"Sama papa saja main ke sana Minggu depan. Nggak enak nanti ngrepotin Bu Dokter." Reza bicara sambil memegang lengan putrinya. Ia merasa tak enak hati, liburan keluarga itu harus dicampuri Nasya.Wajah Nasya berubah sendu. Sedih karena dilarang oleh papanya. Sejak kecil Nasya diajarkan supaya tidak membantah ucapan orang tua. Makanya meski kecewa, gadis itu menunduk diam."Tidak apa-apa, Pak Reza. Biar Nasya ikut kami. Anak-anak biar senang bisa bermain bersama." Daffa tiba-tiba muncul di sana. Membuat Reza dan Nasya menoleh. Rinjani memang meminta suaminya untuk mengikuti Nasya pulang. Sebab sudah menduga kalau Reza tidak bakalan mengizinkan dengan alasan tak enak hati."Saya khawatir nanti Nasya merepotkan, Mas Daffa.""Tidak sama sekali. Itu anak-anak sudah menunggu di mobil."Reza akhirnya mengizinkan putrinya ikut. Sontak membuat wajah bocah perempuannya berubah ceria. Dia meminta ART-nya untuk menyiapkan baju ganti buat Nasya.Ransel kecil itu sudah di gendong di punggung Nasya
Kandungan Rinjani sudah memasuki usia delapan bulan. Namun dia tetap energik dan masih bersemangat bertugas di klinik meski tengah sarat mengandung. Daffa juga sudah menetap di Malang dua bulan ini. Pagi berangkat ke kantor dan sampai rumah sekitar jam lima sore. Tapi kalau banyak pekerjaan, baru pulang ke rumah jam delapan malam. Tiap akhir pekan membawa istri dan anaknya menginap di Batu.Mereka juga sudah membeli rumah baru. Tidak jauh dari klinik. Sekarang sedang di renovasi dan akan di tempati setelah anak kedua mereka lahir."Girl, papa berangkat kerja, ya." Daffa yang sudah berpakaian rapi mengecup perut istrinya. Dia selalu pamitan pada baby girl yang masih berada di perut Rinjani.Pria itu tersenyum saat tangannya merasakan sundulan dari dalam. Kalau sudah begini, Rinjani hanya bisa geleng-geleng kepala. Sedekat apa mereka nanti. Masih di perut saja, sang anak sudah kegenitan sama papanya. Siap-siap saja Rinjani untuk bersaing dengan anak perempuannya sendiri."Hari ini jadw
RINDU YANG TERLUKA - Kontraksi"Kayaknya baju ini pas buat Nasya, Pak Reza." Ika menunjukkan dress warna merah jambu bergambar kuda poni pada Reza.Selesai makan di kafe, mereka jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Membelikan baju buat anak-anak."Nasya dan Altha tidak beda jauh postur tubuhnya. Tapi dia suka gambar apa?""Kuda poni juga suka," jawab Reza yang akhirnya menyetujui pilihan Ika. Wanita itu memilih beberapa pakaian untuk anak-anak. Kemudian pindah ke toko aksesoris membeli jepit rambut, ikat rambut, dan aneka jenis printilan anak-anak. Tak lupa dia juga membeli baju untuk Noval dan kado buat baby girl yang sebentar lagi lahir.Ika juga membantu Reza memilih kado buat calon adiknya Noval."Tinggal menghitung hari dokter Rin akan lahiran, Mbak," kata Reza saat mereka duduk di bangku logam di koridor mall."Iya. Usia kandungannya sudah delapan bulan sekarang." Ika cerita sekilas tentang sosok Rinjani. Bagaimana ia berjuang sendiri untuk menjadi dokter tanpa dampingan orang t
"Minta tolong ke Daffa untuk mencarikan tempat tinggal. Kamu juga bisa memboyong ART-mu pindah ke sana. Jadi ada yang ngawasi anak-anak kalau kamu tinggal kerja. Kalau capek nyetir sendiri, kamu bisa cari sopir. Rin pasti sudah kenal baik orang-orang di sana.""Ya, Pa. Besok aku telepon Daffa.""Jangan khawatir, kami akan sering-sering nyambangi kalian," ujar Bu Tiwi yang sejak tadi hanya mendengarkan."Kita majukan JG di Malang, Ka. Sudah waktunya kita bangun bisnis sendiri meski tetap dibawah nama Jaya Gemilang. Papa sudah ngobrolin ini bersama Daffa, Iren, dan Radit."Biar Iren dan Radit tetap di Surabaya bersama papa. Tidak mungkin kita semua meninggalkan kantor pusat. Papa percaya pada kemampuanmu dan Daffa untuk membawa Jaya Gemilang ll berjaya."Ika mengangguk. Ucapan sang papa menjadi pengobar semangatnya. Selama ini dia tidak pernah punya pemikiran meninggalkan Surabaya. Tapi keadaan membawanya harus membuat keputusan. Memulai langkah baru bersama anak-anak di kota dingin itu
