10. Sebatas rasaSepahit apapun kenyataan, kehidupan harus tetap berjalan dan tidak mungkin bisa terulang. Aku sadar, apa yang terjadi padaku dan dia tidak sepenuhnya kesalahan darinya. Namun, setiap aku teringat dampaknya begitu besar hingga aku terusir dari keluarga, membuat hatiku tak bisa terima dan terus menyalahkan dia yang justru terus menjagaku. Ya, terlepas dari hanya sebatas perasaan bersalah atau hanya sekedar tanggung jawab, nyatanya dia tidak pernah menyakiti atau berbuat kurang baik terhadapku. Sehingga penjelasan demi penjelasan dengan nada tinggi pada malam saat aku benar-benar telah patah oleh kenyataan, ditambah bentakan di pagi itu mampu membuka mataku lebar-lebar dan membuatku tahu harus berbuat apa.Sulit, tapi harus tetap dijalani dan tak mungkin lagi untuk lari. Aku sadar, belajar dari kesalahan jauh lebih baik dari pada hanya meratapinya. Bukankah tidak ada seseorang yang lebih beruntung dari pada dia yang mau belajar dari kesalahan dan berusaha untuk tidak m
POV LanaKeputusan yang paling benar terkadang memang sulit untuk dijalani. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan agar tidak menyakiti banyak pihak, ada ego yang harus ditekan, ada hati yang harus dikuatkan agar tidak ada penyesalan dikemudian hari ketika keputusan sudah diambil. Seperti diriku saat ini. Aku berpikir, lama. Hingga aku sampai pada satu keputusan. Gendis berhak untuk bahagia, Mama pun sama. Jika benar kata Mbak Aya, bahwa Papa akan menerimaku lagi setelah kami berpisah maka apa salahnya menuruti keinginan Gendis yang berarti adalah kebahagiaan juga baginya? Lalu yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana dengan nasib anakku selanjutnya? Apakah dengan mengambil keputusan ini maka aku memilih anakku yang dikorbankan pada akhirnya? Entah, yang pasti anakku akan tetap mendapatkan haknya sebagai anak. Tentang bagaimana caranya, nanti akan aku pikirkan lagi. Tugasku sekarang adalah menjadikan Gendis mandiri, sehingga saat waktu itu tiba hanya akan ada bahagia tanpa
"Abang? Abang udah pulang?" tanyanya mendekat ke arahku. Aku masih terperangah, bahkan pandangan ini tak mau beralih dari sosok di hadapan meski otakku terus memerintahkan untuk segera menunduk atau mengalihkan pandangan ke arah lain.Gendis, dalam bahasa Jawa artinya adalah gula dan gula itu rasanya manis. Sama seperti Gendis yang saat ini berdiri di hadapanku, wajahnya manis, tapi aku akui dia juga cantik bahkan malam ini semakin terlihat cantik karena wajahnya terlihat berseri, bersih, dan dipoles tipis, seolah dibuat senatural mungkin, tidak berlebihan namun sangat menawan."Abang!" ulangnya sedikit keras."Eh, iya, sudah.""Makanan sudah aku siapin, aku udah makan duluan tadi. Jadi, Abang bisa makan sendiri. Semua pekerjaan sudah selesai, aku ke kamar dulu," ujarnya melenggang menuju kamar melewatiku. Harum tubuhnya menyapa indera penciuman ketika dia melintas di depanku. Kombinasi aroma bunga dan buah berbaur menjadi satu memberi kesan lembut, segar, dan feminim."Ndis, Abang
