RINDU YANG TERLUKA- Pengakuan "Kerja di mana?""Nanti Mas akan tahu sendiri.""Kamu perlu izinku untuk kembali bekerja, Rin."Rinjani memandang Daffa yang berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Memang benar. Untuk bekerja dia harus mendapatkan tanda tangan sebagai persyaratan formalitas izin dari suami."Apa Mas akan menghalangi langkahku? Kita akan berpisah, Mas. Tolonglah jangan persulit gerakku. Kita berpisah secara baik-baik. Aku juga harus kembali bekerja untuk ... untuk life after breakup.""Sudah mas bilang kalau kita nggak akan bercerai." Daffa kalut. Setiap kali berbicara tentang perpisahan, Daffa mendadak stres."Jangan egois, Mas. Perempuanmu itu berapa kali chat ke kamu dalam beberapa hari ini setelah dia kembali dari rumah sakit. Dia benar-benar mengacaukan hidupku. Kalau dia menginginkanmu, aku sudah rela melepasmu." Netra Rinjani berkaca-kaca."Tapi tidak denganku. Sampai kapanpun kita nggak akan bercerai. Abila itu sakit jiwa.""Setelah ketahuan
"Mas akui memang salah. Tapi urusan tempat tidur, mas hanya melakukannya denganmu. Yang dikatakan Bila itu omong kosong. Dia hanya ingin menjerat mas dengan pengakuan palsu itu.""Apapun bentuk hubungan kalian, hanya sekedar rekan bisnis, teman jalan atau makan, tapi itu sudah menyakitkan bagiku, Mas. Setidaknya kamu telah berbagi waktu dan bermesraan dengan perempuan lain." Selesai bicara Rinjani bangkit dari duduknya. Mengambil keranjang baju kotor."Izinkan aku bekerja, Mas. Aku juga ingin melanjutkan dan menata hidupku."Daffa menahan lengan Rinjani. "Bekerja di mana?""Jauh dari kota ini, jauh dari kehidupanmu," jawab Rinjani sambil mengusap air matanya. Kemudian bergegas keluar kamar.Daffa menarik simpul dasinya dan melepaskan benda itu. Sudah hilang semangatnya untuk berangkat ke kantor. Ponsel di saku celananya terus bergetar dan ia tidak peduli. Padahal siang ini ada meeting penting di kantor.Harusnya ia tidak terlena dengan tatapan memuja dari Abila. Ketertarikan terang-te
Rinjani yang masih di sana, mengambil dasi milik sang suami yang jatuh di lantai. Kemudian membenahi kerah dan kancing kemeja suaminya. "Pergilah ke kantor. Apapun yang terjadi di antara kita, jangan mengabaikan tanggungjawab pada pekerjaanmu, Mas. Noval butuh ayah yang kuat dan hebat," ujar Rinjani seraya kembali memakaikan dasi.Daffa justru memeluk istrinya."Marilah kita selesaikan permasalahan kita dengan kepala dingin," lanjut Rinjani sambil berusaha melepaskan tangan suaminya.Kepala dingin bagaimana? Apa ia harus menyetujui perpisahan yang diinginkan Rinjani."Mungkin saling menjauh untuk sementara adalah keputusan yang tepat, Mas. Setelah urusanku wajib lapor selesai, izinkan aku bekerja. Kita sama-sama menata hati dan saling introspeksi diri."Keduanya saling pandang."Mas akan memberimu waktu untuk sendirian. Tapi bukan berarti kita akan berpisah," jawab Daffa.Beberapa saat terdiam, akhirnya Rinjani mengangguk pelan. Hendak 'ngotot' sekuat mana, ia belum tentu menang dari
RINDU YANG TERLUKA- Seminggu dalam SepiMobil Rinjani yang masih berada di garasi membuat Daffa agak lega. Namun ia segera turun dan melangkah lebar masuk ke dalam rumah. Perasaannya tak enak saat ia melewati pintu utama. Sepi. Biasa ada suara kartun dari ruang keluarga, terdengar tawa renyah Noval yang terkekeh melihat kelucuan tokoh animasi kegemarannya.Benar. Hingga ia masuk ruang tengah tidak ada bocah lelaki yang berlari menyambut dan memeluknya seperti biasa. Jam berapa pun dia sampai rumah, Noval akan selalu menunggunya. Terlebih saat Rinjani masih di tahanan, Noval tidak mau lepas darinya. Malah duduk di ruang tamu untuk menunggunya pulang.Ini pertama kalinya Daffa mulai asing dengan kondisi yang berbeda."Ibu mana, Mak?" Daffa bertanya pada Mak Sum yang muncul dari ruang makan."Ibu sama Mas Noval pergi jam empat tadi, Pak," jawab wanita tua itu dengan canggung. Jam empat? Berarti baru satu jam yang lalu karena sekarang sudah jam lima sore. "Lastri ikut?""Njih.""Naik
