"Iya, Dok. Lebih cepat lebih baik sebelum keduluan pihak rumah sakit memberhentikan, Dokter. Tampaknya ada satu kekuatan yang mempengaruhi pimpinan kita untuk melakukan pemberhentian tidak hormat pada, Dokter Rin. Kebetulan suami saya yang mendengar pembicaraan itu. Dia ngasih tahu saya, terus saya sampaikan ke Anda. Walaupun saya mikirnya, mungkin tidak akan dokter baca karena Dokter masih di tahanan. Tapi syukurlah Dokter Rin sudah di rumah.
"Sebenarnya, rekan-rekan kita di sini bisa memaklumi apa yang Dokter Rin lakukan. Namun kami tidak punya kuasa untuk membela. Keputusan tetap ada pada pihak direktur kita. Percayalah, Dok. Nggak ada yang menyalahkan tindakan spontanmu. Kami sangat paham situasimu saat itu." "Makasih banyak, Dok." Rinjani terharu. Rupanya mereka bisa mengerti posisinya. "Yang sabar, Dok. Anda masih muda. Tetap semangat dan lanjutkan karir Anda di tempat lain. Semoga lebih sukses." "Aamiin. Makasih, Dok." "Sama-sama. Nanti ada waktu kita ketemuan, ya." "Baik, Dok." "Maaf, ini ada pasien masuk. Saya tutup dulu teleponnya. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." Rinjani memeriksa akun m-banking. Seminggu yang lalu Daffa sudah mentransfer uang nafkah bulanannya. Gajinya juga sudah masuk seminggu setelah dirinya di tahan. Dia memiliki tabungan yang lumayan untuk memulai hidup baru bersama putranya. Sementara di luar kamar, Daffa duduk dengan perasaan cemas di sofa sambil memperhatikan pintu kamar putranya yang terkunci. Pikirannya entah ke mana-mana. Dia tidak khawatir Rinjani akan menyakiti dirinya sendiri, meski semalam sempat menodongkan gunting padanya. Rinjani tidak selabil Abila yang selalu mengancam hendak mengakhiri hidup jika Daffa meninggalkannya. Daffa benar-benar terjebak oleh perempuan seperti Abila. Ponsel berdering. Asistennya menelepon. "Ya, Din." "Maaf, Pak. Cuman hendak mengingatkan kalau setengah jam lagi ada meeting dengan pihak Wigati Grup. Terus jadwal makan siang dengan Pak Ginting dilanjutkan meeting. Sore nanti ada pertemuan dengan supplier." "Cancel semua jadwal saya untuk hari ini dan empat hari ke depan. Saya ngambil cuti empat hari dari sekarang. Untuk meeting dengan Wigati Grup, minta Pak Singgih untuk menghandelnya. Selain itu tolong cancel semuanya." "B-baik, Pak," jawab Dinda. Suara asistennya tampak gugup. Dia pasti bingung mengatasi segala jadwal yang sudah tersusun rapi, tapi harus dibatalkan dan di atur ulang. Bukan itu saja, pasti papa, omnya, bakalan mengamuk kalau semua jadwal di cancel dadakan. Daffa tidak peduli. Dia tidak akan meninggalkan rumah dalam beberapa hari ini. Ponsel yang baru diletakkan di meja kembali berpendar. Daffa berdecak melihat nama Abila tertera di layar. Jika tidak di angkat, khawatir gadis itu akan nekat mendatangi rumahnya. Daffa beranjak dari sofa ke balkon. Rinjani tidak boleh mendengar percakapannya. Keadaan akan semakin rumit nantinya. "Hallo." Suara Daffa lirih. "Kamu di mana sih, Mas. Kenapa nggak balas pesanku, nggak nerima teleponku." "Bil, aku sudah menjelaskan beberapa waktu yang lalu. Kita sudah selesai. Kita nggak ada komitmen apapun dalam hubungan ini selain ...." "Just for fun. Begitu," sahut Abila. "Nggak bisa, Mas. Kamu nggak bisa ninggalin aku begitu saja," teriak gadis itu di seberang. "Bila, sejak awal kamu tahu kalau aku punya istri." "Tapi aku mencintaimu, Mas. Aku nggak peduli." Tangis