Belum genap satu hari, tapi duniaku sudah seperti di penjara. Ke kantin sampai toilet tak bisa lepas darinya. Sebelumnya, aku bisa lolos dari cafe setelah jam kuliah berikutnya dimulai. Namun lolos dari cafe tak lantas membuatku bebas. Bahkan, hingga saat ini aku sudah di bus menuju pesantren pun Bang Lana terus mengikuti. "Udah dibilang naik sepeda aja malah naik bus," ocehnya berdiri di samping tempat dudukku. Bus lumayan ramai dan sedikit berdesakan. Sebagian penumpang harus rela berdiri termasuk Bang Lana yang masuk paling akhir. Tampaknya dia baru menyelesaikan pekerjaan sehingga sempat kehilangan jejak sebelum akhirnya melihatku menaiki bus menuju daerah pesantren."Salah sendiri ikut.""Kamu bisa lari kalau Abang nggak ikut. Memangnya kamu bisa lari dari Abang? Jangan harap, Gendis.""Ish, Abang."Ciiittt! Suara gesekan ban dan aspal terdengar tiba-tiba. Bus yang kami tumpangi mendadak berhenti, menimbulkan goncangan dan membuat penumpang tersentak, beruntung dengan sigap Ban
Berulang kali aku menghela napas dalam lalu membuangnya perlahan, dalam hati merutuki diri sendiri yang terlalu payah. Bagaimana tidak, bahkan baru sehari melihat dia tersenyum dengan layar seperti itu saja hatiku sudah terbakar apa lagi hidup bersama dan melihatnya tersenyum seperti itu setiap hari? Tampaknya usahaku menjauh untuk mengubur rasa dalam-dalam belum berhasil sepenuhnya atau bahkan cintaku semakin tumbuh tanpa aku sadari? Entahlah.Bertanya bukan solusi karena tak mungkin dia mengaku. Tapi menahannya di dalam sini rasanya lumayan nyeri."Gendis, taksi datang, ayo pulang," ajaknya tak lama setelah aku menghela napas panjang untuk mengurangi sesak yang terus memenuhi rongga dada. Ia bangkit mengulurkan tangan, membantuku untuk berdiri.Aku pun segera bangkit tanpa membalas uluran tangannya. Dia mencebikkan bibir lalu menurunkan tangannya kembali. Sebisa mungkin aku menahan agar rasa ini tidak terus melambung tinggi, jika hanya melihatnya saja hatiku berbunga lalu bagaima
POV LANA[ Besok insaallah saya akan menjemput Gendis, Kyai. Sekarang, saya sudah bersamanya. Tapi dia baru mau pulang setelah bertemu dengan Kyai. Tampaknya belum bisa menerima. ]Kukirim pesan kepada Kyai Abdurrahim sebagai pemberitahuan. Besok adalah tanggal di mana tiga bulan yang lalu aku menitipkan Gendis pada Kyai Abdurrahim untuk belajar agama seperti keinginan Gendis. Akan tetapi yang masih membuatku tak mengerti adalah untuk apa Kyai melarangku menemuinya selama itu juga. Aku hanya diperbolehkan berkunjung dan mengamati dari kejauhan. Alhasil, dia semakin berpikiran yang tidak-tidak tentangku.[ Iya, Nak, datanglah nanti, ada juga yang bapak mau sampaikan. Bapak tunggu di pesantren. ]Balasnya setelah beberapa menit aku menunggu. Malam kian larut, bus tak kunjung selesai diperbaiki, akhirnya aku putuskan untuk memesan taksi setelah kulihat beberapa kali Gendis menguap dengan mata yang mulai memerah. Aku tahu, dia sudah sangat mengantuk.Esok adalah hari yang aku nantikan, m
"Ayo, masak gendong istri sendiri masih mikir? Atau mau saya panggilkan tukang kebun pesantren? Mang Dadang." Kyai kembali berseru."Eh, jangan dong, Kyai," ucapku kemudian bergegas keluar. Harga diri seorang lelaki terletak pada wanitanya, bagaimana pun juga harga diriku masih cukup tinggi. Mana mungkin aku membiarkan dia disentuh lelaki lain, di depan mataku pula."Ayo, Nak Lana." "Iya, Kyai." Kutepis segala pemikiran akan kemarahan Gendis jika tiba-tiba dia terbangun saat masih dalam gendongan, lalu segera kubawa dia masuk ke dalam mengikuti langkah Kyai Abdurrahim. Beliau membawaku ke kamar paling depan, membukakan pintu, dan menyuruhku membaringkan Gendis di atas ranjang berukuran sedang."Mau ke mana, Nak?" tanyanya setelah aku beranjak meninggalkan Gendis."Ada yang ingin saya bicarakan.""Sama, kan, tadi saya bilang juga mau mengatakan sesuatu. Tapi besok saja, kamu pasti juga cape, istirahat saja dulu," ujarnya seraya memegang handle pintu dan bersiap menutupnya."Tapi ..
