"Siapa wanita itu?"Seketika senyum itu memudar dari wajah pria tampan yang tengah duduk di sebelahku."Wanita yang mana?""Memang ada berapa banyak wanita lagi?" tanyaku menahan hawa panas seraya tersenyum lelah."Nggak ada.""Haruskah Gendis memperjelas maksudnya?""Ndis ....""Wanita yang kamu peluk mesra." Dengan terpaksa kupotong ucapannya.Ia terdiam, hatiku pun kembali terhujam, ketika aku mulai meraba arti dari kediamannya tersebut."Kalau nggak bisa kenapa dipertahankan?" lanjutku mengalihkan pandang ke arah hamparan rumput hijau yang menghiasi taman."Maksudnya?""Ya, kalau ada yang menunggu kenapa harus dipaksa untuk bertahan sama Gendis, Abang?" sindirku pada akhirnya. Aku tak mampu lagi menahan ribuan tanya dan amarah yang teronggok di dalam sini, yang sudah hampir meledak jika aku tak segera mengeluarkannya.Jika harus berakhir maka tak perlu menunggu dan membuang waktu sia-sia. "Ngomong apa? Lagian masak kamu nggak tau tadi siapa? Katanya fans berat?"Aku menatapnya
1. Gadis yang kau anggap gila itu, istriku"Orang gila ... orang gila ... orang gila." Sayup kudengar suara dari depan gang di mana aku tinggal. Aku bergegas turun dari motor karena memang baru pulang mencari pekerjaan. Terlihat beberapa anak kecil sedang berkerumun di sana, di tengahnya tampak seorang sedang duduk meringkuk, memeluk lutut di bawah lampu remang jalan gang depan kontrakan. Kuparkir motor di tepi jalan lalu bergegas aku menghampirinya. "Anak-anak, nggak boleh gitu, ya. Kakak ini nggak gila, ini istri abang, dia sedang sakit. Sedang berobat, jadi jangan diganggu, kasihan," terangku dengan pandangan yang tak bisa lepas dari Gendis Anandita Respati, Gadis yang masih belum genap 21 tahun itu adalah anak dari keluarga yang cukup terpandang dari kota Solo. Namun, dia harus terusir dari keluarganya karenaku. Ya, karenaku. Entah sengaja atau tidak, aku lah penyebab dari apa yang dia alami saat ini. Melamun, menangis, kemudian tertawa dalam keheningan, dan kesendirian.Gendis
2. Sama-sama dijebakAku duduk menyamai Gendis yang saat ini tersedu di bawah lampu jalan."Kenapa keluar malam-malam? Sudah Abang bilang kalau butuh apa-apa telepon atau kirim pesan ke Abang," ucapku. Namun seperti biasa, dia hanya diam tak menjawab.Akhirnya aku menghela napas dalam."Pulang, ya, Ndis," ajakku lembut. Ya, selama hidup bersama beberapa minggu, aku tak pernah berkata dengan nada tinggi, memperlakukannya sebaik dan selembut mungkin. Sebisa mungkin untuk tidak menambah keadaannya semakin parah dan semakin patah.Ia tak menjawab, hanya tatapan nyalang yang dia berikan sebagai jawaban setiap kali aku mengajaknya bicara. Dia sangat membenciku, sangat. Baginya, aku lah penyebab kehancuran sekaligus penyebab terusirnya dia dari keluarga, terpisah dari orang-orang tercinta. Aku baginya, hanyalah orang yang tidak mempunyai hati. Menjauhkan seorang gadis dan dibenci oleh keluarga, atau bahkan dia sudah memiliki kekasih dan harus berpisah karena ulahku? Entahlah.Dengan lancang
3. Perdebatan tengah malamKutinggalkan kamar Gendis setelah lampu kumatikan. Menenangkan diri di teras rumah dan memandang langit kelam sudah menjadi rutinitas setiap mata sulit untuk diajak kompromi. Tak ada cemilan ataupun kopi, hanya ada angan yang terus merajut segala pertanyaan dan merangkai jawabannya sendiri.Kontrakan kami berada di paling ujung dan sepi ditambah sebelah belum ada penghuni. Sengaja, aku memilih rumah yang paling ujung dan sepi. Aku tidak mau terlalu banyak berinteraksi karena perjuanganku mendapat tempat tinggal ini bukan main-main sekaligus penuh tragedi. Awalnya, pemilik kontrakan bertanya perihal surat nikah yang belum aku punya karena memang kami hanya menikah secara siri. Mereka terus mempertanyakan bukti agar kami bisa tinggal bersama. Ya, daerah ini jauh dari perkotaan, gaya hidupnya pun masih kolot dan status masih sangat dijunjung tinggi. Kutunjukkan foto ijab kabul yang kebetulan ada beberapa di ponsel, kemudian meyakinkan dengan berkata bahwa k