gadis itu pecah. Daffa terpaku sambil bersandar pada pagar pembatas balkon. Tatapan matanya tidak beralih dari pintu kamar Noval. Rinjani tidak boleh memergokinya melayani telepon gadis labil di ujung sana. "Bila, please. Aku sudah jelasin kalau di antara kita nggak akan ada kesepakatan apa-apa. Aku punya istri dan anak." "I don't care," teriak Abila. "Kamu lupa kebersamaan kita, Mas. Aku nggak terima kalau hanya sebatas selingan bagimu. Akan kubuat istrimu itu mengerti tentang hubungan aku dan kamu." Daffa menghela nafas berat. Ingin rasanya membanting ponsel biar ambyar sekalian dengan suara Abila yang terus mengancam. Bagaimana caranya ia mengatasi gadis itu. Daffa benar-benar terjebak dalam permainan yang awalnya memang sekedar hanya untuk main-main. Mengisi kejenuhan karena rutinitas pekerjaan. "Temui aku malam ini, Mas. Kalau tidak, aku akan datang ke rumahmu." Ponsel dimatikan seketika. Daffa mengumpat lirih. Kenapa dia sampai terbelit ular berbisa. Gadis itu tidak boleh tahu kalau Rinjani sudah dibebaskan bersyarat. Abila bisa nekat menemui istrinya dan membuat keadaan kian runyam. Pria itu memandang ke arah pintu kamar Noval yang terkuak perlahan. Rinjani keluar tanpa memandang ke arahnya. Daffa mengikuti sang istri yang masuk ruang kerjanya dan duduk membuka laptop. "Kamu ingin mengundurkan diri?" tanya Daffa membaca kalimat yang terketik di layar laptop. "Hmm." "Kenapa? Pihak rumah sakit nggak akan memecatmu. Mas sudah menemui Dokter Heru. Permasalahanmu bisa dimaklumi, Rin." Rinjani terus mengetik tanpa mempedulikan suaminya. Setelah vonis hakim, Daffa memang sengaja menemui direktur rumah sakit tempat istrinya bekerja. Supaya Rinjani tidak diberhentikan secara tidak hormat karena kasusnya. Daffa tidak ingin cita-cita istrinya hancur karena perbuatannya. Bahkan dengan gamblang ia mengakui bahwa dirinya yang bersalah. "Rin, kita bisa membicarakan ini dengan Dokter Heru." Apa bisa? Sudahlah lebih baik dia melanjutkan karirnya di tempat yang baru. Membawa Noval pergi dari kota ini. Menjauh dari seorang Daffa. Tapi bagaimana dengan Noval? Apa dia bisa berpisah dari papanya. Next ....RINDU YANG TERLUKA - Surat Suara ketukan di pintu membuat Daffa dan Rinjani menoleh. Lelaki itu bergerak membukanya. Lastri sudah berdiri di sana sambil menyodorkan sebuah amplop. "Ada surat untuk Ibu, Pak.""Makasih." Daffa terkesiap melihat siapa pengirimnya.Setelah menutup pintu Daffa kembali menghampiri istrinya. Rinjani berdebar-debar. Sekilas terlihat dia tahu surat itu dari mana."Berikan padaku. Itu surat untukku dari rumah sakit." Perasaan Rinjani sudah tak enak. Jemarinya gemetar. Namun ia harus kuat. Daffa pun merasakan hal yang sama. Makanya dia ragu untuk memberikan surat itu pada istrinya. Rinjani yang tidak sabar, mengambilnya dari tangan sang suami. Dengan perasaan tak karuan dan jemari gemetar ia membuka amplop.Pemberhentian Kerja. Ternyata surat itu lebih dulu ia terima disaat belum selesai menulis surat pengunduran diri. Netra Rinjani mengembun. Luka tak berdarah tapi bernanah.Sejenak Rinjani diam mengatur napas usai membaca isinya. Dipuncak rasa sakit dan kec
