RINDU YANG TERLUKA
- Kamar "Aku tidur di kamar Noval," jawab Rinjani datar. "Tidur di kamar ini saja. Kita bisa ngobrol, Rin." Rinjani melepaskan cekalan tangan Daffa. Namun jemari itu kuat mencengkramnya. Malah Daffa menjatuhkan lututnya dan memeluk kaki Rinjani. "Rin, please! Berikan mas kesempatan untuk bicara. Mas minta maaf, Sayang." Seringai tipis terbit di bibir Rinjani. "Jangan panggil aku Sayang. Aku muak mendengarnya, Mas. Sebutan yang kau pakai untuk perempuan itu juga." Rinjani berusaha melepaskan kakinya. Namun rangkulan Daffa menguncinya. "Rin, maafkan mas." Rinjani diam. Membiarkan Daffa meracau dengan kalimat-kalimat penyesalannya. Tidak sepatah kata ia menjawab. Tatapan wanita itu terbuang di sudut kamar. Cinta, rindu, benci, kecewa, marah, muak, dan entah kata apa lagi berkecamuk dalam dadanya. Membuat sesak dan ingin mengamuk rasanya. "Jangan diam, Rin. Bicaralah. Maki dan sumpah serapahi suami ini. Mas akan menerimanya." Wanita itu membeku. "Sayang." Daffa mengguncang pelan lengan istrinya. "Jangan panggil sayang. Aku muak tahu, Mas. Seharusnya aku mendengar nasihat orang lain sebelum memutuskan menerimamu sebagai suami. Ternyata kamu nggak berubah. Perempuan itu yang ketauan, entah dengan yang lain." Rinjani akhirnya berkata penuh amarah. Daffa berdiri. "Nggak ada, Rin. Maafkan. Mas hanya terjebak dengan Bila. Nggak ada niat meninggalkanmu." "Bersenang-senang di luar dengan alasan cari hiburan, bosan, merasa terjebak lalu sadar dan pulang padaku? Aku bukan tempatmu pulang lagi, Mas. Kamu sudah mengkhianatiku." Rinjani menatap tajam Daffa, lantas hendak pergi tapi lengan kokoh itu menahannya. "Lepaskan aku." Rinjani mengibaskan lengannya, tapi gagal. "Dengarkan dulu, Please!" Daffa benar-benar memohon. "Saat kamu memergoki kami, waktu itu aku datang menemui Bila untuk memintanya jangan mencariku lagi, tapi ...." "Aku nggak ingin mendengarnya," potong Rinjani sambil mendongak dan menatap lekat sepasang mata yang memandangnya putus asa. Apa Daffa tahu betapa hancur hatinya ketika melihat dengan jarak yang begitu dekat, bagaimana perempuan itu mengeratkan pelukannya. "Rin." "Kamu sudah mengkhianati pernikahan kita, kamu mengingkari janjimu sendiri. Aku nggak percaya lagi padamu." Keduanya saling berpandangan. Seperti sepasang musuh yang sedang adu kekuatan. Daffa lengah, cekalannya mengendur dan sekali hentak lengan Rinjani terlepas. Namun tubuh tegap itu dengan cepat menghadang Rinjani yang hendak keluar. "Biarkan aku keluar." "Nggak. Kita perlu bicara dan kamu harus mendengarku." Rinjani menahan murka. Dia harus bisa mengendalikan diri supaya jangan sampai keceplosan ingin bercerai. Agar mempermudah menemukan buku nikah yang disembunyikan oleh suaminya. "Aku nggak ingin mendengar alasan klise-mu, Mas. Itu pembelaan diri dikala perselingkuhan sudah diketahui pasangan. Sekali playboy tetap playboy. Mas, nggak akan berubah. Dan satu lagi, aku kecewa dengan papa. Anaknya yang berulah, aku yang disalahkan. Biarkan aku keluar. Aku nggak akan sekamar denganmu." Daffa bergeming. Menjebak Rinjani di antara tempat tidur dan meja rias. Lengan lelaki itu menggamit pinggang istrinya, tapi di tepis oleh Rinjani. "Jangan sentuh aku." "Aku mencintaimu." Tawa penuh luka Rinjani pecah menggema dalam kamar yang kedap suara. Untung kedap suara, jadi tidak sampai terdengar hingga keluar. "Kamu mesti belajar lagi apa itu mencintai, Mas. Karena mencintai tidak akan pernah