4. Perubahan sikap GendisSeberkas sinar mentari menerobos jendela kaca yang berada di sebelah tempat tidur. Silaunya mengenai mata dan membuatnya harus mengerjap. Aku baru bisa tenang setelah adzan subuh berkumandang. Tanpa sengaja tidur di atas sajadah setelah melakukan pengakuan dosa dan memohon ampunan dengan derai air mata. Ya, aku begitu menjunjung tinggi kehormatan wanita namun hanya dalam waktu sekejap mata aku juga telah menghancurkannya. Bagaimana rasa bersalahku tidak berlipat ganda? Apakah ini yang dinamakan, apa yang paling tidak disukai justru akan terjadi? Entah.Kugerakkan kepala ke kanan dan ke kiri untuk mengurangi rasa kaku di leher. Setelahnya, kulirik jam dinding yang terpasang di dinding kamar. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan, sungguh aku sudah sangat kesiangan. Aku bangkit melipat sajadah dan sarung. Mengganti pakaian dengan kaos agar lebih nyaman. Kemudian bergegas ke dapur membuat sarapan.Dengan sedikit berlari aku menuju dapur, namun langkahk
5. Bimbang"Hem." Akhirnya aku menjawab. Terlalu dini menyebut sebuah cinta karena jujur aku tidak pernah merasakan apa-apa. Hanya tanggung jawab yang aku junjung tinggi ditengah kesalahan yang aku perbuat. Itu saja. Namun, mau tidak mau dia adalah istriku sekarang. Mengatakan tidak mencintai jauh lebih tidak mungkin lagi. Karena akan melukai perasaan Gendis sekaligus hubungan pernikahan kami dan Mbak Aya tidak akan pernah rela membiarkan aku tidak bahagia dengan orang yang tidak aku cintai. Tangan yang sebelumnya memeluk pinggangku erat, berubah merenggang kemudian terlepas. Mbak Aya terperangah atas jawabanku. Aku tahu. Perlahan aku mengurai pelukan. "Apa artinya Mbak bagimu? Lana?"Aku mengernyit bingung."Hah? Apa maksudmu, Mbak? Mbak Aya adalah kakakku satu-satunya. Satu-satunya.""Kakak?! Hanya itu?" tanyanya seraya menghapus sudut matanya kasar, membuatku semakin tak mengerti. Kupegang kedua pundaknya agar bisa menatap wajahnya lebih lekat. "Kau adalah wanita kedua yang be
6. Mas Boy?Bau khas yang sangat tidak aku sukai menyapa indera penciuman begitu aku membuka mata. Ya, bau obat dan rumah sakit. Aku terbaring di ranjang dan ruangan serba putih, sendirian, tak ada seseorang di ruangan ini yang bisa aku tanyai.Kugerakkan perlahan tangan dan kaki. Bergerak. Beruntung, itu tandanya aku tidak mengalami patah tulang atau yang lebih mengerikan lagi kelumpuhan. Aku mencoba untuk duduk. Ah, kepalaku masih berat mungkin masih perlu pemanasan dan tunggu beberapa saat. "Mas, jangan banyak gerak dulu," ucap seorang perawat yang tiba-tiba datang kemudian membantuku untuk kembali berbaring. "Mas tadi mengalami kecelakaan."Ingatanku kembali pada kejadian di jalan berlubang yang menyebabkan aku hilang keseimbangan. "Saya udah mendingan, saya mau pulang saja," ucapku pada perawat tersebut."Eh, nggak boleh, Mas, kita sudah menghubungi keluarga Mas, kebetulan tadi saat kejadian ponsel Mas-nya berbunyi terus. Akhirnya kami beri tahu dan beliau yang bertanggung j
Tawanya pecah begitu mendengar jawabanku. "Apa Danuarta sudah tidak mampu lagi memberi anaknya pekerjaan?" "Bukan, bukan begitu. Ini tidak ada hubungannya dengan Papa saya. Saya hanya ingin mandiri saja," terangku. Aku tak bisa mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Dia adalah satu-satunya orang yang aku segani. Mau ditaruh mana muka ini jika sampai profesor tahu apa yang sudah aku perbuat terhadap anak gadis orang. Ia pun mengangguk pelan. "Jadi benar, kamu mau bergabung bersama kami?"Cepat aku mengangguk. "Yasudah, berkas yang saya suruh untuk siapkan sudah ada?""Ada, ada di dalam tas saya. Masih saya suruh ambil perawat tadi."Pucuk dicinta ulam pun tiba, perawat yang aku suruh mengambil tas akhirnya datang tak lama setelah Profesor bertanya. "Ini, Mas tasnya," ucapnya padaku seraya menyerahkan tas yang aku tunggu-tunggu."Makasih."Aku pun segera memeriksa isi di dalamnya dan alhamdulillah semua masih utuh. Aku bisa bernapas lega, setidaknya tidak ada yang memanfaatkan