Suara tilawah yang diputar sebelum adzan subuh membangunkan aku yang memang sudah tidak bisa tidur akibat kipas mengipas. Segera, aku bangkit meninggalkan kamar. Rumah terlihat sepi, tampaknya mereka sudah berangkat ke pondok atau mungkin masjid untuk persiapan ibadah subuh. Terlihat para santri berbondong menuju mushola pondok, aku pun mengikuti. Adzan berkumandang, mereka terlihat mempercepat langkah dan sebagian berlari kecil menuju mushola pesantren. Begitu juga denganku yang tak mau kalah menjemput ibadah dengan segudang keutamaan. Sholat Subuh. Aku duduk di shaf paling akhir, agar tidak menimbulkan banyak pertanyaan karena aku orang asing. Iqomah dikumandangkan kemudian netraku menangkap seorang menggunakan mukena dengan motif yang tak asing, mukena yang aku beli dari Bali beberapa waktu lalu ketika ada kegiatan kampus. Dia tergopoh kemudian bergabung dengan santriwati yang lain setelah menundukkan badan menyapa Umi Masfufah yang kebetulan juga baru datang. Gendis, aku me
Teriris? Terus-menerus? Apa maksudnya? Omong kosong apa ini, aku bahkan mengesampingkan segalanya demi Gendis, aku bisa melakukan apapun untuknya, mengajar, menjadi Nara sumber, dosen pembimbing skripsi, dosen tamu, membuat modul, semua aku sikat asal menghasilkan cuan. Untuk siapa? Tentu saja untuknya, dan untuk pindah kontrakan yang lebih layak untuknya juga bahkan jadi dosen pembimbing KKN pun aku embat hanya demi agar kebutuhan Gendis tercukupi dalam waktu singkat. Masih untung kuat badan dan pikiran, Kyai Abdurrahim pun tahu benar akan hal itu, bagaimana bisa sekarang bicara demikian. "Saya ke sini untuk menjemput istri saya, bukan untuk bernego dengan Kyai. Maaf, bukannya saya lancang. Saya sudah banyak mengalah dan mematuhi semua keinginan Kyai. Bahkan, Gendis menyangka yang tidak-tidak terhadap saya juga sedikit banyak ada campur tangan dari Kyai, karena Kyai melarang saya untuk menemuinya berbulan-bulan." Aku mulai geram. Namun beliau justru tersenyum tenang. Selama berhub
POV GendisAku hanya bisa menelan ludah mendengar ucapan Bang Lana. Semua alasan yang aku buat berhasil dipatahkan olehnya. Aku terus mundur dan dia terus maju. Bahkan, tangannya seolah sudah siap mengangkat tubuhku yang tak seberapa ini. Secepat kilat aku melangkah mundur dan berakhir dengan jawaban, "Ya, aku pulang, Abang." Dia bukan orang yang bisa dengan mudah dikalahkan, bahkan lebih tangguh dari yang aku perkirakan. Kelembutan yang terlihat selama kami tinggal bersama dulu pun seolah sirna oleh amarah yang meluap akibat penolakan yang aku buat dan jika tidak segera dituruti aku yakin akan ada keributan di pesantren ini.Aku sadar, ini masalahku, rasanya tak pantas jika harus melibatkan Kyai Abdurrahim dan berdampak pada ketenteraman pesantren. Terlebih, wajah Bang Lana sudah seperti singa yang sedang kelaparan lalu mengamuk dan siap menerkam siapa saja yang menghalanginya untuk mendapatkan mangsa yaitu aku.***"Bahkan, Siti Khadijah juga menaruh hati pada nabi, sebelum perni