menduakan dan mengkhianati." "Maafkan mas, Dok." Daffa merengkuh tubuh Rinjani yang lebih langsing karena kehilangan berat badan selama di tahanan. "Lepaskan!" Rinjani berkata tegas sambil mengacungkan gunting yang sempat ia sambar dari meja rias. Namun Daffa bergeming. Dia tidak takut dengan benda itu. "Lepaskan atau ...." "Lakukan saja jika dengan cara itu kamu bisa memaafkanku. Tapi aku nggak akan melepasmu," sahut Daffa cepat. Netra laki-laki itu memerah dan benar-benar terlihat sangat frustasi. Daffa tahu, walaupun tidak mengatakannya, Rinjani pasti merencanakan untuk meninggalkannya dengan perceraian. Dan ia tidak akan membiarkan. Rinjani menjatuhkan benda itu ke lantai. Netranya dipenuhi buliran bening yang merambat turun ke pipinya. Daffa hendak menghapus tapi Rinjani bergerak mundur. "Jangan tinggalin mas, Rin. Dia bukan apa-apa bagi, Mas. Kamu dan Novallah segalanya." "Buaya kamu, Mas." "Terserah apapun yang kamu katakan, mas nggak akan membiarkanmu pergi." Daffa bergerak mundur ke pintu lantas menguncinya. Menyimpan kunci ke saku celana. Harus nekat kalau tidak ingin Rinjani terlepas. Terserah istrinya berpikiran bagaimana, yang pasti dia tidak ingin kehilangan dokter Rin dan si kecil Noval. "Kenapa menguncinya. Aku ingin keluar dan tidur dengan anakku," protes Rinjani menatap marah pada suaminya. "Kita bicara dulu!" Rinjani luruh terduduk di lantai dan memeluk lututnya. Daffa juga duduk di sampingnya. "Mas nggak ingin kehilanganmu dan Noval. Mas mengaku salah. Juga jangan pikirkan perkataan papa." Rinjani bungkam. Kembali terngiang ucapan papa mertuanya yang begitu jelas di ingatan. Sakit sekali rasanya. Dia dihukum karena kesalahan orang lain. Daffa meraih tangannya, tapi Rinjani menepis. Daffa menarik napas panjang. "Mas tahu kesalahan ini fatal, Rin. Tapi ketahuilah kalau mas ingin meninggalkannya, tapi dia selalu mengancam. Memberitahu padamu tentang hubungan ini." "Tanpa diberitahu oleh kekasih gelapmu, aku sudah tahu semuanya, Mas. Chat kalian sudah menjelaskan segalanya." Wajah Daffa pias saat memandang istrinya. Jadi, apa Rinjani menyadap ponselnya. "Aku nggak nyadap ponselmu, aku membacanya langsung ketika Mas sakit dua hari dan perempuan itu kebingungan mencarimu. Cinta banget ya dia sama kamu, Mas," sindir Rinjani. Daffa kian pias. Jadi Rinjani membaca semua chat dari Abila?"Nggak usah cemas gitu. Aku sudah nggak shock lagi sekarang. Bahkan aku sudah siap jika pernikahan kita selesai." Ucapan Rinjani membuat Daffa menatapnya tajam. Wanita itu berdiri. "Mana kuncinya, Mas. Aku mau keluar. Aku nggak bisa sekamar lagi denganmu.""Jangan seperti ini, Mas. Kita bisa bersikap secara dewasa menghadapi kemelut ini. Biarkan aku keluar menemani Noval." Suara Rinjani melembut dan berkata bijak saat melihat Daffa masih diam.Rinjani sendiri yang memilih Daffa dan mengabaikan beberapa nasihat temannya. Ia juga yang memutuskan untuk menerima lamaran dan hidup bersama dengan lelaki ini. Jadi ada permasalahan apapun ia harus bisa mengatasinya sendiri."Mas."Akhirnya Daffa bangkit setelah beberapa saat membiarkan istrinya menunggu. "Tidurlah di sini, mas akan tidur di sofa. Katamu baru saja, kita harus bersikap dewasa, kan? Lagian di kamar Noval hanya ada satu tempat tidur yang dipakai Lastri. Kamu nggak mungkin tidur di lantai.""Sebulan lebih aku sudah terbiasa tidur
