Share

10. Ancaman 1

RINDU YANG TERLUKA

- Ancaman

Siapa orang yang menginginkan dirinya hancur? Kekasih gelap suaminya kah? Rinjani selama ini merasa tidak punya musuh, kecuali wanita itu.

Saran dokter Ratih tepat. Lebih cepat lebih baik ia segera menulis surat pengunduran diri. Sekarang saja mumpung Noval belum pulang sekolah. Rinjani berbalik arah dan kaget saat tubuhnya menabrak sang suami. Keduanya saling pandang.

Kenapa suaminya tidak ke kantor setelah mengantarkan sang anak ke sekolah?

Malas bertegur sapa, Rinjani melangkah keluar. Hendak mengambil laptop di ruang kerja suaminya untuk membuat surat pengunduran diri sebelum terlambat.

Daffa tersenyum. "Mas ingin mengajakmu jalan pagi ini sambil nunggu jam Noval pulang sekolah. Nanti kita jemput dia. Noval pasti seneng banget."

Rinjani tidak menjawab.

"Rin." Daffa menahan sang istri ketika wanita itu hendak melangkah. Menarik raga ramping Rinjani hingga merapat tubuhnya. Dan wanita itu masih tetap diam meski tangannya berusaha melepaskan diri. "Please, Rin."

"Kamu ingin bicara apa lagi, Mas." Rinjani mengendur. Sudah lelah jika terus berontak dan menghindar. Sejak kejadian di rumah perempuan itu hingga dirinya di tahan, Daffa tak henti meminta maaf dan menjelaskan. Namun semua terasa memuakkan.

Mereka duduk berhadapan di ranjang kamar. Tatapan Rinjani terbuang pada hari yang beranjak siang. Surabaya kering di musim kemarau.

"Mas mencintaimu dan akan selalu begitu. Abila bukan apa-apa bagiku. Percayalah!" Wajah putus asa terlihat saat Daffa bicara. Entah dengan cara bagaimana lagi ia meyakinkan Rinjani. Meski Abila masih terus menerornya minta perhatian dan mengajak ketemuan.

"Bagaimana caranya agar mas bisa membuatmu yakin, Rin? Katakan. Akan mas lakukan apapun supaya kita tetap bisa bersama. Beri mas waktu untuk menyelesaikan Abila. Dia ...."

"Nggak usah Mas ceritakan tentang dia. Aku sudah tahu. Apapun mengenai dia, yang pasti Mas sudah menanggapi dan masuk ke dalam kehidupannya. Mas, telah membuatnya jatuh cinta. Silakan urus gundikmu, biar aku mengurus hidupku dan Noval."

Daffa terkesiap. Apa ini berarti Rinjani mengisyaratkan perceraian?

"Honey, kita nggak akan berpisah." Daffa menatap lekat wajah istrinya dengan mata memerah.

Honey. Rinjani memandang sekilas lelaki yang memberinya panggilan baru. Jika tidak ada pengkhianatan, tentu dia bahagia mendengarnya. Namun sekarang geli terdengar di telinga. Dan Rinjani tidak merespon. Diam masih menatap ke arah yang sama. Semua chat yang dibacanya masih teringat jelas di kepala. Sangat menyakitkan. Apa yang mereka lakukan? Sejauh itu kah?

Daffa meraih jemari dan Rinjani menolak. "Aku ingin sendirian, Mas."

Pada saat yang bersamaan ponselnya berdering. Ada panggilan masuk dari Desy. Wanita itu turun dari pembaringan lalu melangkah keluar. Ia masuk ke kamar Noval dan menguncinya dari dalam.

Daffa yang menyusul tidak bisa membukanya.

"Hallo, Des." Rinjani duduk di lantai dekat tempat tidur berbentuk mobil milik putranya.

"Alhamdulillah. Kamu sudah di rumah, Rin. Kulihat nomermu barusan aktif dan aku langsung menelepon. Aku sempat ragu, kupikir suamimu yang mengaktifkan ponselmu. Kapan kamu pulang?"

"Kemarin pagi." Rinjani menceritakan bebas bersyaratnya.

"Syukurlah. Yang penting kamu bisa ke luar dan bertemu Noval. Rencanamu apa sekarang?"

"Aku ingin mengurus pengunduran diri dari rumah sakit. Dokter Ratih memberiku saran supaya aku mengundurkan diri daripada diberhentikan."