"Ngomong apa, sih, Ndis.""Jawab aja, Bang. Abang percaya atau enggak?" Ia beralih menatapku dengan tatapan dalam dan kabut itu mulai menghiasi mata sendunya."Apa yang sebenarnya ingin kamu katakan?""Jawab dulu, Abang percaya apa enggak?"Aku menghela napas dalam."Kamu minum Gendis.""Hati Abang?" Ia menatapku semakin dalam.Aku menghela napas lagi, logika bekerja berdasarkan fakta dan logikaku mengatakan bahwa dia memang minum malam itu, tapi tidak dengan hatiku, dan sorot mata itu membuat hatiku seolah menentang logikaku.Hening, aku berpikir, lama."Percaya," lirihku pada akhirnya setelah perdebatan panjang di dalam sini."Apa Abang? Aku kurang denger.""Percaya, ah. Kamu mau ngomong apa, sih, Ndis?"Senyum pun tersungging di bibirnya yang semerah cery."Enggak papa yang lain nggak percaya, asal Abang percaya, itu sudah cukup untuk Gendis saat ini.""Hah?" ulangku, kucoba untuk mempertajam pendengaran, kalimat yang dia lontarkan barusan menyisakan tanda tanya besar di atas kep
Malam ini aku pulang sedikit larut. Dua Minggu sudah aku berjibaku dengan pekerjaan baru. Hari ini ada sedikit kendala yang harus dituntaskan dan cukup memakan waktu. Sebelumnya, aku sudah mengabari Gendis lewat pesan singkat, menyuruhnya untuk tidak menunggu.Rumah sudah terlihat lengang ketika aku pulang. Pintu kamar Gendis juga sudah tertutup rapat. Dia sudah tidur. Kuedarkan pandangan ke arah meja makan karena di sana tampak tudung saji dipasang menandakan bahwa ada sesuatu di dalamnya. Aku membukanya dan benar, sepiring sate ayam dan kuah soto ada di sana. Sejak perbincangan kami malam itu, aku merasa ada yang membatasi antara aku dan dia. Ada jarak yang entah hanya perasaanku saja atau memang dia sengaja membatasinya. Aku pun tak ada keberanian lagi untuk membahas tentang kuliah setelah jawaban menohok dia berikan padaku malam itu.Terkadang, aku hanya bisa mengamati dari kejauhan ketika dia berdiri di depan cermin dengan tatapan tertuju pada perutnya yang terlihat masih datar
"Kita USG dulu, ya." Dokter berucap seraya menyunggingkan senyum.Tepat pukul tujuh, petugas membawa Gendis ke sebuah ruangan. Aku mendampingi, masih dengan dada yang berdebar kencang. Ruangan itu bertuliskan ruang pemeriksaan dan seorang wanita berseragam putih dengan kaca mata sudah ada di dalam menunggu. Dokter Sonia namanya, beliau adalah pemilik klinik.Pemeriksaan lanjutan dilakukan setelah Dokter bertanya perihal keluhan sekaligus tanggal terakhir Gendis datang bulan. Kami menjawab sesuai yang kami tahu, apa adanya. "Mari," ulangnya berdiri di sebelah ranjang periksa karena Gendis hanya mematung, tak segera mengikuti perintah dokter."Ayo, Ndis," ulangku memegang bahunya agar dia yang terlihat melamun itu kembali sadar.Seketika, Gendis menatapku, sedikit berbeda, namun aku tak begitu mengerti arti tatapan Gendis. "Mari." Dokter kembali berseru. Kali ini Gendis mengikuti meski terlihat masih ragu."Bapak bisa duduk di samping istrinya, supaya bisa lihat juga," serunya padaku
