Untung Daffa masih bisa berjalan meski menahan sakit di perut akhibat pukulan membabi buta tadi. Lelaki itu berbaring di ranjang kamar. "Ambilkan wahslap, air dingin, sedikit es batu, dan air hangat, Mak.""Njih, Bu." Mak Sum berlari keluar.Rinjani melepaskan kancing hem suaminya. Kemudian mengambil beberapa perlengkapan P3K dari ruang tengah lantai dua.Sambil menyeka air matanya sendiri, Rinjani membersihkan darah di ujung bibir Daffa. Menyeka rahang suaminya dengan air hangat dan mengompres area perut menggunakan air es di plastik yang dibungkus dengan handuk kecil.Perasaan Daffa luar biasa di dalam sana. Penyesalan begitu menikam saat melihat Rinjani dengan cekatan merawatnya. Walaupun ia tahu, hati istrinya sedang terkapar oleh perbuatannya. "Makasih, Rin," ucap Daffa seraya menahan perih di ujung bibir. Tangannya hendak meraih jemari Rinjani, tapi wanita itu menepis halus. "Istirahatlah, Mas." Rinjani berkata sambil meraih tali tas setelah dia selesai merawat suaminya."Rin,
RINDU YANG TERLUKA - Percayalah "Kalian sudah melakukan visum?" tanya Pak Farhan saat mengunjungi putranya di ruang perawatan. Tadi Rinjani yang mengabari mertuanya setelah Daffa selesai diperiksa dan pindah kamar."Nggak, Pa," jawab Rinjani."Loh, kenapa nggak melakukan visum saja sekalian. Kita bisa menuntut dengan kasus penganiayaan. Dari CCTV di halaman rumah kalian, bisa terdeteksi kan siapa dua lelaki itu. Sudah jelas juga kalau mereka orang-orang suruhan perempuan itu. Kamu dan Mak Sum bisa menjadi saksi." Pak Farhan tampak marah dan kecewa."Rin, kenapa nggak ada ide ini dalam pikiranmu?" Tatapan lelaki itu tajam pada sang menantu."Pa, bukan saya nggak kepikiran. Tapi kasus ini tentang perasaan. Tentang cinta antara Mas Daffa dan gadis itu. Apa mungkin Mas Daffa akan menuntut kekasihnya?" sindir Rinjani sambil melirik sejenak sang suami yang berbaring di brankar. Daffa menarik napas sejenak mendengar ucapan istrinya. Ulu hatinya masih nyeri jika dibuat menarik napas dalam-d
Daffa tahu itu hanya alasan. Namun ia tidak bisa menebak apa yang telah dilakukan oleh istrinya di luar selama dua jam. Apa yang direncanakan Rinjani. Semoga bukan perpisahan."Mas mau ke toilet, Rin." Daffa meringis menahan sakit di perutnya ketika hendak bangun. Sialan, dua orang tadi menyerang tanpa memberinya kesempatan untuk membela diri."Kuambilin pispot." Rinjani beranjak ke kamar mandi. Memapah Daffa pun rasanya tidak kuat kalau sendirian."Bisa kan sendiri?" tanya Rinjani sambil meletakkan pispot dan tisu di ranjang Daffa."Boleh dibantu?"Sejenak keduanya saling pandang. Kemudian Rinjani membantu Daffa duduk. "Nggak usah manja. Mulai sekarang harus dibiasakan semua sendirian," ujar Rinjani.Rasa hendak buang air kecil mendadak sirna saat Daffa mendengar ucapan istrinya. Apa maksudnya? "Aku tungguin." Rinjani duduk membelakangi suaminya. Namun ia dikejutkan oleh rangkulan yang mengunci pergerakannya. "Kita nggak akan berpisah." Embusan nafas Daffa hangat terasa menyapu teng
RINDU YANG TERLUKA- Pengakuan "Kerja di mana?""Nanti Mas akan tahu sendiri.""Kamu perlu izinku untuk kembali bekerja, Rin."Rinjani memandang Daffa yang berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Memang benar. Untuk bekerja dia harus mendapatkan tanda tangan sebagai persyaratan formalitas izin dari suami."Apa Mas akan menghalangi langkahku? Kita akan berpisah, Mas. Tolonglah jangan persulit gerakku. Kita berpisah secara baik-baik. Aku juga harus kembali bekerja untuk ... untuk life after breakup.""Sudah mas bilang kalau kita nggak akan bercerai." Daffa kalut. Setiap kali berbicara tentang perpisahan, Daffa mendadak stres."Jangan egois, Mas. Perempuanmu itu berapa kali chat ke kamu dalam beberapa hari ini setelah dia kembali dari rumah sakit. Dia benar-benar mengacaukan hidupku. Kalau dia menginginkanmu, aku sudah rela melepasmu." Netra Rinjani berkaca-kaca."Tapi tidak denganku. Sampai kapanpun kita nggak akan bercerai. Abila itu sakit jiwa.""Setelah ketahuan
