Share

15. Penolakan 2

Rinjani menepikan ego demi mental anaknya. Bertiga bercanda seolah tidak terjadi apa-apa. Dan bersandiwara seperti ini sungguh tak mudah sebenarnya. Melawan rasa sakit yang berontak dalam dada.

Jam sembilan malam Noval sudah terlelap. Rinjani yang tengah membereskan perlengkapan menggambar, tangannya di tarik pelan oleh Daffa. "Biar dibereskan Lastri. Ada yang perlu mas bicarakan denganmu."

Sejenak Rinjani diam, lantas melepaskan cekalan tangan Daffa. Tapi pada akhirnya ia melangkah keluar juga. Persoalan tidak akan terurai jika hanya diam. Waktunya bicara, karena Rinjani tidak ingin pergi dari rumah ini tanpa pamit pemiliknya. Pria yang sangat ia cintai dan telah menorehkan luka terdalam di jiwanya. Andai harus berakhir, jangan sampai meninggalkan sengketa.

Daffa menutup pintu kamar. Rinjani merapatkan gorden jendela kemudian duduk di kursi meja rias. Daffa duduk tepat di hadapannya di tepi ranjang.

Jika ia jujur sekarang, bukankah lebih mempersulit keadaan. Tapi bagaimana caranya ia menemukan buku nikahnya kalau tidak bertanya. Lebih baik bertanya daripada diam, karena tidak akan menemukan apa yang ia cari. Seluruh rumah sudah ditelusuri, tetap tidak menemukan. Tapi apa mungkin Daffa mau memberikannya. Oh, tentu saja mau jika dia memang sudah kepincut dengan perempuan simpanannya itu.

Baru hendak membuka suara, Daffa lebih dulu menggenggam jemarinya. Menatap lekat dan senyuman menghiasi bibirnya. Daffa tidak ingin membahas apa yang ia dengar tadi. Pura-pura saja tidak tahu, tapi tak akan membiarkan Rinjani dan Noval pergi.

"Mau apa, Mas?" Rinjani menarik tubuhnya ke belakang saat Daffa merapat.

"Kita suami istri, kan. Wajar kalau melakukan sesuatu yang dihalalkan." Embusan napas Daffa yang tak lagi teratur menyapu wajah Rinjani. Tatapan matanya sangat menuntut.

"Maaf, Mas." Rinjani mengelak dengan memalingkan muka. Daffa kecewa.

"Aku bisa menerima masa lalumu, tapi aku nggak bisa menerima perselingkuhanmu. Berapa kali kalian berkencan selama beberapa bulan ini?"

"Rin, hubungan kami tidak melibatkan perasaan. Kami hanya terjebak karena rutinitas pekerjaan."

"Alasan basi. Apapun itu, bagiku tetap perselingkuhan. Gadis itu minta tanggungjawabmu, Mas. Entah apa yang kamu lakukan padanya sampai dia mengejarmu seperti itu."

"Dulu aku memang brengs*k, Rin. Beberapa kali menjalin asmara dengan banyak perempuan. Tapi aku tahu batasanku."

"Itu dulu. Lantas bagaimana dengan perempuan sekarang yang kamu panggil 'sayang' itu, Mas." Rinjani membalas tatapan tajam suaminya. Terpancing akhirnya ia pun emosi.

"Nggak ada," jawab Daffa cepat.

"Sejauh apa hubungan kalian?"

"Nggak seperti yang kamu pikirkan."

"Aku nggak percaya. Jangan bilang nggak ada apa-apa. Chat kalian begitu mesra dan menjijikan. Aku sudah membaca semuanya. Jangan katakan kalau semua itu hanya seru-seruan."

"Itu kenyataannya, Rin. Tolong percayai suamimu."

"Mas, sudah melupakan janji itu. Mas, juga pemicu kandasnya karirku. Bagaimana aku bisa percaya padamu." Rinjani menarik napas berulang. Menata hati dan menyudahi emosinya. Tidak ada gunanya perdebatan ini. "Sudahlah. Ini salahku. Kalau aku nggak bertindak bodoh melukai gadis kesayanganmu. Tentu aku tidak akan merasakan dinginnya tembok penjara."

"Maafkan mas, Rin. Mas, akan mengembalikan karirmu. Kita bisa mengurus SIP. Mas akan membangun tempat praktek untukmu."

"Mas, kira semudah itu. Mas, pikir uang bisa menebus kepercayaan yang kandas. Kamu keliru, Mas." Rinjani mendorong tubuh suaminya hingga menjauh. Kemudian keluar kamar dan tidur di kamar putranya.

Daffa tidak bisa tidur. Kepalanya terasa berat seperti hendak meledak. Karena permasalahan dan keinginannya yang tidak bisa terlampiaskan. Rinjani menolaknya.

Ditambah lagi saat membuka ponsel kian menambah beban di kepala. Puluhan pesan dikirim oleh Abila. Mulai dari ucapan manis hingga ancaman jika sampai Daffa meninggalkannya. Gadis itu belum tahu kalau Daffa sudah membebaskan Rinjani.

Setelah bertemu bidadari yang mengalihkan dunianya, kini bertemu devil yang menghancurkan segalanya. Daffa tidak akan membiarkan rumah tangganya binasa. Tidak akan.

***L***

"Rin, habis nganterin Noval ke sekolah. Kita ke rumah mama. Tadi Mbak Jum nelepon kalau vertigo mama kambuh." Daffa memberitahu Rinjani sambil mengancingkan hem warna biru yang dipakainya.

"Aku bukan dokter lagi. Bawa Mama periksa ke dokter lain saja, Mas," jawab Rinjani sambil merapikan tempat tidur.

"Mama maunya sama kamu."

"Mas, sudah baca surat dari rumah sakit kemarin, kan? Apa aku masih bisa disebut dokter kalau sudah diberhentikan kelayakannya."

Keduanya saling pandang. Rinjani sebenarnya tidak sampai hati berkata demikian. Apalagi pada mama mertuanya. Ini juga bertentangan dengan hati nuraninya sebagai seorang tenaga medis.

Tapi Rinjani enggan bertemu dengan papa mertua. Ucapan menyakitkan kemarin itu masih terasa di dada. Sebelum menjadi menantu di rumah itu pun, mereka juga punya dokter pribadi sendiri.

Setelah diam beberapa saat, Rinjani ingat sesuatu. Apa mungkin Daffa menyembunyikan surat nikah mereka di rumah orang tuanya. Seharusnya ia menyetujui saja untuk memeriksa kondisi Bu Tiwi.

"Aku akan menjenguk mama, tapi bukan untuk memeriksanya. Biar mama diperiksa sama dokter Budi langganan keluarga kalian."

"Oke. Kita berangkat sekalian nganterin Noval ke sekolah." Daffa mendekati Rinjani. Harum tubuh dan leher jenjang itu menimbulkan rasa yang beberapa lama ditahan dan sungguh menyiksanya. Bahkan semalaman dia tidak bisa tidur. Dan pagi ini keinginan itu semakin berkobar-kobar dalam dirinya.

Next ....

Comments (25)
goodnovel comment avatar
Nurmila Karyadi
miriiiss..
goodnovel comment avatar
Lis Susanawati
??????????
goodnovel comment avatar
Lis Susanawati
🥹🥹🥹🥹🥹🥹
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status