"Sebaiknya kamu temui gadis itu dan ajak bicara baik-baik. Katakan kalau kamu memang nggak mungkin bisa sama dia karena kamu punya istri dan anak," saran Teddy siang itu saat mereka berdua tengah break makan siang di halaman kafe tak jauh dari kantor mereka. "Aku nggak mungkin nemui Bila. Dia bisa saja manfaatin pertemuan kami dan makin menambah runyam keadaan," jawab Daffa sambil menatap langit siang yang terik."Dia itu terobsesi banget sama kamu. Perempuan mana yang bisa menolak pesona Daffa Prasetya Bhakti, S.E., M.E. Ingat nggak sama mantanmu yang nangis kejer di hari pernikahanmu dengan Rin waktu itu. Padahal dia mantan waktu kamu masih S1, kan. Wih, masih segitunya cinta sama kamu.""Berhentilah mengejek, Ted," sergah Daffa.Teddy menyodorkan rokok pada sepupunya. Daffa hanya melirik sekilas. "Nggak pengen nyoba lagi? Lumayan untuk meredakan ketegangan. Rin juga nggak bakalan tahu." Teddy tersenyum sambil menyalakan rokok. Memang sengaja untuk menggoda sepupunya.Daffa menarik
Bu Tiwi menceritakan peristiwa di hotel Jogjakarta beberapa bulan lalu seperti cerita yang dipaparkan Abila tadi. Makin membuat Daffa terperanjat. Abila benar-benar sudah berada di luar kendali. "Apa benar yang diceritakan gadis itu?" tanya Bu Tiwi menahan geram dengan netra berkaca-kaca."Dia bohong, Ma. Aku nggak mungkin melakukannya dalam keadaan terkapar. Setidaknya setelah sadar aku pasti menemukan kejanggalan, tapi aku tidak menemukan bukti apapun. Jangan percaya pengakuan gadis itu," elak Daffa tidak terima."Ada-ada saja kamu, Daf. Setelah menikah mama pikir kamu berhenti," tangis Bu Tiwi pecah."Maaf, Ma. Percayalah kalau aku tidak melakukannya. Gadis itu ingin menjebakku."Bu Tiwi menghapus air mata dan menarik napas dalam-dalam. "Bagaimana mama mempercayaimu lagi. Gadis itu menangis-nangis tadi.""Aku yakin nggak ngelakuin itu ke Bila." Daffa frustasi. Kembali mengingat pagi hari di kamar hotel saat itu. Andai kesadarannya benar-benar pulih, harusnya dia mencari bukti atas
RINDU YANG TERLUKA- Luruhnya Sang Casanova Daffa membaca surat lamaran kerja yang terdiri dari empat paragraf itu. Padat, jelas, dan menarik. Dari surat itu dia tahu alamat lengkap di mana Rinjani akan bekerja. Klinik Semesta yang ada di kota Pujon, Malang.Dia juga memperhatikan CV yang dilampirkan, termasuk membaca dengan teliti surat izin dari suami yang butuh tanda tangannya."Baru setengah jam yang lalu aku selesai mengetiknya, Mas. Kami sampai Surabaya jam sepuluh pagi tadi.""Di Surabaya klinik ini juga ada. Kenapa pilih Malang?""Aku ingin mencari suasana baru. Di pinggiran yang jauh dari keramaian. Noval akan ikut denganku. Tapi sewaktu-waktu Mas bisa menjemputnya. Aku nggak mau bersengketa soal anak. Biarlah dia merasakan mendapat perhatian yang lengkap meski kita ... berpisah.""Bisa nggak, jangan ngomong soal perpisahan terus. Mas nggak bakalan nyerein kamu." Daffa mulai sakit kepala mendengar ucapan istrinya."Tanda tangani dulu!" Rinjani menggeser pulpen di hadapan sua
Azan Maghrib berkumandang dari toa masjid yang tidak jauh dari rumah Pak Haslam. "Mas, sudah maghrib. Salat dulu. Jangan bolong-bolong lagi ibadahnya. Marilah kita memulai memperbaiki diri. Bukan untuk siapa-siapa, ibadah itu untuk diri kita sendiri. Cara menjaga hubungan kita dengan Tuhan." Rinjani mengingatkan.Pada saat itu Pak Haslam keluar rumah sambil membawa sajadah di pundak. Bu Mila yang sudah memakai mukena menyusul di belakangnya. Daffa mencium tangan laki-laki itu. "Om, mau ke mushola. Nak Daffa mau ikut atau sholat di rumah?""Saya numpang sholat di sini saja, Om," jawab Daffa."Rin, kamu siapkan sajadah dan tempat sholat untuk suamimu." Bu Mila berkata pada Rinjani.Setelah om dan tantenya pergi ke masjid, Rinjani mengajak Daffa masuk rumah. Mengantarkan lelaki itu untuk wudhu di belakang. Saat itu Noval sedang menonton televisi ditemani oleh Lastri. "Nanti malam papa bobok di sini juga, ya. Noval kangen sama papa." Perkataan polos si kecil ketika Daffa menghampiri."Bo