"Saya sudah diberhentikan, Tan. Barusan saya nerima suratnya pada saat masih mengetik surat pengunduran diri. Saya terlambat." Rinjani terisak sambil bercerita pada Bu Mila di telepon."Sabar, Rin. Pasti ada hikmah dibalik peristiwa ini. Setiap kejadian tidak ada yang sia-sia. Pasti Tuhan memberikan rencana lain padamu meski dengan cara membiarkanmu jatuh lebih dulu. Percayalah, ini bukan akhir dari karirmu. Perbanyak istighfar. Kamu akan mendapatkan jalan keluar. Mantan narapidana pun masih memiliki hak untuk bekerja. Sabar, ya.""Negara memang memberikan peluang, Tan. Tapi bagaimana dengan instansi dan para pasien. Apa masih bisa mempercayai saya.""Jangan khawatir. Jika mereka tahu cerita yang sebenarnya, pasti bakalan dimengerti.""Maafkan saya, Tan. Belum bisa membalas budi pada Tante Mila dan Om Haslam. Justru sekarang saya menambah masalah.""Sssttt, jangan bicara seperti itu. Om dan tante tahu bagaimana kamu. Nggak mungkin akan bertindak di luar kontrol jika tanpa sebab.""Say
RINDU YANG TERLUKA - Penolakan "Rin, kamu nggak makan?" tanya Daffa saat melihat Rinjani hanya menyuapi Noval dan tidak mengambil nasi untuknya sendiri."Nanti," jawab Rinjani lirih.Noval makan dengan lahap. Binar itu tak lekang dari wajahnya semenjak sang mama kembali ke rumah. Dia sangat ceria dan bersemangat. Lantas, apa Rinjani tega merenggut kebahagiaannya. Jika bertahan, apa dia sanggup? Di usianya yang sekarang apa Noval mengerti apa itu perceraian?"Udah, Ma. Noval udah kenyang." Bocah lelaki itu mengusap-usap perutnya. Rinjani menghabiskan sisa nasi sang anak yang hanya tinggal tiga suapan. Setelah itu dia bangkit untuk mencuci tangan di kitchen sink.Daffa memperhatikan. "Rin, makan dulu.""Aku sudah kenyang," jawab Rinjani tetap tanpa menatap suaminya. Wanita itu kembali duduk dan memberi minum pada putranya.Mana mungkin kenyang kalau makan hanya tiga suapan.Selesai makan, Noval mengajak mamanya belajar di kamar. Lastri menepi di ruangan bawah bersama Mak Sum sambil me
Rinjani menepikan ego demi mental anaknya. Bertiga bercanda seolah tidak terjadi apa-apa. Dan bersandiwara seperti ini sungguh tak mudah sebenarnya. Melawan rasa sakit yang berontak dalam dada.Jam sembilan malam Noval sudah terlelap. Rinjani yang tengah membereskan perlengkapan menggambar, tangannya di tarik pelan oleh Daffa. "Biar dibereskan Lastri. Ada yang perlu mas bicarakan denganmu."Sejenak Rinjani diam, lantas melepaskan cekalan tangan Daffa. Tapi pada akhirnya ia melangkah keluar juga. Persoalan tidak akan terurai jika hanya diam. Waktunya bicara, karena Rinjani tidak ingin pergi dari rumah ini tanpa pamit pemiliknya. Pria yang sangat ia cintai dan telah menorehkan luka terdalam di jiwanya. Andai harus berakhir, jangan sampai meninggalkan sengketa.Daffa menutup pintu kamar. Rinjani merapatkan gorden jendela kemudian duduk di kursi meja rias. Daffa duduk tepat di hadapannya di tepi ranjang.Jika ia jujur sekarang, bukankah lebih mempersulit keadaan. Tapi bagaimana caranya ia
RINDU YANG TERLUKA - Aku yang Salah"Aku bisa menjadi istri yang taat, Mas. Apabila Mas pun bisa menjadi imam yang kokoh bagi makmumnya. Selama kita menikah, mana pernah aku membantahmu."Tapi Mas sudah mengkhianati pernikahan kita. Mas, lupa komitmen yang kita bangun dari sebuah cinta. Keluarga kecil kita ternyata tidak bisa membuatmu berhenti. Kamu tak cukup hanya dengan satu wanita."Daffa menatap frustasi pada istrinya saat Rinjani terus berbicara tentang kesalahannya dan berusaha mengelak dengan menahan dadanya. Semua kata-kata menusuk tepat di jantung, tapi tidak menyurutkan 'keinginan' yang kian menggebu."Rin," desis Daffa yang benar-benar sudah membara.Rinjani puas melihat Daffa yang belingsatan. Apa setelah penolakannya, sang suami akan menggila di luar? Mencari perempuan itu, mungkin."Kamu memang begitu sempurna, Rin. Suamimu ini yang bajing4n. Namun lelaki brengs3k ini, nggak akan melepasmu. Maafkan mas.""Egois kamu, Mas.""Aku mencintaimu," ucap Daffa dengan netra mem
