Bagi orang lain, mungkin keputusan Bu Tiwi begitu bodoh. Kenapa bertahan dan tidak pergi saja meninggalkan suami yang sudah tega berbagi raga dan rasa pada wanita lain. Sekarang untuk kedua kalinya ia mengizinkan sang suami menemui wanita yang sudah membuatnya terluka. "Papa nggak akan pergi ke manapun, Ma. Kalau ini dosa besar, biarlah papa yang menanggungnya. Papa akan tetap di sini bersama kalian." Pak Farhan bicara sambil menunduk. Tak sanggup lagi bertentang mata dengan istrinya."Bertaubat, Pa. Masih ada kesempatan untuk kita menebus dosa pada Allah. Allah maha pemaaf, tapi kesalahan pada manusia, hanya akan diampuni jika orang yang kita sakiti juga memaafkan. Temui mereka dan minta maaflah!"Pak Farhan terhenyak. Terbuat dari apakah hari istrinya. Setelah disakiti sedemikian rupa, masih juga sudi mengingatkan dan membimbingnya.Untuk beberapa lama keduanya saling diam dan malam kian larut.Bu Tiwi masih menatap ke arah yang sama. Langkahnya sudah sejauh ini. Bertahan dalam luk
Turun dari mobil, Rinjani diam sejenak untuk menghirup udara di halaman rumah yang sudah berbulan-bulan ditinggalkan. Mereka disambut suka cita oleh Mak Sum. Lastri menangis bisa memeluk perempuan tua yang sudah dianggap seperti ibunya sendiri. Mak Sum juga mengendong Noval sebentar. Rinjani memberikan oleh-oleh khas Malang pada wanita yang sudah lama mengabdi pada keluarganya.Noval masuk ke kamarnya bersama Lastri. Bocah itu kangen dengan mainannya di sana."Kenapa nggak naik bis patas?" tanya Daffa setelah Rinjani selesai mandi dan salat zhuhur."Kami ketinggalan beberapa menit tadi. Sebab sampai terminal Arjosari sudah siang. Kalau nunggu bis patas berikutnya, kelamaan. Makanya naik yang ada saja. Lumayan tiga orang cuman bayar 60 ribu.""Astaga. Bikin mas cemas saja. Di telepon nggak ada yang ngangkat.""Ponselnya Lastri ketinggalan di rumah, Mas. Kalau ponselku memang ada di tas. Tapi aku silent. Mas, bilang tadi pagi ada meeting, kan? Kupikir nggak bisa jemput. Mas, juga ngasi
RINDU YANG TERLUKA - Cerita yang Sesungguhnya Cantik. Luka di pipi sudah lenyap berganti dengan pipi mulus tanpa cacat. Jemarinya lentik, kutek warna soft pink dengan hiasan manik-manik kecil yang berkilau saat jemarinya bergerak.Jadi ini alasan Abila menghilang beberapa minggu ini. Daffa bangkit dari duduknya. "Kita keluar." "Ke mana, Mas?"Tanpa mendengarkan pertanyaan gadis itu, Daffa terus melangkah melewati lorong untuk menuju lift. Bahaya sekali kalau mereka berbincang di ruangannya. Sesuatu yang tidak diduga bisa saja terjadi, bahkan mengancam rumah tangganya yang sudah tenang. Apalagi Rinjani ada di Surabaya sekarang. Daffa cemas.Beberapa staf diam-diam memperhatikan dengan ujung mata dari balik papan penyekat meja kerja mereka.Siapa yang tidak kenal Abila dan hubungan yang sempat membuat kantor heboh beberapa bulan yang lalu. Semua karyawan tahu kisah bos mereka dengan gadis cantik bertubuh aduhai. Tinggi semampai, putih, dan menawan.Daffa duduk di ruang tamu kantor.