"Bukan pelit, tapi ngirit. Lagian bisa aja kamu yang salah pakainya.""Ih, Abang." Gendis membuang muka jengkel. Di seberang meja, Dokter Sonia tampak menahan senyum melihat perdebatan kami. Membuat kami tersadar dan rasa maluku semakin membuncah."Saat stress kadang memang seperti itu, hormon menjadi tidak normal. Saya mengerti pasti kalian kecewa. Tapi, kalau kalian berkenan, bisa ikut program hamil, klinik kami punya berbagai macam program.""Enggak," kata kami bersamaan, lalu saling pandang. Sedangkan dokter Sonia mengernyit bingung."Maksudnya, kami kan baru aja nikah, kami mau menjalani sesuai prosesnya aja. Toh, istri saya dan saya juga masih sangat muda," ujarku sesantai mungkin agar dokter tidak curiga.Ia menganggukkan kepala."Sangat penting memeriksakan kehamilan. Jadi, saran saya, kalau ada tanda-tanda kehamilan lebih baik langsung periksa, ya, supaya tidak salah lagi.""Baik, Dok.""Jadi, kami boleh pulang, Dok?" tanya Gendis selanjutnya.Ia mengangguk lagi. "Boleh.""Al
"Enggak ada, Abang. Orang datang bulan emang kadang nyeri, kadang kram, itu wajar.""Wajar dan biasa tapi kok kamu sampe kayak gitu. Tahan kamu tiap bulan kayak gitu? Yakin?" cecarku."Ish, Abang. Cewek emang udah kodratnya kayak gitu. Mending sini Gendis ajarin belanja online, deh," ucapnya mengeluarkan ponsel dari saku piyama, mengarahkan padaku, kemudian mencondongkan sedikit badannya mendekat ke arahku. Sekilas aku terpana oleh lekuk wajah yang terlihat sempurna, bibir tipis semerah cerry, hidung bangir, kulit bersih, pun mata jernih itu membuat syarafku seakan tak berfungsi sebagaimana mestinya. Haruskah istri semuda dan secantik ini dilepas begitu saja? Ah, rupanya otakku mulai tak waras, memikirkan hal yang tidak-tidak. "Jadi, Abang kalau Abang mau belanja harus pinter, lihat ulasan, komentar pembeli-pembelinya kayak apa. Nih, contohnya.""Abang!" Tepukan cukup keras di pundak membuatku tersadar dan secepatnya aku mengalihkan pandangan lurus ke depan. "Apa, ah." "Ih, Abang
"Siapa wanita itu?"Seketika senyum itu memudar dari wajah pria tampan yang tengah duduk di sebelahku."Wanita yang mana?""Memang ada berapa banyak wanita lagi?" tanyaku menahan hawa panas seraya tersenyum lelah."Nggak ada.""Haruskah Gendis memperjelas maksudnya?""Ndis ....""Wanita yang kamu peluk mesra." Dengan terpaksa kupotong ucapannya.Ia terdiam, hatiku pun kembali terhujam, ketika aku mulai meraba arti dari kediamannya tersebut."Kalau nggak bisa kenapa dipertahankan?" lanjutku mengalihkan pandang ke arah hamparan rumput hijau yang menghiasi taman."Maksudnya?""Ya, kalau ada yang menunggu kenapa harus dipaksa untuk bertahan sama Gendis, Abang?" sindirku pada akhirnya. Aku tak mampu lagi menahan ribuan tanya dan amarah yang teronggok di dalam sini, yang sudah hampir meledak jika aku tak segera mengeluarkannya.Jika harus berakhir maka tak perlu menunggu dan membuang waktu sia-sia. "Ngomong apa? Lagian masak kamu nggak tau tadi siapa? Katanya fans berat?"Aku menatapnya
Umi selalu pandai membuat hatiku diliputi rasa hangat. Aku berjalan menuju ruangan. Kini, langkahku terasa lebih ringan. Aku tahu ini sedikit terlambat. Namun, terlambat jauh lebih baik dari pada tidak datang di jam pelajaran kali ini, yang tentu akan menimbulkan masalah baru yaitu kemarahan Bang Lana terhadapku.Begitu masuk ruangan, aku sempat diusir, namun ia meralat ucapannya setelah melihatku. Hatiku kembali gundah tatkala melihat wajah itu di hadapanku. Aku bahkan tak mampu menatapnya. Ya, meski sempat menghangat nyatanya tidak mudah ketika aku berhadapan kembali, ingatan akan wanita itu tak bisa lepas dari pikiran ini. Ia terus menatapku sedangkan aku masih enggan dan hanya menatapnya sekilas. Ah, ternyata tidak gampang menyembuhkan luka sendirian.Sebisa mungkin aku meresapi setiap materi yang kali ini disampaikannya dengan begitu pelan dan mudah dipahami. Raut wajahnya pun tak seperti biasa, kali ini ia terlihat lebih sabar sekaligus jauh dari kata mematikan. Aku berusaha