"Saya memilih memaafkan karena dia menyesali dan berubah. Sakit memang. Tapi ketika dia memilih keluarga dan meninggalkan perempuan itu, makanya saya kasih kesempatan. Saya nggak peduli sejauh apa hubungan mereka, yang saya pikirkan tentang pernikahan kami dan anak-anak. Dan yang pasti suami sudah memutuskan untuk kembali."Maaf, ini hanya cerita, Dok. Bukan niat untuk mempengaruhi supaya mengikuti jejak saya. Semua saya kembalikan ke Dokter Rin. Saya nelepon cuman mau ngabarin kalau Klinik Semesta, sedang membutuhkan seorang dokter umum. Mungkin Dokter Rin berminat. Pemiliknya teman baik dokter Doni. Coba pertimbangkan, Dok. Kalau minat, biar suami saya yang menjembatani mumpung belum di share ke yang lain.""Terima kasih banyak atas perhatiannya, Dok. Saya jadi speechless. Nanti kalau ada waktu luang, pas kebetulan Dokter Ratih longgar, saya akan ke tempat praktek dokter.""Oke, saya tunggu. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Rinjani masih diam sambil memperhatikan layar ponselny
RINDU YANG TERLUKA - Terluka"Honey, tunggu." Daffa mengejar Rinjani yang menuruni tangga. "Rin." Tangan Rinjani diraihnya."Aku mau pulang. Urus saja perempuan simpananmu itu." Rinjani berkata ketus seraya menatap tajam suaminya. "Kita pulang barengan."Rinjani berusaha melepaskan pergelangan tangannya, tapi cekalan tangan Daffa sangat erat. "Lepasin, aku mau pamit sama mama."Daffa menggandeng istrinya masuk kamar sang mama. Bu Tiwi yang melihat mereka bergandengan tangan tersenyum. Wanita itu berusaha bangun dari pembaringan. Dia positife thinking melihat anak dan sang menantu. Karena tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi."Nggak usah bangun, Ma." Rinjani mendekati sang mertua setelah tangannya terlepas dari genggaman suami."Kalian mau pulang?" "Iya, kami mau pamit," jawab Daffa."Luangkan waktu untuk bicara berdua dari hati ke hati. Kalian butuh deeptalk. Mama nggak ingin melihat kalian berpisah. Daffa memang melakukan kesalahan fatal, tapi mama harap Rin bisa memberikan kes
Untung Daffa masih bisa berjalan meski menahan sakit di perut akhibat pukulan membabi buta tadi. Lelaki itu berbaring di ranjang kamar. "Ambilkan wahslap, air dingin, sedikit es batu, dan air hangat, Mak.""Njih, Bu." Mak Sum berlari keluar.Rinjani melepaskan kancing hem suaminya. Kemudian mengambil beberapa perlengkapan P3K dari ruang tengah lantai dua.Sambil menyeka air matanya sendiri, Rinjani membersihkan darah di ujung bibir Daffa. Menyeka rahang suaminya dengan air hangat dan mengompres area perut menggunakan air es di plastik yang dibungkus dengan handuk kecil.Perasaan Daffa luar biasa di dalam sana. Penyesalan begitu menikam saat melihat Rinjani dengan cekatan merawatnya. Walaupun ia tahu, hati istrinya sedang terkapar oleh perbuatannya. "Makasih, Rin," ucap Daffa seraya menahan perih di ujung bibir. Tangannya hendak meraih jemari Rinjani, tapi wanita itu menepis halus. "Istirahatlah, Mas." Rinjani berkata sambil meraih tali tas setelah dia selesai merawat suaminya."Rin,