Taksi terlihat sudah menunggu di depan rumah Kyai setelah aku selesai berkemas dan berpamitan pada yang lain. Bang Lana sudah berdiri di samping dan membuka pintunya lebar-lebar seolah sudah tak mau lagi berlama-lama. Dia masih terlihat kaku, sorot matanya tajam menghujam jantungku yang terus berdebar setiap melihat tatapan itu. Dia melangkah maju setelah langkahku melambat kemudian berhenti karena ragu."Buruan," ucapanya dan hanya dalam waktu beberapa detik koper yang sebelumnya kupengang erat sudah berpindah tangan. Kemudian tangannya yang lain menarik tangan lalu membawaku menuju mobil dan menutup pintu kasar, aku tahu, dia masih marah atas apa yang terjadi dan atas alasan yang terkesan kubuat-buat.Kubuka kaca mobil dan kulambaikan tangan pada Umi dan Kyai Abdurrahim sebagai tanda perpisahan, tak lupa kuukir senyum agar terlihat sedang baik-baik saja. Sedangkan Bang Lana yang berada di sebelahku hanya tersenyum sekilas seraya menundukkan kepala pada kedua orang yang begitu berja
"Siapa wanita itu?"Seketika senyum itu memudar dari wajah pria tampan yang tengah duduk di sebelahku."Wanita yang mana?""Memang ada berapa banyak wanita lagi?" tanyaku menahan hawa panas seraya tersenyum lelah."Nggak ada.""Haruskah Gendis memperjelas maksudnya?""Ndis ....""Wanita yang kamu peluk mesra." Dengan terpaksa kupotong ucapannya.Ia terdiam, hatiku pun kembali terhujam, ketika aku mulai meraba arti dari kediamannya tersebut."Kalau nggak bisa kenapa dipertahankan?" lanjutku mengalihkan pandang ke arah hamparan rumput hijau yang menghiasi taman."Maksudnya?""Ya, kalau ada yang menunggu kenapa harus dipaksa untuk bertahan sama Gendis, Abang?" sindirku pada akhirnya. Aku tak mampu lagi menahan ribuan tanya dan amarah yang teronggok di dalam sini, yang sudah hampir meledak jika aku tak segera mengeluarkannya.Jika harus berakhir maka tak perlu menunggu dan membuang waktu sia-sia. "Ngomong apa? Lagian masak kamu nggak tau tadi siapa? Katanya fans berat?"Aku menatapnya
Umi selalu pandai membuat hatiku diliputi rasa hangat. Aku berjalan menuju ruangan. Kini, langkahku terasa lebih ringan. Aku tahu ini sedikit terlambat. Namun, terlambat jauh lebih baik dari pada tidak datang di jam pelajaran kali ini, yang tentu akan menimbulkan masalah baru yaitu kemarahan Bang Lana terhadapku.Begitu masuk ruangan, aku sempat diusir, namun ia meralat ucapannya setelah melihatku. Hatiku kembali gundah tatkala melihat wajah itu di hadapanku. Aku bahkan tak mampu menatapnya. Ya, meski sempat menghangat nyatanya tidak mudah ketika aku berhadapan kembali, ingatan akan wanita itu tak bisa lepas dari pikiran ini. Ia terus menatapku sedangkan aku masih enggan dan hanya menatapnya sekilas. Ah, ternyata tidak gampang menyembuhkan luka sendirian.Sebisa mungkin aku meresapi setiap materi yang kali ini disampaikannya dengan begitu pelan dan mudah dipahami. Raut wajahnya pun tak seperti biasa, kali ini ia terlihat lebih sabar sekaligus jauh dari kata mematikan. Aku berusaha
POV GendisMungkin aku terlalu berharap hingga aku sempat melambung dengan perlakuannya meski sebentar bahkan belum genap satu hari. Namun, pada akhirnya aku merasakan patah untuk kesekian kali, saat kulihat wanita berparas menawan dan sudah bisa dipastikan sempurna dari segi usia dan pekerjaan. Wanita yang tak jauh berbeda dari kesempurnaan yang dimiliki Mbak Hanin itu memandangku sebatas mahasiswa yang sedang menemui dosennya untuk urusan tugas. Dan yang membuat aku semakin patah adalah suamiku sendiri mengiyakan hal itu. Sakitnya begitu nyeri, bak batu besar menghimpit dada ini. Langkahku mengayun cepat menuju ruangan. Namun, air mata ini membuat dua mahasiswa wanita yang sudah ada di dalam kelas tersebut memandang aneh padaku. Merasa tak nyaman aku pun memutuskan untuk kembali keluar melalui gerbang belakang, tak mungkin kembali melewati gerbang depan karena sudah pasti mereka masih ada di sana.Ketika luka menyayat hati pikiran hanya tertuju pada pesantren dan kalimat Umi. "Kal