Kegemaran Daffa semenjak Rinjani hamil lagi adalah memperhatikan baby bump-nya. Dengan daster selutut dan perut buncit, terlihat istrinya sangat s*ksi. Daffa bersaing sama Noval mengelus-elus bayi perempuan di dalam sana. Noval juga senang sekali memeluk perut mamanya. Terkadang Rinjani merasa risih."Honey, do you know?""Apa!" jawab Rinjani sambil mengaduk teh sore itu. Daffa yang berkeringat sehabis olahraga, duduk di hadapannya."You look so hot.""Jangan bilang mau ngajak ke kamar sore-sore begini," cercah Rinjani.Daffa tertawa. Istrinya sudah hafal di luar kepala tentang kebiasaannya yang tak kenal waktu."Btw, Mbak Ika jadi pindah ke Pujon?""Iya. Dengan beberapa pertimbangan, dia lebih memilih tinggal ke sini daripada di Batu. Biar Mbak Ika dan anak-anak menempati rumah ini saja daripada nyari rumah lain. Nanti mas yang akan nemui pemiliknya untuk sambung kontrak. Kamu nggak apa-apa kan tinggal deketan sama Mbak Ika?"Rinjani menggeleng sambil meletakkan teh di hadapan suami
RINDU YANG TERLUKA - Menikahlah Denganku Suara tangis bayi perempuan membuat Daffa bernapas lega, terharu, dan menangis. Dipeluknya erat Rinjani yang mandi keringat dan masih lemas. "Thank's, Honey."Rinjani tidak bisa menjawabnya. Dia masih mengatur napas dan meneteskan air mata. Daffa mengusap air bening di sudut netra istrinya.Bidan Anis pun lega. Persalinan dokter Rin sangat lancar. Tadi tegang gara-gara Daffa yang menunggui membuatnya serba salah. Diperhatikan semua tindakannya.Ketika Daffa melakukan skin to skin dengan baby girl-nya, dokter Yuni masuk. Wanita itu menghampiri pasien sekaligus rekan dokternya. "Kenapa dokter Rin nggak nelepon saya tadi?""Nggak apa-apa, Dok. Sudah ada bidan Anis yang bantu saya. Alhamdulillah, persalinan saya lancar.""Alhamdulillah." Dokter Yuni mengambil sarung tangan dan memakainya. Dia berkata pada bidan Anis untuk mengurusi si kecil sedangkan dirinya melakukan perawatan pada Rinjani. Dokter yang lebih tua beberapa tahun dari Rinjani, kemu
Ika kembali ke rumah Daffa. Bersama-sama dengan Irene dan Lastri membersihkan dan menata rumah, karena siang nanti Rinjani dan baby-nya sudah boleh pulang. Sementara anak-anak asyik bermain di halaman rumah Bu Murti. "Za, Mbak Ika sepertinya cocok sama kamu." Bu Tiwi menghampiri dan duduk di sebelah putranya yang tengah mengawasi anak-anak bermain."Status kalian jelas, usia juga seimbang. Apa kamu nggak ingin mempertimbangkan untuk mendekatinya. Sudah cukup kamu membuktikan menjadi ayah yang baik buat Nasya, juga anak yang berbakti pada mama. Sekarang pikirkan kehidupanmu sendiri. Menikahlah lagi. Kalau mama nggak ada, kamu dan Nasya punya keluarga."Reza diam."Anak-anak terlihat sangat dekat. Nasya juga bahagia berkumpul dengan mereka. Tunggu apalagi? Mbak Ika akan pindah ke Pujon, kan? Ini kesempatanmu. Jangan pikirkan tentang mama. Mama sudah tua, Za. Sedangkan masa depan kamu dan Nasya masih panjang.""Mama, juga masa depan bagiku. Untuk akhiratku. Siapapun wanita itu, tidak h
"Sebulan sejak kejadian hari itu, mereka pindah, Mas. Entah pindah ke mana kami nggak tahu." Pemilik warung sebelah SPBU menjawab saat ditanya Daffa. Dia mengajak kakaknya mampir di sana."Optik yang di sini juga tutup," lanjut wanita itu."Bagaimana dengan kehamilan Utari, Bu?" tanya Ika. "Seminggu setelah penggerebekan, Tari keguguran. Entah gugur sendiri atau digugurkan. Mereka pindah karena Bu Utami juga diancam oleh anak-anak dari pria yang melihara dia."Daffa dan Ika pamitan setelah beberapa lama singgah untuk makan dan minum kopi. Mereka kembali ke kantor."Sekarang tidak ada yang perlu Mbak resahkan. Orang-orang itu sudah tidak ada di sini," kata Daffa dalam perjalanan."Tapi anak-anak sudah nyaman tinggal di Pujon, Daf. Mereka sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan di sana. Jadi Mbak nggak kepikiran lagi untuk membawa mereka pindah ke Batu."Di sana lebih tenang. Zahra dan Altha bisa ngaji dan les berangkat sendiri naik sepeda, tanpa Mbak was-was dan khawatir. Si mbak han