"Mas akui memang salah. Tapi urusan tempat tidur, mas hanya melakukannya denganmu. Yang dikatakan Bila itu omong kosong. Dia hanya ingin menjerat mas dengan pengakuan palsu itu.""Apapun bentuk hubungan kalian, hanya sekedar rekan bisnis, teman jalan atau makan, tapi itu sudah menyakitkan bagiku, Mas. Setidaknya kamu telah berbagi waktu dan bermesraan dengan perempuan lain." Selesai bicara Rinjani bangkit dari duduknya. Mengambil keranjang baju kotor."Izinkan aku bekerja, Mas. Aku juga ingin melanjutkan dan menata hidupku."Daffa menahan lengan Rinjani. "Bekerja di mana?""Jauh dari kota ini, jauh dari kehidupanmu," jawab Rinjani sambil mengusap air matanya. Kemudian bergegas keluar kamar.Daffa menarik simpul dasinya dan melepaskan benda itu. Sudah hilang semangatnya untuk berangkat ke kantor. Ponsel di saku celananya terus bergetar dan ia tidak peduli. Padahal siang ini ada meeting penting di kantor.Harusnya ia tidak terlena dengan tatapan memuja dari Abila. Ketertarikan terang-te
Rinjani yang masih di sana, mengambil dasi milik sang suami yang jatuh di lantai. Kemudian membenahi kerah dan kancing kemeja suaminya. "Pergilah ke kantor. Apapun yang terjadi di antara kita, jangan mengabaikan tanggungjawab pada pekerjaanmu, Mas. Noval butuh ayah yang kuat dan hebat," ujar Rinjani seraya kembali memakaikan dasi.Daffa justru memeluk istrinya."Marilah kita selesaikan permasalahan kita dengan kepala dingin," lanjut Rinjani sambil berusaha melepaskan tangan suaminya.Kepala dingin bagaimana? Apa ia harus menyetujui perpisahan yang diinginkan Rinjani."Mungkin saling menjauh untuk sementara adalah keputusan yang tepat, Mas. Setelah urusanku wajib lapor selesai, izinkan aku bekerja. Kita sama-sama menata hati dan saling introspeksi diri."Keduanya saling pandang."Mas akan memberimu waktu untuk sendirian. Tapi bukan berarti kita akan berpisah," jawab Daffa.Beberapa saat terdiam, akhirnya Rinjani mengangguk pelan. Hendak 'ngotot' sekuat mana, ia belum tentu menang dari
RINDU YANG TERLUKA- Biarkan Aku Di Sini"Nggak perlu repot-repot mengeluarkanku dari sini, Mas. Biar kujalani hukuman ini. Tiga bulan dipotong masa tahanan nggak akan lama. Kalau aku di sini kalian punya kesempatan untuk bersama tanpa sembunyi-sembunyi lagi dariku." Rinjani menatap sinis pada lelaki di hadapannya. "Mas sudah membicarakan pembebasanmu dengan pengacara kita." Daffa tidak mengindahkan ucapan istrinya."Aku nggak butuh jaminan darimu." Rinjani menghindari tatapan suami dan memilih bangkit dari duduknya. Muak dengan lelaki yang sudah mengkhianati pernikahan mereka."Kamu nggak memikirkan bagaimana perasaan Noval?" Pertanyaan Daffa membuat Rinjani kembali duduk. "Sadar nggak Mas, kamu ngomong kayak gini? Kamu mikir nggak perasaan kami, saat kamu berkhianat. Kalian sudah keterlaluan. Aku diam kalian malah keenakan. Seharusnya perempuan itu kubikin lebih parah lagi."Nggak perlu sibuk mengeluarkanku dari sini. Karirku, hidupku, kepercayaanku padamu sudah berakhir. Aku turu
"Kamu jadi dibebaskan bersyarat?" tanya seorang wanita bertubuh besar, berkulit, gelap, yang duduk tepat di depan Rinjani. Dia salah satu penghuni paling lama di sel itu."Saya nggak mau," jawab Rinjani masih dalam posisi duduk memeluk lututnya."Kenapa nggak mau? Bodoh. Dibebaskan kok nggak mau. Keluar saja, cari perempuan pengganggu itu dan kasih pelajaran setimpal. Jangan tanggung-tanggung kalau ngasih hukuman," ucap Mak Ewok berapi-api. Mak Ewok, begitulah penghuni lapas memanggilnya.Rinjani tersenyum getir. Dia bukan perempuan yang bar-bar dan suka war. Namun pemandangan di depan matanya kala itu membuatnya hilang kesabaran. Hingga berbuat di luar dugaan.Ada teman yang mengirimkan foto mobil sang suami terparkir di depan sebuah rumah. Dari rumah sakit langsung ke alamat yang ditunjukkan oleh temannya yang merupakan tempat tinggal kekasih gelap Daffa. Perempuan yang beberapa bulan terakhir ini menjadi orang ketiga dalam rumah tangganya. Melihat perempuan itu bermanja dengan Daff