RINDU YANG TERLUKA - Ancaman Siapa orang yang menginginkan dirinya hancur? Kekasih gelap suaminya kah? Rinjani selama ini merasa tidak punya musuh, kecuali wanita itu.Saran dokter Ratih tepat. Lebih cepat lebih baik ia segera menulis surat pengunduran diri. Sekarang saja mumpung Noval belum pulang sekolah. Rinjani berbalik arah dan kaget saat tubuhnya menabrak sang suami. Keduanya saling pandang. Kenapa suaminya tidak ke kantor setelah mengantarkan sang anak ke sekolah? Malas bertegur sapa, Rinjani melangkah keluar. Hendak mengambil laptop di ruang kerja suaminya untuk membuat surat pengunduran diri sebelum terlambat.Daffa tersenyum. "Mas ingin mengajakmu jalan pagi ini sambil nunggu jam Noval pulang sekolah. Nanti kita jemput dia. Noval pasti seneng banget."Rinjani tidak menjawab. "Rin." Daffa menahan sang istri ketika wanita itu hendak melangkah. Menarik raga ramping Rinjani hingga merapat tubuhnya. Dan wanita itu masih tetap diam meski tangannya berusaha melepaskan diri. "P
"Iya, Dok. Lebih cepat lebih baik sebelum keduluan pihak rumah sakit memberhentikan, Dokter. Tampaknya ada satu kekuatan yang mempengaruhi pimpinan kita untuk melakukan pemberhentian tidak hormat pada, Dokter Rin. Kebetulan suami saya yang mendengar pembicaraan itu. Dia ngasih tahu saya, terus saya sampaikan ke Anda. Walaupun saya mikirnya, mungkin tidak akan dokter baca karena Dokter masih di tahanan. Tapi syukurlah Dokter Rin sudah di rumah."Sebenarnya, rekan-rekan kita di sini bisa memaklumi apa yang Dokter Rin lakukan. Namun kami tidak punya kuasa untuk membela. Keputusan tetap ada pada pihak direktur kita. Percayalah, Dok. Nggak ada yang menyalahkan tindakan spontanmu. Kami sangat paham situasimu saat itu.""Makasih banyak, Dok." Rinjani terharu. Rupanya mereka bisa mengerti posisinya."Yang sabar, Dok. Anda masih muda. Tetap semangat dan lanjutkan karir Anda di tempat lain. Semoga lebih sukses.""Aamiin. Makasih, Dok.""Sama-sama. Nanti ada waktu kita ketemuan, ya.""Baik, Dok.
RINDU YANG TERLUKA - Surat Suara ketukan di pintu membuat Daffa dan Rinjani menoleh. Lelaki itu bergerak membukanya. Lastri sudah berdiri di sana sambil menyodorkan sebuah amplop. "Ada surat untuk Ibu, Pak.""Makasih." Daffa terkesiap melihat siapa pengirimnya.Setelah menutup pintu Daffa kembali menghampiri istrinya. Rinjani berdebar-debar. Sekilas terlihat dia tahu surat itu dari mana."Berikan padaku. Itu surat untukku dari rumah sakit." Perasaan Rinjani sudah tak enak. Jemarinya gemetar. Namun ia harus kuat. Daffa pun merasakan hal yang sama. Makanya dia ragu untuk memberikan surat itu pada istrinya. Rinjani yang tidak sabar, mengambilnya dari tangan sang suami. Dengan perasaan tak karuan dan jemari gemetar ia membuka amplop.Pemberhentian Kerja. Ternyata surat itu lebih dulu ia terima disaat belum selesai menulis surat pengunduran diri. Netra Rinjani mengembun. Luka tak berdarah tapi bernanah.Sejenak Rinjani diam mengatur napas usai membaca isinya. Dipuncak rasa sakit dan kec
"Saya sudah diberhentikan, Tan. Barusan saya nerima suratnya pada saat masih mengetik surat pengunduran diri. Saya terlambat." Rinjani terisak sambil bercerita pada Bu Mila di telepon."Sabar, Rin. Pasti ada hikmah dibalik peristiwa ini. Setiap kejadian tidak ada yang sia-sia. Pasti Tuhan memberikan rencana lain padamu meski dengan cara membiarkanmu jatuh lebih dulu. Percayalah, ini bukan akhir dari karirmu. Perbanyak istighfar. Kamu akan mendapatkan jalan keluar. Mantan narapidana pun masih memiliki hak untuk bekerja. Sabar, ya.""Negara memang memberikan peluang, Tan. Tapi bagaimana dengan instansi dan para pasien. Apa masih bisa mempercayai saya.""Jangan khawatir. Jika mereka tahu cerita yang sebenarnya, pasti bakalan dimengerti.""Maafkan saya, Tan. Belum bisa membalas budi pada Tante Mila dan Om Haslam. Justru sekarang saya menambah masalah.""Sssttt, jangan bicara seperti itu. Om dan tante tahu bagaimana kamu. Nggak mungkin akan bertindak di luar kontrol jika tanpa sebab.""Say
