"Ayo, masak gendong istri sendiri masih mikir? Atau mau saya panggilkan tukang kebun pesantren? Mang Dadang." Kyai kembali berseru."Eh, jangan dong, Kyai," ucapku kemudian bergegas keluar. Harga diri seorang lelaki terletak pada wanitanya, bagaimana pun juga harga diriku masih cukup tinggi. Mana mungkin aku membiarkan dia disentuh lelaki lain, di depan mataku pula."Ayo, Nak Lana." "Iya, Kyai." Kutepis segala pemikiran akan kemarahan Gendis jika tiba-tiba dia terbangun saat masih dalam gendongan, lalu segera kubawa dia masuk ke dalam mengikuti langkah Kyai Abdurrahim. Beliau membawaku ke kamar paling depan, membukakan pintu, dan menyuruhku membaringkan Gendis di atas ranjang berukuran sedang."Mau ke mana, Nak?" tanyanya setelah aku beranjak meninggalkan Gendis."Ada yang ingin saya bicarakan.""Sama, kan, tadi saya bilang juga mau mengatakan sesuatu. Tapi besok saja, kamu pasti juga cape, istirahat saja dulu," ujarnya seraya memegang handle pintu dan bersiap menutupnya."Tapi ..
Suara tilawah yang diputar sebelum adzan subuh membangunkan aku yang memang sudah tidak bisa tidur akibat kipas mengipas. Segera, aku bangkit meninggalkan kamar. Rumah terlihat sepi, tampaknya mereka sudah berangkat ke pondok atau mungkin masjid untuk persiapan ibadah subuh. Terlihat para santri berbondong menuju mushola pondok, aku pun mengikuti. Adzan berkumandang, mereka terlihat mempercepat langkah dan sebagian berlari kecil menuju mushola pesantren. Begitu juga denganku yang tak mau kalah menjemput ibadah dengan segudang keutamaan. Sholat Subuh. Aku duduk di shaf paling akhir, agar tidak menimbulkan banyak pertanyaan karena aku orang asing. Iqomah dikumandangkan kemudian netraku menangkap seorang menggunakan mukena dengan motif yang tak asing, mukena yang aku beli dari Bali beberapa waktu lalu ketika ada kegiatan kampus. Dia tergopoh kemudian bergabung dengan santriwati yang lain setelah menundukkan badan menyapa Umi Masfufah yang kebetulan juga baru datang. Gendis, aku me
Teriris? Terus-menerus? Apa maksudnya? Omong kosong apa ini, aku bahkan mengesampingkan segalanya demi Gendis, aku bisa melakukan apapun untuknya, mengajar, menjadi Nara sumber, dosen pembimbing skripsi, dosen tamu, membuat modul, semua aku sikat asal menghasilkan cuan. Untuk siapa? Tentu saja untuknya, dan untuk pindah kontrakan yang lebih layak untuknya juga bahkan jadi dosen pembimbing KKN pun aku embat hanya demi agar kebutuhan Gendis tercukupi dalam waktu singkat. Masih untung kuat badan dan pikiran, Kyai Abdurrahim pun tahu benar akan hal itu, bagaimana bisa sekarang bicara demikian. "Saya ke sini untuk menjemput istri saya, bukan untuk bernego dengan Kyai. Maaf, bukannya saya lancang. Saya sudah banyak mengalah dan mematuhi semua keinginan Kyai. Bahkan, Gendis menyangka yang tidak-tidak terhadap saya juga sedikit banyak ada campur tangan dari Kyai, karena Kyai melarang saya untuk menemuinya berbulan-bulan." Aku mulai geram. Namun beliau justru tersenyum tenang. Selama berhub
POV GendisAku hanya bisa menelan ludah mendengar ucapan Bang Lana. Semua alasan yang aku buat berhasil dipatahkan olehnya. Aku terus mundur dan dia terus maju. Bahkan, tangannya seolah sudah siap mengangkat tubuhku yang tak seberapa ini. Secepat kilat aku melangkah mundur dan berakhir dengan jawaban, "Ya, aku pulang, Abang." Dia bukan orang yang bisa dengan mudah dikalahkan, bahkan lebih tangguh dari yang aku perkirakan. Kelembutan yang terlihat selama kami tinggal bersama dulu pun seolah sirna oleh amarah yang meluap akibat penolakan yang aku buat dan jika tidak segera dituruti aku yakin akan ada keributan di pesantren ini.Aku sadar, ini masalahku, rasanya tak pantas jika harus melibatkan Kyai Abdurrahim dan berdampak pada ketenteraman pesantren. Terlebih, wajah Bang Lana sudah seperti singa yang sedang kelaparan lalu mengamuk dan siap menerkam siapa saja yang menghalanginya untuk mendapatkan mangsa yaitu aku.***"Bahkan, Siti Khadijah juga menaruh hati pada nabi, sebelum perni
