tangani dulu!" Rinjani menggeser pulpen di hadapan sua
Azan Maghrib berkumandang dari toa masjid yang tidak jauh dari rumah Pak Haslam. "Mas, sudah maghrib. Salat dulu. Jangan bolong-bolong lagi ibadahnya. Marilah kita memulai memperbaiki diri. Bukan untuk siapa-siapa, ibadah itu untuk diri kita sendiri. Cara menjaga hubungan kita dengan Tuhan." Rinjani mengingatkan.Pada saat itu Pak Haslam keluar rumah sambil membawa sajadah di pundak. Bu Mila yang sudah memakai mukena menyusul di belakangnya. Daffa mencium tangan laki-laki itu. "Om, mau ke mushola. Nak Daffa mau ikut atau sholat di rumah?""Saya numpang sholat di sini saja, Om," jawab Daffa."Rin, kamu siapkan sajadah dan tempat sholat untuk suamimu." Bu Mila berkata pada Rinjani.Setelah om dan tantenya pergi ke masjid, Rinjani mengajak Daffa masuk rumah. Mengantarkan lelaki itu untuk wudhu di belakang. Saat itu Noval sedang menonton televisi ditemani oleh Lastri. "Nanti malam papa bobok di sini juga, ya. Noval kangen sama papa." Perkataan polos si kecil ketika Daffa menghampiri."Bo
Daffa hendak merengkuh istrinya tapi Rinjani segera melangkah keluar kamar. Tidak lama kemudian terdengar ucapan salam dari Pak Haslam dan Bu Mila yang baru pulang dari masjid.Malam itu mereka makan bersama. Ngobrol seperti biasa tanpa menyinggung segala perkara yang terjadi. Noval tidak mau lepas dari pangkuan papanya setelah seminggu tidak bertemu. Membuat perasaan Rinjani kembali bercelaru. Seminggu di kampung besannya Pak Haslam, Noval sibuk juga bertanya tentang papanya. Berulang kali memintanya supaya menelepon Daffa, tapi signal sangat tidak mendukung di sana. Dan Noval bisa dibujuk."Daffa keliatan nyesel banget, Rin. Dia benar-benar merasa kehilangan kalian," ujar Bu Mila ketika Rinjani membantu mencuci perkakas di dapur."Buaya kan begitu, Tante.""Jangan salah, Rin. Buaya itu hanya memiliki satu pasangan dalam hidupnya. Setia pada satu betina.""Itu buaya di air, Tan. Beda sama buaya darat."Bu Mila tersenyum geli mendengar perkataan keponakannya. "Rinjani, kamu bisa saja
Rasa bahagia sekaligus haru menyelimuti ruang perawatan mamanya Bobby. Pria dengan seragam lapas itu memeluk erat dua putrinya. Air mata tumpah tak terkira. Karena isaknya, sampai menyulitkan untuk bicara.Sang mama yang tergolek di atas brankar tak bisa bergerak selain menangis. Adik Bobby sibuk menghapus air matanya sendiri. Begitu juga dengan Ika. Tidak menyangka jika jalan kehidupan putri-putrinya seperti ini. Reza merangkul sambil mengusap-usap lengan istrinya untuk menenangkan. Ika bukan menangisi Bobby, tapi menangis untuk kedua anaknya.Sedangkan Nasya yang tidak seberapa mengerti, duduk diam di sebelah papanya."Terima kasih banyak, Pak Reza. Sudah menjaga dan membimbing anak-anak saya. Terima kasih. Saya titip mereka." Bobby yang sudah mulai tenang, bicara pada Reza."Jangan khawatir, Pak Bobby. Saya akan menyayangi dan menjaga mereka dengan baik," jawab Reza dengan penuturan sopan dan ramah. Bobby ganti memandang mantan istrinya. "Maafkan kesalahanku. Maafkan keluargaku j
Ika menghela nafas panjang. Pantaslah suara mantan adik iparnya terdengar cemas. Perempuan yang beberapa bulan lalu sempat mencak-mencak dan marah karena sang kakak mendapatkan hukuman lumayan lama, kini melunak. Mungkin sekarang benar-benar merasakan bagaimana kehilangan support dan ATM berjalannya.Selama ini Bobby dan Ika yang mensupport pengobatan wanita itu. Makanya kesehatannya terjaga. Namun mulai drop setelah Bobby masuk penjara dan tidak ada dukungan finansial lagi.Sudah hidup enak karena Ika tidak sayang uang buat mereka, tapi mereka diam-diam malah memberikan dukungan pada Bobby bermain serong. Apa mereka pikir, hidupnya akan jauh lebih baik lagi? Orang tamak akan terperosok pada ketamakannya sendiri."Bagaimana, Ma?" Reza menyentuh pundak sang istri yang masih berdiri di teras rumah.Ika mengajak suaminya duduk. Kemudian menceritakan tentang percakapannya dengan mantan ipar."Sebenarnya ini solusi, Ma. Kalau pihak keluarga Bobby mau mengajukan permohonan supaya Bobby diiz