"Maaf, Pak. Kalau gitu saya akan ikut kelas lain." Suara yang menyapa indera pendengaran seketika membuat hati yang sebelumnya hampa berubah hangat.Aku menoleh cepat ke arah pintu. Rasa lega menyelimuti kala kulihat Gendis berdiri di depan sana seraya menundukkan kepala, lesu.Aku hanya bisa terpaku di tempatku seraya menelan saliva beberapa kali. "Tunggu, ini adalah kelas terakhir di Minggu ini. Kelas selanjutnya materi sudah tidak sama. Cari tempat kosong dan duduklah," ucapku pada akhirnya saat tangannya sudah memegang handle pintu hendak keluar.Dalam hati aku tersenyum lega, jika tidak sedang di depan sini mungkin aku sudah berlari memeluknya sebagai wujud rasa syukur. Rasa syukur? Aku menggeleng menyadarkan diri yang sudah mulai kurang ajar."Kenapa masih di sana, duduk," perintahku setelah melihatnya tak bergerak dari tempat semula.Ia mengangguk kemudian menuju bangku kosong yang lagi-lagi ada di paling belakang dan sudah dipenuhi mahasiswa lelaki."Kamu, Mas ...," ujarku s
Kantin, kelas, taman, hingga perpustakaan aku datangi, namun tak juga aku temui sosok Gendis di sana. Setelah Mbak Aya pergi, aku bergegas mencari Gendis di seluruh penjuru kampus. Ia masih setia mengabaikan panggilan sekaligus pesan yang aku kirim secara terus menerus. Namun, sekarang lebih parah lagi, ponsel Gendis justru mati.Tak ada pilihan lain. Setelah lelah mencari aku pun memutuskan menghubungi pesantren. Hanya beberapa detik panggilan tersambung lalu diangkat."Assalamualaikum." Suara wanita yang sudah pasti Umi Masfufah terdengar dari seberang sana."Waalaikumsalam, Umi. Ini saya, Lana.""Nak Lana? Ada apa pagi-pagi sudah telepon? Apa Gendis merepotkanmu?""Bukan, Umi, cuma ...." Ucapanku terhenti, apa yang akan aku katakan bahkan sama sekali belum terpikirkan."Tapi kenapa, Nak?""Tapi ... Gendis dari tadi pagi pengen ketemu Umi. Ini saya cari kok nggak ada, ya. Apa dia sudah ada di sana, menemui Umi?" tanyaku penuh kehati-hatian setelah berpikir cukup lama agar Umi tidak
"Apa kamu sudah berpisah dari wanita itu?""Sudah kubilang aku tidak akan pisah. Kenapa masih bertanya tentang itu?" Aku menghela napas. "Seharusnya aku yang perlu tanya sama Mbak. Kenapa mengarang cerita bahkan berani memakai nama Papa?!"Wajah yang sebelumnya terlihat penuh ketegasan kini berubah pasi."Mbak hanya berusaha menyelamatkan adik Mbak." Aku tersenyum sinis. Menyelamatkan dari mana jika nyatanya papa sendiri jelas-jelas tidak menyetujuinya. Beruntung, aku masih bisa mendapatkan Gendis kembali. Kalau tidak, bisa habis dikuliti olehnya kalau papa sampai mengetahui. Ya, meski Papa tidak menyetujui, tapi aku tahu nuraninya tidaklah mati dan yang namanya nurani tidak akan pernah bisa dibohongi. Papa memang berhati batu tapi bukan berarti nuraninya terhadap wanita membantu. Buktinya ia begitu mengasihi Mama dan Mbak Aya meski ia bukan anak kandung."Bisakah tidak membahas istriku dan aku. Biarkan kami hidup dengan tenang."Ia tampak tersenyum remeh. "Romantis sekali kamu menye
