Setelah dua malam rawat inap, aku berkeras untuk pulang. Saat badan diistirahatkan namun pikiran harus bekerja keras, maka hasilnya akan lebih parah. Uang pemberian Mbak Aya sebesar 20 juta sedangkan biaya rumah sakit akan membengkak karena tidak ada bantuan sama sekali mengingat aku korban tabrak lari, sehingga aku harus berpikir ulang jika harus tidur nyaman di tempat ini sampai kondisi benar-benar membaik seperti apa kata pihak rumah sakit.Awalnya, pihak rumah sakit melarang dan menyuruhku untuk tetap tinggal, setidaknya sampai dokter datang, tapi kepalang tanggung, aku sudah berjanji akan pulang pagi ini pada Gendis yang sempat mengirim pesan dan bertanya apa masih lama di kota. Lagi pula lukaku tidak begitu parah, hanya luka di tangan, lecet-lecet di kaki, dan kepala sedikit saja. Untuk apa harus dirawat begitu lama. Ini terlalu berlebihan. Bagiku pihak rumah sakit seringkali tidak berpikir biaya yang harus pasien keluarkan.Tak mau menunggu atau membuang waktu, aku pun bergega
Gendis mengandung.Pandanganku mengabur, harus kah aku bahagia atau justru menangis? Benarkah dosa belum berakhir? Betapa menyedihkannya anak yang terlahir akibat dosa? Tuhan ... sesungguhnya aku tidak ingin ini terjadi. Semua pertanyaan-pertanyaan itu hanya bisa kuucap dalam hati karena lidah ini benar-benar kelu, seperti ada yang mencekik leherku, hingga tak sepatah kata pun bisa keluar dari mulutku selayaknya lelaki sejati yang telah berbuat salah kemudian bersujud meminta maaf.Hening, hanya ada suara isak tangis Gendis yang tak kunjung mereda."Kita, akan merawatnya, Gendis," ucapku setelah hampir satu jam kami sama-sama diam. Kuusap punggungnya pelan, ingin memeluknya untuk saling menguatkan, namun aku urung melakukannya karena dia bisa saja naik pitam.Kali ini tidak ada penolakan seperti biasa saat tangan ini menyentuhnya, tapi entah mengapa aku justru tidak suka. Sikapnya seperti orang yang sudah putus asa. Dia hanya diam seribu bahasa, menatap jendela kaca dengan tatapan ko
Sejak kejadian pagi itu, perubahan mulai terjadi. Ada pendar ketakutan dan kecanggungan di mata Gendis, yang sejujurnya bukan itu harapanku.Aku menginginkan dia tenang dan nyaman di tengah kondisinya yang sekarang.Setiap pagi sudah ada kopi dan sarapan di meja makan. Entah dari mana dia mendapat uang untuk belanja, selama bersama aku tak pernah bertanya apakah dia punya uang atau tidak karena memang tidak ada kesempatan untuk itu dan entah dari mana juga dia belajar memasak empat sehat lima sempurna seperti yang sudah terhidang di meja saat ini?"Gendis, dari mana kamu dapat uang untuk belanja?" tanyaku saat dia meletakkan segelas susu di atas meja untukku."Uang sisa, saku dari Ayah saat aku magang di Jogja masih ada sedikit, Abang," jawabnya seraya menundukkan kepala.Aku mengangguk paham. Kemudian kuberikan sepuluh lembar uang seratus ribuan pemberian Mbak Aya. "Simpan uangmu, pakai yang itu untuk beli kebutuhan kalau Abang sedang tidak ada di rumah.""Tapi, Bang. Aku —""Kalau
"Abang kenapa?" tanya Gendis, berdiri dari tempat duduk panik.Aku mengangkat tangan sebagai tanda bahwa aku tidak apa-apa. "Nggak papa."Ia pun kembali duduk."Kenapa memang pihak ... apa tadi?""Mahesa Tunggal.""Hem, Mahesa Tunggal menghubungi kamu?" tanyaku seolah tak tahu menahu."Ya ... mungkin karena aku nggak masuk magang. Sebentar lagi kan penilaian."Aku tercekat, bingung harus berkata apa. Terlebih wajah Gendis saat ini terlihat begitu pasrah, seolah menyerah dengan keadaan."Apa gunanya masuk atau enggak, toh aku sudah tidak melanjutkannya, Abang." Ucapannya kali ini mampu menyayat hati, terlihat kaca-kaca di mata sayu itu, tapi dengan cepat ia menundukkan kepala. Aku tahu, dia tak ingin rasa sedihnya terlihat orang lain. Dia berusaha menerima keadaan meski sulit. Keadaan bahwa dia harus meninggalkan pendidikan secara paksa.Lalu bagaimana dengan perasaanku sekarang? Tentu saja semakin merasa bersalah dan merasa bahwa aku adalah orang paling bejat di dunia. Aku yang begi