POV GendisMungkin aku terlalu berharap hingga aku sempat melambung dengan perlakuannya meski sebentar bahkan belum genap satu hari. Namun, pada akhirnya aku merasakan patah untuk kesekian kali, saat kulihat wanita berparas menawan dan sudah bisa dipastikan sempurna dari segi usia dan pekerjaan. Wanita yang tak jauh berbeda dari kesempurnaan yang dimiliki Mbak Hanin itu memandangku sebatas mahasiswa yang sedang menemui dosennya untuk urusan tugas. Dan yang membuat aku semakin patah adalah suamiku sendiri mengiyakan hal itu. Sakitnya begitu nyeri, bak batu besar menghimpit dada ini. Langkahku mengayun cepat menuju ruangan. Namun, air mata ini membuat dua mahasiswa wanita yang sudah ada di dalam kelas tersebut memandang aneh padaku. Merasa tak nyaman aku pun memutuskan untuk kembali keluar melalui gerbang belakang, tak mungkin kembali melewati gerbang depan karena sudah pasti mereka masih ada di sana.Ketika luka menyayat hati pikiran hanya tertuju pada pesantren dan kalimat Umi. "Kal
"Maaf, Pak. Kalau gitu saya akan ikut kelas lain." Suara yang menyapa indera pendengaran seketika membuat hati yang sebelumnya hampa berubah hangat.Aku menoleh cepat ke arah pintu. Rasa lega menyelimuti kala kulihat Gendis berdiri di depan sana seraya menundukkan kepala, lesu.Aku hanya bisa terpaku di tempatku seraya menelan saliva beberapa kali. "Tunggu, ini adalah kelas terakhir di Minggu ini. Kelas selanjutnya materi sudah tidak sama. Cari tempat kosong dan duduklah," ucapku pada akhirnya saat tangannya sudah memegang handle pintu hendak keluar.Dalam hati aku tersenyum lega, jika tidak sedang di depan sini mungkin aku sudah berlari memeluknya sebagai wujud rasa syukur. Rasa syukur? Aku menggeleng menyadarkan diri yang sudah mulai kurang ajar."Kenapa masih di sana, duduk," perintahku setelah melihatnya tak bergerak dari tempat semula.Ia mengangguk kemudian menuju bangku kosong yang lagi-lagi ada di paling belakang dan sudah dipenuhi mahasiswa lelaki."Kamu, Mas ...," ujarku s
Kantin, kelas, taman, hingga perpustakaan aku datangi, namun tak juga aku temui sosok Gendis di sana. Setelah Mbak Aya pergi, aku bergegas mencari Gendis di seluruh penjuru kampus. Ia masih setia mengabaikan panggilan sekaligus pesan yang aku kirim secara terus menerus. Namun, sekarang lebih parah lagi, ponsel Gendis justru mati.Tak ada pilihan lain. Setelah lelah mencari aku pun memutuskan menghubungi pesantren. Hanya beberapa detik panggilan tersambung lalu diangkat."Assalamualaikum." Suara wanita yang sudah pasti Umi Masfufah terdengar dari seberang sana."Waalaikumsalam, Umi. Ini saya, Lana.""Nak Lana? Ada apa pagi-pagi sudah telepon? Apa Gendis merepotkanmu?""Bukan, Umi, cuma ...." Ucapanku terhenti, apa yang akan aku katakan bahkan sama sekali belum terpikirkan."Tapi kenapa, Nak?""Tapi ... Gendis dari tadi pagi pengen ketemu Umi. Ini saya cari kok nggak ada, ya. Apa dia sudah ada di sana, menemui Umi?" tanyaku penuh kehati-hatian setelah berpikir cukup lama agar Umi tidak