POV LanaAku membeku di tempatku. Kukira hari ini semua akan berjalan normal. Semua akan berjalan sebagaimana mestinya. Memulai hidup yang baru dengan gadis manis dengan tingkah yang selalu membuat aku tersenyum diam-diam. Namun, nyatanya lidahku tiba-tiba kelu, tatkala Mbak Aya berdiri di hadapanku, tersedu dalam dekapanku.Lidahku semakin kelu ketika kusadari saat ini aku tak sendiri, melainkan ada Gendis di sebelahku. Aku hanya bisa mematung dengan berbagai pikiran dan pertanyaan yang terus berjejalan masuk ke dalam otak : Dari mana Mbak Aya tahu keberadaanku? Lalu apa yang akan terjadi jika Gendis tahu siapa yang ada di hadapanku? Dia bahkan tak tahu siapa aku. Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi jika Mbak Aya sampai tahu bahwa yang berdiri di sampingku adalah istri yang ia anggap aku nikahi tanpa cinta. Dia bisa berbuat apa saja demi memisahkan kami dan itu tak bisa aku biarkan. Gendis baru saja kembali mana mungkin aku membiarkannya pergi lagi. Hati dan pikiran mulai beradu. I
Bersama-sama kami pun membalikkan badan ke arah suara yang terdengar berasal dari arah belakang tempat kami berdiri.Berjarak sekitar lima meter dari tempat kami berdiri saat ini, seorang wanita cantik bertubuh langsing tengah berdiri mengulas senyum ke arah kami. Bukan kami, tepatnya ke arah lelaki di sebelahku. Napasnya terengah seperti orang yang barus saja menyelesaikan pekerjaan berat. Berlari mungkin. Rambutnya panjang sebahu dan digerai bebas tapi masih terlihat rapi, hiasan rambut dengan design mutiara yang ia pakai di atas telinga membuatnya terlihat semakin elegan. Siapakah dia?Kaki dengan hak tinggi yang membuatnya semakin terlihat jenjang itu, kini melangkah ke arah kami, semakin lama semakin cepat. Lalu ... seperti kilat yang menyambar dengan cepat ia menyambar lelaki yang bergelar suami. Ia memeluk suami yang terlihat mematung ketika melihat wanita di hadapannya. Dia kah pemilik jam tangan itu? Kanaya?Pemandangan ini semakin menghujam hati tatkala pelukan wanita dengan
Taksi melaju cepat menuju kampus. Aku duduk berdampingan dengan Bang Lana di bangku belakang akan tetapi tak ada percakapan yang serius. Sejak tadi percakapan hanya seputar pelajaran yang akan aku ikuti. "Jangan banyak melamun kalau di dalam kelas. Jangan suka telat. Dengarkan kalau dosen memberi penjelasan, kalau sekiranya ada yang nggak ngerti jangan takut untuk bertanya. Malu bertanya sesat di jalan," ocehnya di sepanjang jalan menuju kampus, mungkin jika suasana hatiku sedang tidak baik-baik saja, aku akan stress bukan karena pelajaran melainkan karena mendengar ocehan yang terkesan klise.Setelah dirasa cukup memberi petuah-petuah yang berhasil membuat kepalaku sedikit berdenyut, ia pun memilih untuk menyalakan laptop, sedangkan aku memilih untuk menikmati roti sandwich yang entah karena perasaanku sedang bahagia atau rasanya memang lezat hingga lidahku seolah tak mau berhenti mengunyah."Enak?" tanyanya dengan pandangan yang terus fokus pada layar yang menunjukkan berbagai graf