RINDU YANG TERLUKA- Sehari di Surabaya "Ma, papa nggak ngelarang kamu membawa anak-anak menjenguk papanya. Apapun yang terjadi, nggak ada yang bisa memisahkan darah yang mengalir sama di tubuh mereka. Tapi papa ngasih saran, bisakah diusahakan bertemu selain di penjara?"Malam itu Ika memberitahu sang suami perihal pesan yang dikirim mantan adik iparnya. Tentu Ika harus mendiskusikan bersama Reza untuk mengambil keputusan. "Pikirkan psikologis anak-anak. Selama ini mereka hanya mendengar papanya di penjara dari cerita. Tidak menyaksikan secara langsung. Kalau mereka melihat sendiri, pasti akan menjadi beban mental dan mengusik ketenangan jiwa anak-anak. Terutama Zahra yang sudah besar."Ika mengangguk. Benar yang dikatakan sang suami. Karena dia pun memikirkan hal yang sama."Bobby baru setahun menjalani hukumannya, Pa. Mana mungkin diizinkan keluar sebentar dengan alasan tertentu.""Ada beberapa alasan yang bisa membuat pihak berwenang memberi izin untuk Bobby keluar dalam beberap
"Sudah. Tadi malam Iren ngasih tahu kalau Mas Yansa diopname. Livernya kambuh lagi. Kamu mau nyambangi?""Kayaknya nggak, Mbak. Rin juga lagi sakit.""Sakit apa?""Masuk angin.""Jangan-jangan istrimu hamil lagi?""Nggak. Hanya masuk angin. Beberapa hari ini memang sibuk di klinik sampai malam karena rekannya ada yang cuti. Minggu kemarin, tiga hari Rin juga bolak-balik ke Batu untuk seminar.""Nanti mbak ke rumahmu.""Oke. Kalau gitu aku berangkat dulu, Mbak.""Kamu nyetir sendiri?""Iya. Ibnu sudah berangkat pagi tadi ngantar proposal ke Surabaya."Daffa bangkit dari duduknya. Menyapa sebentar pada Bu Murti yang sedang memetik sayuran di halaman samping, lantas masuk mobil dan pergi.Ika masuk ke dalam rumah dan langsung ke dapur. Sebelum mulai sibuk dengan pekerjaannya, dia selalu menyempatkan untuk membantu memasak. Sambil memotong sayuran, ia teringat dengan sepupunya. Mereka pernah membesar bersama di dalam keluarga besar Joyo Winoto. Itu nama kakek mereka. Disaat masih sekola
"Noval sudah berani tidur sendiri di kamarnya, Mas. Asal sebelum tidur ditemani dulu. Kalau Rachel biar tidur di kamar kita untuk sementara. Setelah dia bisa jalan biar ditemani oleh Mak Sum di kamarnya. Gimana?""Oke," jawab Daffa seraya merapatkan pelukannya. Mereka berdua sedang duduk menyaksikan hujan di luar dari balik jendela kaca."Terima kasih untuk hadiahnya, Mas. Tadi pagi kita buru-buru sampai aku nggak sempat bilang terima kasih." Rinjani berkata sambil menyentuh kalung di lehernya."Apa yang mas berikan tidak seberapa dibandingkan dengan apa yang kamu berikan dalam hidup mas, Rin. Kamu menyempurnakan hidup lelaki yang tidak sempurna ini. "Kamu memberikan gelar lelaki br*ngsek ini sebagai seorang ayah. Memberikan kesempatan disaat kesalahan mas teramat fatal. Maaf, untuk semua kesalahan kemarin. Mas bangga memilikimu.""Nggak usah diingat lagi. Kita sudah melangkah sejauh ini. Yang lalu biarlah berlalu. Kita berjuang untuk masa depan keluarga kecil kita. Tapi sekali lagi
