"Honey, halo ....""Rin," panggil Daffa berulang. Kemudian mencoba menelepon lagi tapi tidak dijawab. Kecemasan melanda. Pasti terjadi sesuatu. Entah ada pasien baru masuk atau ... oh tidak. Semoga tidak terjadi apa-apa dengan Rinjani.Menelepon dan menelepon lagi tapi tetap sepi. Daffa gusar dalam ruangan. Lantas berinisiatif menghubungi Lastri."Assalamu'alaikum, Pak Daffa.""Wa'alaikumsalam, Tri. Kalian di rumah baik-baik saja, kan?""I-iya, Pak. Kami baik-baik saja. Mas Noval lagi bobok siang, terus ibu masih di klinik. Memangnya ada apa, Pak?""Oh ya sudah. Nggak apa-apa." Daffa menyudahi panggilan. Agak lega. Kalau terjadi sesuatu dengan Rinjani, Lastri sudah diberitahu oleh pihak klinik. Bahkan dirinya pun pasti di telepon.Belakangan ini Daffa memang gampang sekali cemas semenjak Rinjani hamil lagi. Padahal Rinjani sendiri juga pandai-pandai mengendalikan emosi diri. Antara rindu ingin dimanja sang suami, tugas harian sebagai tenaga kesehatan, juga morning sickness yang terkad
Sinta bungkam. Sepertinya dia kebingungan hendak cerita. Tapi disisi lain, Sinta tidak ingin sahabatnya kembali dikhianati, terlebih sekarang tengah hamil. Semoga saja pemikirannya salah, Daffa tidak kembali mengulangi kesilapan yang sama."Bener ya, Sin. Ini karena Mas Daffa." Jantung Rinjani berdetak hebat. Suaranya juga bergetar. Perasaannya mulai nyeri."Katanya hanya salah paham, Rin. Padahal Trecy nggak ada hubungan apapun dengan Daffa. Coba kamu tanyakan ke Daffa. Kalau sampai dia macam-macam lagi sama kamu. Aku yang bakalan pertama kali ngamuk sama dia. Tapi menurutku kejadian itu beneran hanya salah paham saja. Abila kan memang sakit jiwa. Udah dulu ya, Rin. Entar ada waktu kita sambung lagi. Aku mau siap-siap berangkat ke kantor. Ada meeting pagi ini.""Oke, Sin. Makasih banyak udah ngabari aku.""Yup. Jaga kehamilanmu baik-baik. Kalau longgar nanti kutelepon lagi. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Rinjani masih duduk di ruang makan. Berusaha menetralisir perasaannya. N
RINDU YANG TERLUKA- Baby GirlDaffa bangkit dari kursi teras saat motor Rinjani memasuki pekarangan. Lega melihat mereka pulang. Walaupun khawatir, ia yakin Rinjani tidak akan membuat drama kabur-kaburan. Rinjani tidak seperti itu. Lastri nyetir, sedangkan Rinjani yang dibonceng bersama Noval."Biar mas yang gendong Noval." Daffa membopong putranya yang duduk di tengah dan tertidur pulas. Rinjani membuka pintu rumah, sedangkan Lastri membawa barang belanjaan.Noval ditidurkan di kamar. Rinjani ke dapur membuatkan minum. "Mas, udah lama nunggu?""Setengah jam. Mas nyariin kamu ke klinik tadi. Suster di sana bilang kamu sudah pulang jam empat sore."Segelas teh diletakkan Rinjani di atas meja. "Mas sudah makan?""Belum. Dari kantor mas langsung ke mari.""Kami tadi nggak masak. Aku gorengin telur ceplok saja kalau gitu. Seharian ini Lastri juga sibuk di sekolahan Noval, bantuin bikin hiasan untuk acara karnaval." Sambil menyiapkan lauk, Rinjani bercerita.Begini saja membuat Daffa be
"Aku kepleset dan hampir jatuh di klinik kemarin pagi. Makanya langsung dilakukan USG oleh dokter Yuni."Wajah Daffa berubah tegang. "Gimana bisa kepleset?""Lantai licin dan aku tergesa-gesa.""Mas tahu banyak pasien darurat atau butuh tindakan segera. Tapi kamu sendiri harus mikir keselamatan sendiri. Kejadiannya apa saat mas menelepon kemarin?""Bukan. Waktu mas nelepon kemarin ada pasien kritis baru sampai. Tapi langsung dirujuk ke rumah sakit."Beberapa menit keduanya terdiam. "Mas minta maaf atas peristiwa di restoran beberapa waktu lalu. Sumpah mas tidak tahu sama sekali, Rin. Trecy itu perwakilan dari perusahaan yang menjadi partner bisnis kami. Nggak ada hubungan apa-apa antara mas sama dia, selain rekan kerja." Daffa tidak memberitahu istrinya kalau gadis itu berusaha menarik perhatiannya. Yang jelas dia tidak pernah menanggapi dan gadis itu sendiri tidak bertindak kelewat batas seperti Abila.Jadi peristiwa siang itu murni karena Abila yang terhanyut oleh arus perasaannya