Taksi terlihat sudah menunggu di depan rumah Kyai setelah aku selesai berkemas dan berpamitan pada yang lain. Bang Lana sudah berdiri di samping dan membuka pintunya lebar-lebar seolah sudah tak mau lagi berlama-lama. Dia masih terlihat kaku, sorot matanya tajam menghujam jantungku yang terus berdebar setiap melihat tatapan itu. Dia melangkah maju setelah langkahku melambat kemudian berhenti karena ragu."Buruan," ucapanya dan hanya dalam waktu beberapa detik koper yang sebelumnya kupengang erat sudah berpindah tangan. Kemudian tangannya yang lain menarik tangan lalu membawaku menuju mobil dan menutup pintu kasar, aku tahu, dia masih marah atas apa yang terjadi dan atas alasan yang terkesan kubuat-buat.Kubuka kaca mobil dan kulambaikan tangan pada Umi dan Kyai Abdurrahim sebagai tanda perpisahan, tak lupa kuukir senyum agar terlihat sedang baik-baik saja. Sedangkan Bang Lana yang berada di sebelahku hanya tersenyum sekilas seraya menundukkan kepala pada kedua orang yang begitu berja
Sejenak aku termenung, setelah kepergian Bang Lana menuju kamar lain yang berada di paling ujung. Namun, Getaran ponsel di dalam saku gamis membuatku akhirnya tersadar dari lamunan atas ketidak percayaan akan sikap Bang Lana yang terkesan bak suami sungguhan."Astagfirullah." Aku tersentak lalu segera merogoh ponsel dari dalam saku. Sebuah nomor tanpa nama masih terlihat jelas di sana dan aku memilih membiarkannya.Ponsel masih terus bergetar dan berpendar meski aku mengabaikannya. "Ndis, kenapa masih diam di situ? Nanti telat." Suara lantang Bang Lana membuatku terkesiap. Rupanya hanya beberapa detik saja ia masuk ke dalam kamar karena nyatanya ia sudah berdiri lagi di hadapanku bahkan tanpa aku menyadarinya."Siapa?" tanyanya menatap ponsel di genggaman yang masih terus berpendar.Aku menggeleng, karena beberapa panggilan memang hanya tertera nomor tanpa nama.Tangan itu akhirnya terulur meraih ponsel dari tanganku. "Eh, Abang. Nggak usah diangkat," Seraya mencoba meraih kembali p
Hanya dalam waktu sepuluh menit aku melakukan persiapan. Namun, aku tak mau terlihat biasa saja hari ini. Hari ini aku akan datang ke kampus bersama Bang Lana, tentu aku tak mau mempermalukannya dengan penampilan yang biasa saja dan apa adanya. Ia adalah dosen muda dan aku adalah mahasiswa sekaligus istrinya. Tentu penampilanku akan banyak disorot para mahasiswa ataupun dosen lainnya, terlebih ini bukan Jogja atau Solo melainkan Jakarta, banyak wanita elegan dan berpendidikan mengitarinya. Bukannya sombong sebelum waktunya. Tapi, aku yakin, perbandingan akan selalu ada baik secara terang-terangan atau hanya bergunjing di belakang. Untuk hari ini aku tak memakai gamis atau dress seperti biasanya. Bukan apa-apa, tapi gamis terbaik sudah aku pakai di hari pertama kemarin. Pilihanku jatuh pada rok polos berwarna coklat dan kaos lengan panjang berwarna lebih terang tapi terlihat elegan, stelan pemberian Umi untuk terakhir kalinya. "Ini untuk kuliah," katanya saat memberikannya padaku
Dengan cepat kuambil tissue dari kotak tissue, lalu ia pun meletakkan tissuenya kembali di meja. Kesal, marah, kecewa kini bercampur menjadi satu. Dia benar-benar membuatku semakin malu dengan ucapannya yang terlalu jujur bahkan terkesan menghina. Demi Tuhan aku tak akan mengulangi hal konyol ini, berdandan berharap mendapatkan pujian dan membuatnya terkesima, tapi justru hinaan yang aku terima."Ini merona tau, bukan make up. Nggak sadar kalau dari dulu pipiku merona indah?" sanggahku menutupi rasa malu.Ia kembali menatapku dengan dahi berkerut. "Masak iya? Tapi kayaknya nggak gitu, deh. Kemarin dan tadi belum kayak gitu."Aku hanya diam dengan bibir mengerucut kesal. Rasa kesalku semakin memuncak kala mendengar ucapan yang terkesan lugu namun menjengkelkan. Entah lugu atau ingin mempermalukan, yang pasti rasanya aku ingin menenggelamkan wajahku di kasur saja saat ini.Dasar lelaki. Seharusnya cukup diam dan jangan dibahas lagi. Apakah dia benar-benar tidak mengerti bahwa wanita se