RINDU YANG TERLUKA - Biarlah Berlalu Kejutan macam apa ini. Daffa malah sukses membuat Rinjani kelabakan dan tergesa-gesa ke klinik dengan rambut yang belum kering. Dan jadi pusat perhatian, karena belum pernah ia datang ke klinik dengan rambut seperti ini.Mau marah, tapi ini hari ulang tahunnya. Mau marah, tapi Daffa seromantis itu. Ah, sejak dulu sebenarnya Daffa memang sangat romantis meski kemauannya tidak bisa dibantah. Bahkan di tengah perselingkuhannya, Daffa tetap romantis plus egois.Rinjani menghela nafas lalu duduk di kursinya. Meraba kalung berlian di balik kerah bajunya. Daffa yang memakaikannya sesaat sebelum pria itu membawanya terbang ke nirwana."Ini harus dipakai. Nggak mengganggu aktivitasmu, kan?"Sekarang hadiah istimewa itu melingkar dan di sembunyikan di balik kerah baju. Rinjani selalu memakai baju dengan kerah yang menutupi leher jenjangnya."Nanti malam kita dinner dan nginap di Batu," kata Daffa sebelum Rinjani turun dari mobil saat di antar tadi. Jarak
Netra Bu Murti berkaca-kaca saat diberitahu kalau Ika sedang hamil. Bibirnya yang bergetar mengucap syukur berulang kali. Reza, Ika, dan anak-anak sampai di Pujon sudah jam sembilan malam. Reza langsung ke kamar sang mama untuk membagikan kabar gembira."Jaga Ika baik-baik. Jangan biarkan dia melakukan pekerjaan rumah. Biar anak-anak di urus ART. Kamu juga harus tirakat."Kata terakhir yang diucapkan Bu Murti, bagi Reza tidak menjadi masalah. Dia sudah terbiasa mengatasi kesendiriannya hampir lima tahun setelah mamanya Nasya meninggal. "Ika akan bekerja dari rumah, Ma. Jadi dia nggak akan ngantor lagi.""Syukurlah. Segera ajak Ika periksa ke dokter.""Besok kami pergi periksa. Jadwalku ke kampus kebetulan siang.""Ya sudah. Kamu istirahat sana."Reza mengusap punggung mamanya. Kemudian beranjak meninggalkan kamar itu.***L***Satu bulan kemudian ...."Tri, tinggalin aja. Kamu ke depan sana. Kamu ini pengantin baru, nggak usah ikutan beres-beres," tegur Mak Sum menghampiri Lastri yan
Usai makan siang, Daffa mengajak istri dan anaknya pulang ke Malang. Sedangkan Ika dan Reza memutuskan pulang sorenya. Sebab Reza masih ada acara ketemuan dengan temannya di Surabaya.Daffa singgah di Batu. Bertemu Bre di sebuah kafe. Kehadiran Noval agak mengobati kerinduannya pada Alvian. Sudah lama dia tidak bertemu dengan anak Alan dan Livia itu.Bre juga mengendong baby Rachel."Nggak pengen kamu punya boneka hidup seperti ini?" tanya Daffa menghampiri Bre yang membopong Rachel di balkon kafe.Bre tersenyum. "Aku sudah cukup bahagia melihat kamu bisa kembali bersama dengan Rin. Memiliki anak-anak yang tampan dan cantik. Aku juga bahagia melihat Livia bahagia. Biar aku menjalani hidup yang aku pilih.""Sebeku itu hatimu?"Bre diam. Daffa juga diam. Mereka memperhatikan pemandangan di kejauhan yang mulai berselimut kabut. Entah sudah berapa kali Daffa memberikan semangat pada sahabatnya, tapi tampaknya sia-sia. Bre keukeh dengan keputusannya."Mbak Ika juga lagi hamil." "Oh ya?""
RINDU YANG TERLUKA - Romantis "Tekanan darah Mbak Ika menurun, detak jantung meningkat. Ini salah satu tanda stres. Tapi aku yakin Mbak Ika nggak sedang dalam tekanan. Mbak dan Pak Reza sangat bahagia. Kata Mas Daffa pekerjaan juga baik-baik saja. Jadi aku yakin kalau Mbak Ika pasti sedang hamil ini," kata Rinjani setelah melakukan pemeriksaan pada kakak iparnya. Meski sebagai dokter umum, Rinjani memiliki kompetensi ANC (Antenatal Care). Pemeriksaan kehamilan secara umum.Ika bangun dari pembaringan. "Mbak emang udah telat datang bulan, Rin. Sudah sepuluh hari ini.""Kenapa Mbak nggak melakukan testpack?""Nggak, karena mbak takut kecewa lagi. Bulan-bulan kemarin kalau telat haid Mbak langsung test tapi hasilnya negatif. Makanya kali ini Mbak biarin.""Coba cek, Mbak. Aku yakin Mbak Ika lagi hamil ini.""Nanti Mbak beli testpack. Yuk, kita keluar."Ika dan Rinjani melangkah keluar kamar. Di depan pintu sudah ada Reza yang menunggu. Dia tadi khawatir kenapa istri dan iparnya masuk k