"Aku nggak boleh terlambat ke klinik, Mas." Rinjani melepaskan tangan suami dan melawan keinginannya sendiri. Karena ingat kalau hari ini dokter Hernin sedang cuti. Jadi banyak pasien yang harus diurusinya."Oke. Sore nanti mas ngajak kalian ke Batu melihat kantor baru.""Iya," jawab Rinjani mengambil baju dinasnya di lemari. ***L***Kantor baru Jaya Gemilang ll lumayan besar dan sudah siap diresmikan. Semua fasilitas untuk kantor dan ruang pribadi bagian atas sudah lengkap semua. Terdiri dari tiga lantai. Lantai 1 dan 2 untuk kantor, sedangkan di lantai tiga ada dua kamar tidur. Satu kamar milik Daffa dan satunya lagi bisa digunakan siapa saja. Tentu bukan untuk karyawan, tapi untuk keluarga yang berkunjung ke sana. Dari jendela kamar, pemandangan kota batu di malam hari terlihat sangat cantik. Lampu-lampu seolah menghiasi perbukitan di bawah sana. Konstur tanah yang tidak rata, menyebabkan lampu-lampu pada bangunan di sana terlihat sangat artistik."Tak salah kamu memilih kota in
RINDU YANG TERLUKA - Satu Hari di SanteraPagi yang dingin. Kabut masih tampak pekat saat jendela di buka. Ika merapatkan jaketnya, berdiri di dekat jendela ruang tengah. Di mana dia tidur berjajar dengan Irene dan anak-anak di atas springbed lantai yang dibentang di ruang tengah. Sedangkan Radit tidur di kursi ruang tamu. Pak Farhan dan Bu Tiwi tidur di kamarnya Noval. Sementara keluarga Pak Haslam langsung pamit kembali ke Surabaya tadi malam setelah selesai acara. Suasana masih gelap, tapi suara kicau burung sudah terdengar di halaman samping. Sangat merdu mewarnai pagi yang tenang. Ika jatuh cinta dengan suasana seperti ini. Sungguh jauh berbeda dengan tempat tinggalnya di kota. Pilihan Rinjani menetap di sini tidak salah. Tinggal di pedesaan yang penuh ketenangan. Ika menghirup udara segar dalam-dalam. Di ujung sana, tampak seorang laki-laki tengah jogging dengan anak perempuannya. Duda yang semalam diceritakan oleh adiknya."Duren, Mbak. Waktu kutanya kemarin, Daffa ngasih t
"Sama papa saja main ke sana Minggu depan. Nggak enak nanti ngrepotin Bu Dokter." Reza bicara sambil memegang lengan putrinya. Ia merasa tak enak hati, liburan keluarga itu harus dicampuri Nasya.Wajah Nasya berubah sendu. Sedih karena dilarang oleh papanya. Sejak kecil Nasya diajarkan supaya tidak membantah ucapan orang tua. Makanya meski kecewa, gadis itu menunduk diam."Tidak apa-apa, Pak Reza. Biar Nasya ikut kami. Anak-anak biar senang bisa bermain bersama." Daffa tiba-tiba muncul di sana. Membuat Reza dan Nasya menoleh. Rinjani memang meminta suaminya untuk mengikuti Nasya pulang. Sebab sudah menduga kalau Reza tidak bakalan mengizinkan dengan alasan tak enak hati."Saya khawatir nanti Nasya merepotkan, Mas Daffa.""Tidak sama sekali. Itu anak-anak sudah menunggu di mobil."Reza akhirnya mengizinkan putrinya ikut. Sontak membuat wajah bocah perempuannya berubah ceria. Dia meminta ART-nya untuk menyiapkan baju ganti buat Nasya.Ransel kecil itu sudah di gendong di punggung Nasya
Kandungan Rinjani sudah memasuki usia delapan bulan. Namun dia tetap energik dan masih bersemangat bertugas di klinik meski tengah sarat mengandung. Daffa juga sudah menetap di Malang dua bulan ini. Pagi berangkat ke kantor dan sampai rumah sekitar jam lima sore. Tapi kalau banyak pekerjaan, baru pulang ke rumah jam delapan malam. Tiap akhir pekan membawa istri dan anaknya menginap di Batu.Mereka juga sudah membeli rumah baru. Tidak jauh dari klinik. Sekarang sedang di renovasi dan akan di tempati setelah anak kedua mereka lahir."Girl, papa berangkat kerja, ya." Daffa yang sudah berpakaian rapi mengecup perut istrinya. Dia selalu pamitan pada baby girl yang masih berada di perut Rinjani.Pria itu tersenyum saat tangannya merasakan sundulan dari dalam. Kalau sudah begini, Rinjani hanya bisa geleng-geleng kepala. Sedekat apa mereka nanti. Masih di perut saja, sang anak sudah kegenitan sama papanya. Siap-siap saja Rinjani untuk bersaing dengan anak perempuannya sendiri."Hari ini jadw