RINDU YANG TERLUKA - Penolakan "Rin, kamu nggak makan?" tanya Daffa saat melihat Rinjani hanya menyuapi Noval dan tidak mengambil nasi untuknya sendiri."Nanti," jawab Rinjani lirih.Noval makan dengan lahap. Binar itu tak lekang dari wajahnya semenjak sang mama kembali ke rumah. Dia sangat ceria dan bersemangat. Lantas, apa Rinjani tega merenggut kebahagiaannya. Jika bertahan, apa dia sanggup? Di usianya yang sekarang apa Noval mengerti apa itu perceraian?"Udah, Ma. Noval udah kenyang." Bocah lelaki itu mengusap-usap perutnya. Rinjani menghabiskan sisa nasi sang anak yang hanya tinggal tiga suapan. Setelah itu dia bangkit untuk mencuci tangan di kitchen sink.Daffa memperhatikan. "Rin, makan dulu.""Aku sudah kenyang," jawab Rinjani tetap tanpa menatap suaminya. Wanita itu kembali duduk dan memberi minum pada putranya.Mana mungkin kenyang kalau makan hanya tiga suapan.Selesai makan, Noval mengajak mamanya belajar di kamar. Lastri menepi di ruangan bawah bersama Mak Sum sambil me
Rinjani menepikan ego demi mental anaknya. Bertiga bercanda seolah tidak terjadi apa-apa. Dan bersandiwara seperti ini sungguh tak mudah sebenarnya. Melawan rasa sakit yang berontak dalam dada.Jam sembilan malam Noval sudah terlelap. Rinjani yang tengah membereskan perlengkapan menggambar, tangannya di tarik pelan oleh Daffa. "Biar dibereskan Lastri. Ada yang perlu mas bicarakan denganmu."Sejenak Rinjani diam, lantas melepaskan cekalan tangan Daffa. Tapi pada akhirnya ia melangkah keluar juga. Persoalan tidak akan terurai jika hanya diam. Waktunya bicara, karena Rinjani tidak ingin pergi dari rumah ini tanpa pamit pemiliknya. Pria yang sangat ia cintai dan telah menorehkan luka terdalam di jiwanya. Andai harus berakhir, jangan sampai meninggalkan sengketa.Daffa menutup pintu kamar. Rinjani merapatkan gorden jendela kemudian duduk di kursi meja rias. Daffa duduk tepat di hadapannya di tepi ranjang.Jika ia jujur sekarang, bukankah lebih mempersulit keadaan. Tapi bagaimana caranya ia
RINDU YANG TERLUKA - Aku yang Salah"Aku bisa menjadi istri yang taat, Mas. Apabila Mas pun bisa menjadi imam yang kokoh bagi makmumnya. Selama kita menikah, mana pernah aku membantahmu."Tapi Mas sudah mengkhianati pernikahan kita. Mas, lupa komitmen yang kita bangun dari sebuah cinta. Keluarga kecil kita ternyata tidak bisa membuatmu berhenti. Kamu tak cukup hanya dengan satu wanita."Daffa menatap frustasi pada istrinya saat Rinjani terus berbicara tentang kesalahannya dan berusaha mengelak dengan menahan dadanya. Semua kata-kata menusuk tepat di jantung, tapi tidak menyurutkan 'keinginan' yang kian menggebu."Rin," desis Daffa yang benar-benar sudah membara.Rinjani puas melihat Daffa yang belingsatan. Apa setelah penolakannya, sang suami akan menggila di luar? Mencari perempuan itu, mungkin."Kamu memang begitu sempurna, Rin. Suamimu ini yang bajing4n. Namun lelaki brengs3k ini, nggak akan melepasmu. Maafkan mas.""Egois kamu, Mas.""Aku mencintaimu," ucap Daffa dengan netra mem