"Abang kenapa?" tanya Gendis, berdiri dari tempat duduk panik.Aku mengangkat tangan sebagai tanda bahwa aku tidak apa-apa. "Nggak papa."Ia pun kembali duduk."Kenapa memang pihak ... apa tadi?""Mahesa Tunggal.""Hem, Mahesa Tunggal menghubungi kamu?" tanyaku seolah tak tahu menahu."Ya ... mungkin karena aku nggak masuk magang. Sebentar lagi kan penilaian."Aku tercekat, bingung harus berkata apa. Terlebih wajah Gendis saat ini terlihat begitu pasrah, seolah menyerah dengan keadaan."Apa gunanya masuk atau enggak, toh aku sudah tidak melanjutkannya, Abang." Ucapannya kali ini mampu menyayat hati, terlihat kaca-kaca di mata sayu itu, tapi dengan cepat ia menundukkan kepala. Aku tahu, dia tak ingin rasa sedihnya terlihat orang lain. Dia berusaha menerima keadaan meski sulit. Keadaan bahwa dia harus meninggalkan pendidikan secara paksa.Lalu bagaimana dengan perasaanku sekarang? Tentu saja semakin merasa bersalah dan merasa bahwa aku adalah orang paling bejat di dunia. Aku yang begi
POV Gendis"Sudah Ayah bilang, Hanin! Jangan pernah berhubungan dengan Mahendra Buana! Sekarang kamu tau sendiri! Kalau Ayah tidak datang, mau jadi apa kamu, Hanindya Respati?!" Suara Ayah dengan nada tinggi diikuti pintu yang ditutup kasar, membuat aku dan Bunda malam itu terperajat kaget.Ya, masih begitu jelas dalam ingatanku tatkala Ayah pulang bersama Mbak Hanin dengan kemarahan yang meluap-luap.Setelah melihat aku dan Bunda keluar dari ruang tengah, Ayah pun terdiam, tanpa suara ia membawa Mbak Hanin yang masih terisak ke dalam kamar setengah menyeret, seolah sudah tak sabar. Sedangkan Bunda terus mendekapku yang begitu ketakutan melihat kemarahan Ayah yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Ayah yang begitu menyayangi keluarga dan anak-anaknya berubah begitu menakutkan malam itu. Saat itu aku baru berusia 14 tahun sedangkan kakakku, Mbak Hanin 22 tahun. Aku tidak tahu tepatnya apa yang telah terjadi malam itu, yang aku tahu, Ayah baru pulang kerja lalu menerima telepon dari
Aku tidak pernah bermaksud menguntit pembicaraan Mbak Hanin dan Ayah malam itu. Namun, kamar kami yang masih menjadi satu mengharuskan aku melihat semua hal yang dilarang oleh Bunda. Sejak malam itu. Semua terlihat sibuk. Mbak Hanin yang baru di wisuda pun langsung turun membantu Ayah di perusahaan batik turun temurun milik keluarga Ayah tersebut. Tidak ada waktu untuk berkumpul bersama di rumah, mereka banyak menghabiskan waktu di kantor. Pergi pagi, pulang malam. Tak ada lagi senyuman di wajah Ayah dan Mbak Hanin. Mbak Hanin bekerja keras demi perusahaan yang nasibnya berada di ujung tanduk. Sedangkan aku yang tidak tahu apa-apa hanya bisa bertanya pada Bunda ada apa? Saat uang jajan harus dikurangi, liburan tak pernah ada lagi, bahkan mobil yang digunakan untuk mengantar jemput ke sekolah harus diganti dengan angkutan umum. Makan malam pun tak lengkap lagi tanpa kehadiran Ayah dan Mbak Hanin.Setiap aku bertanya, Bunda hanya menjawab dengan senyuman. "Sabar ya, Sayang. Ayah dan
10. Sebatas rasaSepahit apapun kenyataan, kehidupan harus tetap berjalan dan tidak mungkin bisa terulang. Aku sadar, apa yang terjadi padaku dan dia tidak sepenuhnya kesalahan darinya. Namun, setiap aku teringat dampaknya begitu besar hingga aku terusir dari keluarga, membuat hatiku tak bisa terima dan terus menyalahkan dia yang justru terus menjagaku. Ya, terlepas dari hanya sebatas perasaan bersalah atau hanya sekedar tanggung jawab, nyatanya dia tidak pernah menyakiti atau berbuat kurang baik terhadapku. Sehingga penjelasan demi penjelasan dengan nada tinggi pada malam saat aku benar-benar telah patah oleh kenyataan, ditambah bentakan di pagi itu mampu membuka mataku lebar-lebar dan membuatku tahu harus berbuat apa.Sulit, tapi harus tetap dijalani dan tak mungkin lagi untuk lari. Aku sadar, belajar dari kesalahan jauh lebih baik dari pada hanya meratapinya. Bukankah tidak ada seseorang yang lebih beruntung dari pada dia yang mau belajar dari kesalahan dan berusaha untuk tidak m