POV Gendis"Sudah Ayah bilang, Hanin! Jangan pernah berhubungan dengan Mahendra Buana! Sekarang kamu tau sendiri! Kalau Ayah tidak datang, mau jadi apa kamu, Hanindya Respati?!" Suara Ayah dengan nada tinggi diikuti pintu yang ditutup kasar, membuat aku dan Bunda malam itu terperajat kaget.Ya, masih begitu jelas dalam ingatanku tatkala Ayah pulang bersama Mbak Hanin dengan kemarahan yang meluap-luap.Setelah melihat aku dan Bunda keluar dari ruang tengah, Ayah pun terdiam, tanpa suara ia membawa Mbak Hanin yang masih terisak ke dalam kamar setengah menyeret, seolah sudah tak sabar. Sedangkan Bunda terus mendekapku yang begitu ketakutan melihat kemarahan Ayah yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Ayah yang begitu menyayangi keluarga dan anak-anaknya berubah begitu menakutkan malam itu. Saat itu aku baru berusia 14 tahun sedangkan kakakku, Mbak Hanin 22 tahun. Aku tidak tahu tepatnya apa yang telah terjadi malam itu, yang aku tahu, Ayah baru pulang kerja lalu menerima telepon dari
Aku tidak pernah bermaksud menguntit pembicaraan Mbak Hanin dan Ayah malam itu. Namun, kamar kami yang masih menjadi satu mengharuskan aku melihat semua hal yang dilarang oleh Bunda. Sejak malam itu. Semua terlihat sibuk. Mbak Hanin yang baru di wisuda pun langsung turun membantu Ayah di perusahaan batik turun temurun milik keluarga Ayah tersebut. Tidak ada waktu untuk berkumpul bersama di rumah, mereka banyak menghabiskan waktu di kantor. Pergi pagi, pulang malam. Tak ada lagi senyuman di wajah Ayah dan Mbak Hanin. Mbak Hanin bekerja keras demi perusahaan yang nasibnya berada di ujung tanduk. Sedangkan aku yang tidak tahu apa-apa hanya bisa bertanya pada Bunda ada apa? Saat uang jajan harus dikurangi, liburan tak pernah ada lagi, bahkan mobil yang digunakan untuk mengantar jemput ke sekolah harus diganti dengan angkutan umum. Makan malam pun tak lengkap lagi tanpa kehadiran Ayah dan Mbak Hanin.Setiap aku bertanya, Bunda hanya menjawab dengan senyuman. "Sabar ya, Sayang. Ayah dan
10. Sebatas rasaSepahit apapun kenyataan, kehidupan harus tetap berjalan dan tidak mungkin bisa terulang. Aku sadar, apa yang terjadi padaku dan dia tidak sepenuhnya kesalahan darinya. Namun, setiap aku teringat dampaknya begitu besar hingga aku terusir dari keluarga, membuat hatiku tak bisa terima dan terus menyalahkan dia yang justru terus menjagaku. Ya, terlepas dari hanya sebatas perasaan bersalah atau hanya sekedar tanggung jawab, nyatanya dia tidak pernah menyakiti atau berbuat kurang baik terhadapku. Sehingga penjelasan demi penjelasan dengan nada tinggi pada malam saat aku benar-benar telah patah oleh kenyataan, ditambah bentakan di pagi itu mampu membuka mataku lebar-lebar dan membuatku tahu harus berbuat apa.Sulit, tapi harus tetap dijalani dan tak mungkin lagi untuk lari. Aku sadar, belajar dari kesalahan jauh lebih baik dari pada hanya meratapinya. Bukankah tidak ada seseorang yang lebih beruntung dari pada dia yang mau belajar dari kesalahan dan berusaha untuk tidak m
POV LanaKeputusan yang paling benar terkadang memang sulit untuk dijalani. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan agar tidak menyakiti banyak pihak, ada ego yang harus ditekan, ada hati yang harus dikuatkan agar tidak ada penyesalan dikemudian hari ketika keputusan sudah diambil. Seperti diriku saat ini. Aku berpikir, lama. Hingga aku sampai pada satu keputusan. Gendis berhak untuk bahagia, Mama pun sama. Jika benar kata Mbak Aya, bahwa Papa akan menerimaku lagi setelah kami berpisah maka apa salahnya menuruti keinginan Gendis yang berarti adalah kebahagiaan juga baginya? Lalu yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana dengan nasib anakku selanjutnya? Apakah dengan mengambil keputusan ini maka aku memilih anakku yang dikorbankan pada akhirnya? Entah, yang pasti anakku akan tetap mendapatkan haknya sebagai anak. Tentang bagaimana caranya, nanti akan aku pikirkan lagi. Tugasku sekarang adalah menjadikan Gendis mandiri, sehingga saat waktu itu tiba hanya akan ada bahagia tanpa