Daffa menatap serius Abila. Rahangnya mengeras menahan amarah. "Bersumpahlah kalau aku memang melakukan itu padamu.""Ya, aku berani bersumpah," jawab Abila. Gadis itu berkata dengan suara penuh penekanan."Bersumpah demi Tuhan.""Jangan bawa Tuhan dalam perbuatan nista kita," sergah Abila."Jika demi kehormatanmu, pasti kamu berani menyebutnya, Abila. Kalau kamu tidak berani, apa yang kamu ucapkan hanyalah omong kosong."Gadis itu terduduk, menangis, dan membekap wajah dengan kedua telapak tangannya. Beberapa saat kemudian mengelap pipi dengan tisu yang diambilnya dari dalam tas. "Lelaki di mana-mana sama saja. Br*ngsek semuanya. Papaku, kamu, simpanannya mamaku, dan mereka-mereka itu, semua sialan. Hanya mau enaknya saja." Abila melempar kotak tisu di atas meja pada Daffa. Dan lelaki itu bergeming meski benda persegi mengenai lengannya."Mereka siapa? Katakan! Siapa orang yang merusakmu lantas kau limpahkan kesalahan itu padaku?" Daffa mulai mencerna kalau ada sesuatu yang tidak ber
"Kamu ingin pertanggungjawaban, kan. Ayo perjuangkan. Kalau hal itu benar, kenapa nggak mau mengucapkannya. Kamu butuh tanggungjawab Daffa, bukan?" Teddy yang sejak tadi diam akhirnya ikut bicara. Geram juga mendengar percakapan yang muter-muter tidak jelas."Ngomong saja. Kenapa takut. Kalau Mas Daffa memang telah menodaimu. Aku akan mundur. Silakan kalian menikah," ujar Rinjani yang membuat Daffa menatapnya tajam. Lelaki itu tidak terima dengan perkataan istrinya. Bagaimana kalau Abila nekat. Bisa hancur semuanya.Teddy juga memandang Rinjani. Dia pun merasa khawatir."Bersumpahlah demi Tuhan dan kitab sucimu, Bila. Ayo, biar kami semua mendengarnya. Biar lekas selesai permasalahan ini. Kuambilkan mushaf di Mushola." Teddy bangkit dari duduknya. Sedangkan Daffa diam. Sudah pasrah dengan apa yang terjadi."Tunggu!" Abila menahan Teddy yang hendak berdiri. Wanita itu menangis terisak-isak sambil menutup wajahnya.Rinjani membuang pandang, sedangkan Daffa mulai lega. Ia yakin kalau ini
RINDU YANG TERLUKA- Lelaki Itu Ponsel kembali berpendar setelah lima menit diletakkan di sebelahnya. Sekarang mamanya yang menelepon. Abila malas hendak menjawab. Kadang benci sekali berhadapan dengannya. Wanita yang memburu kesenangan sendiri tanpa mempedulikan bagaimana anaknya.Sejak orang tuanya bercerai, Abila dirawat oleh kakek dan neneknya. Itu pun di bawah pengawasan pengasuh. Entah berapa kali ganti pengasuh karena mereka tidak betah dengan Abila yang nakal dan susah diatur.Di tengah rasa putus asanya, kadang ia berpikir kenapa tidak mati saja sedari kecil. Hidup bergelimang harta tak menjamin dia bahagia. Apapun bisa dibeli, tapi tidak bisa membeli kasih sayang dan waktu orang tuanya. Mereka sibuk dengan kehidupannya masing-masing. Membiarkan Abila membesar hanya cukup dengan uang dan pengawasan kakek serta neneknya. Miris.Ia mulai mengalami gangguan mental semenjak kelas enam SD. Beranjak remaja dan butuh perhatian orang tuanya sendiri, Abila tidak mendapatkan hal itu.
Pandangannya di edarkan pada senja telah tenggelam. Rinjani berhenti dan duduk di halte. Tempat itu masih sama seperti beberapa tahun yang lalu, disaat dia bersama dengan beberapa rekannya menunggu angkutan kota setelah cuci mata di mall.Sinta. Dia tidak tahu kalau Rinjani ada di Surabaya. Kemarin sempat menelepon tapi lupa mau memberitahunya. Lagian waktu sangat terbatas. Kalau besok ada waktu, dia bisa langsung ke rumah sahabatnya untuk memberikan surprise.Ponsel di tasnya terus bergetar. Entah sudah berapa kali Daffa menelepon. Dari sekian banyak permasalahan yang dihadapi dalam hidup, tentang para pasien yang terkadang tidak manut, tentang kerabat pasien yang ngotot, marah, tidak terima, dan lain sebagainya. Namun tidak seberat permasalahan perselingkuhan suaminya. Ini tidak hanya menyakiti tapi mengoyak harga diri.Rinjani berdiri setelah halte mulai dipenuhi beberapa orang yang menunggu bis dan angkutan kota. Ia kembali ke parkiran mall untuk mengambil mobilnya. Setelah itu l
Daffa diam sejenak, kemudian menceritakan garis besar permasalahan kedua orang tuanya. Tentang perselingkuhan sang papa yang berujung balas dendam. Ini memalukan sebenarnya, tapi ia harus cerita. Mendengar itu, Rinjani menahan napas. Bisa merasakan betapa sakitnya menjadi Bu Tiwi. Ternyata perselingkuhan Pak Farhan lebih parah lagi. Namun bisa-bisanya papa mertuanya menyuruh mereka bercerai.Tadi sore waktu bertemu mama mertuanya, wanita itu biasa saja. Seperti tidak terjadi apa-apa. Mendekap Noval erat dan memeluknya dengan hangat. Begitu kuatnya setelah disakiti puluhan tahun.Tak terasa air mata Rinjani menetes. "Sudahlah, Mas. Nggak usah lanjutkan cerita itu. Biar diselesaikan sendiri oleh papa." Capek Rinjani mendengarnya. "Papa sebenarnya meminta kita ke rumahnya malam ini.""Aku lelah, Mas. Besok harus berangkat lebih pagi. Mau ketemuan sama dokter Ratih sebelum seminar di mulai. Nggak usah di antar. Aku bisa nyetir sendiri. Mas, juga sibuk kan.""Sebenarnya mas bisa menganta