POV LanaKeputusan yang paling benar terkadang memang sulit untuk dijalani. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan agar tidak menyakiti banyak pihak, ada ego yang harus ditekan, ada hati yang harus dikuatkan agar tidak ada penyesalan dikemudian hari ketika keputusan sudah diambil. Seperti diriku saat ini. Aku berpikir, lama. Hingga aku sampai pada satu keputusan. Gendis berhak untuk bahagia, Mama pun sama. Jika benar kata Mbak Aya, bahwa Papa akan menerimaku lagi setelah kami berpisah maka apa salahnya menuruti keinginan Gendis yang berarti adalah kebahagiaan juga baginya? Lalu yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana dengan nasib anakku selanjutnya? Apakah dengan mengambil keputusan ini maka aku memilih anakku yang dikorbankan pada akhirnya? Entah, yang pasti anakku akan tetap mendapatkan haknya sebagai anak. Tentang bagaimana caranya, nanti akan aku pikirkan lagi. Tugasku sekarang adalah menjadikan Gendis mandiri, sehingga saat waktu itu tiba hanya akan ada bahagia tanpa
"Abang? Abang udah pulang?" tanyanya mendekat ke arahku. Aku masih terperangah, bahkan pandangan ini tak mau beralih dari sosok di hadapan meski otakku terus memerintahkan untuk segera menunduk atau mengalihkan pandangan ke arah lain.Gendis, dalam bahasa Jawa artinya adalah gula dan gula itu rasanya manis. Sama seperti Gendis yang saat ini berdiri di hadapanku, wajahnya manis, tapi aku akui dia juga cantik bahkan malam ini semakin terlihat cantik karena wajahnya terlihat berseri, bersih, dan dipoles tipis, seolah dibuat senatural mungkin, tidak berlebihan namun sangat menawan."Abang!" ulangnya sedikit keras."Eh, iya, sudah.""Makanan sudah aku siapin, aku udah makan duluan tadi. Jadi, Abang bisa makan sendiri. Semua pekerjaan sudah selesai, aku ke kamar dulu," ujarnya melenggang menuju kamar melewatiku. Harum tubuhnya menyapa indera penciuman ketika dia melintas di depanku. Kombinasi aroma bunga dan buah berbaur menjadi satu memberi kesan lembut, segar, dan feminim."Ndis, Abang
"Ngomong apa, sih, Ndis.""Jawab aja, Bang. Abang percaya atau enggak?" Ia beralih menatapku dengan tatapan dalam dan kabut itu mulai menghiasi mata sendunya."Apa yang sebenarnya ingin kamu katakan?""Jawab dulu, Abang percaya apa enggak?"Aku menghela napas dalam."Kamu minum Gendis.""Hati Abang?" Ia menatapku semakin dalam.Aku menghela napas lagi, logika bekerja berdasarkan fakta dan logikaku mengatakan bahwa dia memang minum malam itu, tapi tidak dengan hatiku, dan sorot mata itu membuat hatiku seolah menentang logikaku.Hening, aku berpikir, lama."Percaya," lirihku pada akhirnya setelah perdebatan panjang di dalam sini."Apa Abang? Aku kurang denger.""Percaya, ah. Kamu mau ngomong apa, sih, Ndis?"Senyum pun tersungging di bibirnya yang semerah cery."Enggak papa yang lain nggak percaya, asal Abang percaya, itu sudah cukup untuk Gendis saat ini.""Hah?" ulangku, kucoba untuk mempertajam pendengaran, kalimat yang dia lontarkan barusan menyisakan tanda tanya besar di atas kep
Malam ini aku pulang sedikit larut. Dua Minggu sudah aku berjibaku dengan pekerjaan baru. Hari ini ada sedikit kendala yang harus dituntaskan dan cukup memakan waktu. Sebelumnya, aku sudah mengabari Gendis lewat pesan singkat, menyuruhnya untuk tidak menunggu.Rumah sudah terlihat lengang ketika aku pulang. Pintu kamar Gendis juga sudah tertutup rapat. Dia sudah tidur. Kuedarkan pandangan ke arah meja makan karena di sana tampak tudung saji dipasang menandakan bahwa ada sesuatu di dalamnya. Aku membukanya dan benar, sepiring sate ayam dan kuah soto ada di sana. Sejak perbincangan kami malam itu, aku merasa ada yang membatasi antara aku dan dia. Ada jarak yang entah hanya perasaanku saja atau memang dia sengaja membatasinya. Aku pun tak ada keberanian lagi untuk membahas tentang kuliah setelah jawaban menohok dia berikan padaku malam itu.Terkadang, aku hanya bisa mengamati dari kejauhan ketika dia berdiri di depan cermin dengan tatapan tertuju pada perutnya yang terlihat masih datar