"Kenapa diberhentikan? Nggak mungkin pihak rumah sakit seenaknya memecatmu dengan kesalahan yang kurasa bisa dimaklumi. Lagian record kamu cukup baik di rumah sakit. Pihak RS pasti akan mempertimbangkannya."

"Ada pihak yang mempengaruhi supaya aku di pecat, Des."

"Hmm, pasti perempuan simpanan Daffa. Gadis gila yang terobsesi sama suamimu. Kakeknya kan cukup terpandang dan koneksinya sangat banyak. Mereka punya kuasa dan bisa melakukan apapun dengan uang. Kalau gitu, resign saja. Kamu masih bisa berkarir di tempat lain."

"Iya. Hari ini aku bikin surat pengunduran diri. Aku juga ingin mengajukan gugatan cerai, Des."

"Aku sudah menduga kalau kamu akan mengambil keputusan itu."

"Setelah masa habis laporku selesai aku akan mengurus semuanya. Sekarang aku belum menemukan buku nikahku yang disembunyikan Mas Daffa."

"Rin, kalau kamu cerai. Pasti seneng banget si binal itu. Dia bakalan merasa menang dan bisa mendapatkan Daffa."

"Lalu, apa aku harus bertahan. Aku nggak sanggup, Des. Hubungan mereka sudah terlanjur gila. Sekalipun Mas Daffa bilang menyesal atau apalah itu, hatiku sudah sakit. Terserah mereka mau apa setelah kami berpisah. Aku sudah nggak peduli, Des."

"Tapi untuk mengajukan gugatan cerai, kamu juga harus punya bukti perselingkuhannya."

Rinjani mengatur nafas yang tersengal karena dadanya begitu terasa sesak. Dia tidak punya bukti. Karena tidak sempat menyimpan bukti chat suaminya dan perempuan itu. Bodoh memang. Kenapa dia tidak kepikiran untuk menyimpannya. Malah sibuk menyelidiki tanpa mendokumentasikan.

"Rin, kamu masih di situ, kan?" tanya Desy setelah Rinjani diam cukup lama.

"Aku nggak menyimpan chat itu, Des."

"Jadi selama kita mencari tahu, kamu nggak nyimpen apapun?"

"Nggak. Aku terbawa emosi sampai nggak kepikiran untuk menyimpan bukti."

"Subhanallah, Rin. Aku nggak ngingetin karena kupikir kamu sudah tahu sendiri. Ya ampun, terus gimana kamu mau menggugat cerai Daffa."

"Pasti bisa. Aku tinggal menemukan buku nikahku saja. Aku akan berusaha."

"Tapi ya itu. Si pelakor itu bakalan jingkrak-jingkrak kalau tahu kamu memilih pergi. Dia akan merasa menang."

"Terserah. Aku nggak peduli. Yang penting aku bisa mendapatkan hak asuhnya Noval."

"Oke. Nanti kita lanjutkan lagi. Aku mau meeting. Esok atau lusa aku akan datang ke rumahmu. Udah dulu, ya. Bye." Tergesa Desy bicara dan menyudahi panggilan.

Desy bekerja di perusahaan properti. Berteman dengan Rinjani sejak mereka sama-sama masih SMP. Namun ketika kuliah, minat mereka berbeda. Desi kuliah di fakultas ekonomi sedangkan Rinjani meraih mimpinya di fakultas kedokteran.

Untuk beberapa saat Rinjani terdiam. Menata hati dan pikiran. Menyesali keteledorannya kenapa tidak menyimpan bukti perselingkuhan suaminya. Tentu ini akan mempersulit ia mengajukan gugatan cerai.

Rinjani menatap jam dinding berbentuk bola di tembok kamar. Ingin menelepon dokter Ratih. Semoga dokter yang lebih tua sepuluh tahun darinya itu dalam keadaan longgar.

Sekali panggilannya tidak dijawab. Pada panggilan kedua, baru di angkat.

"Halo, Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

"Dokter Rin," suara di seberang tampak tak yakin.

"Iya, saya, Dok."

"Saya pikir Mas Daffa yang menelepon. Alhamdulillah, dokter sudah di rumah."

Rinjani menceritakan hal yang sama seperti yang diberitahukan pada Desy tadi. Alasan yang membuatnya bisa bebas bersyarat.

"Dokter Ratih, saya sudah membaca pesan yang dokter kirimkan. Terima kasih banyak atas sarannya. Hari ini saya akan membuat surat pengunduran diri."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
mungkin benar klo Rin cere si Bola bakal kesenengan.. tapi klo tetap bertahan jelas mental Rin yg dipertaruhkan..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status