"Apa kamu sudah berpisah dari wanita itu?""Sudah kubilang aku tidak akan pisah. Kenapa masih bertanya tentang itu?" Aku menghela napas. "Seharusnya aku yang perlu tanya sama Mbak. Kenapa mengarang cerita bahkan berani memakai nama Papa?!"Wajah yang sebelumnya terlihat penuh ketegasan kini berubah pasi."Mbak hanya berusaha menyelamatkan adik Mbak." Aku tersenyum sinis. Menyelamatkan dari mana jika nyatanya papa sendiri jelas-jelas tidak menyetujuinya. Beruntung, aku masih bisa mendapatkan Gendis kembali. Kalau tidak, bisa habis dikuliti olehnya kalau papa sampai mengetahui. Ya, meski Papa tidak menyetujui, tapi aku tahu nuraninya tidaklah mati dan yang namanya nurani tidak akan pernah bisa dibohongi. Papa memang berhati batu tapi bukan berarti nuraninya terhadap wanita membantu. Buktinya ia begitu mengasihi Mama dan Mbak Aya meski ia bukan anak kandung."Bisakah tidak membahas istriku dan aku. Biarkan kami hidup dengan tenang."Ia tampak tersenyum remeh. "Romantis sekali kamu menye
POV LanaAku membeku di tempatku. Kukira hari ini semua akan berjalan normal. Semua akan berjalan sebagaimana mestinya. Memulai hidup yang baru dengan gadis manis dengan tingkah yang selalu membuat aku tersenyum diam-diam. Namun, nyatanya lidahku tiba-tiba kelu, tatkala Mbak Aya berdiri di hadapanku, tersedu dalam dekapanku.Lidahku semakin kelu ketika kusadari saat ini aku tak sendiri, melainkan ada Gendis di sebelahku. Aku hanya bisa mematung dengan berbagai pikiran dan pertanyaan yang terus berjejalan masuk ke dalam otak : Dari mana Mbak Aya tahu keberadaanku? Lalu apa yang akan terjadi jika Gendis tahu siapa yang ada di hadapanku? Dia bahkan tak tahu siapa aku. Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi jika Mbak Aya sampai tahu bahwa yang berdiri di sampingku adalah istri yang ia anggap aku nikahi tanpa cinta. Dia bisa berbuat apa saja demi memisahkan kami dan itu tak bisa aku biarkan. Gendis baru saja kembali mana mungkin aku membiarkannya pergi lagi. Hati dan pikiran mulai beradu. I
Bersama-sama kami pun membalikkan badan ke arah suara yang terdengar berasal dari arah belakang tempat kami berdiri.Berjarak sekitar lima meter dari tempat kami berdiri saat ini, seorang wanita cantik bertubuh langsing tengah berdiri mengulas senyum ke arah kami. Bukan kami, tepatnya ke arah lelaki di sebelahku. Napasnya terengah seperti orang yang barus saja menyelesaikan pekerjaan berat. Berlari mungkin. Rambutnya panjang sebahu dan digerai bebas tapi masih terlihat rapi, hiasan rambut dengan design mutiara yang ia pakai di atas telinga membuatnya terlihat semakin elegan. Siapakah dia?Kaki dengan hak tinggi yang membuatnya semakin terlihat jenjang itu, kini melangkah ke arah kami, semakin lama semakin cepat. Lalu ... seperti kilat yang menyambar dengan cepat ia menyambar lelaki yang bergelar suami. Ia memeluk suami yang terlihat mematung ketika melihat wanita di hadapannya. Dia kah pemilik jam tangan itu? Kanaya?Pemandangan ini semakin menghujam hati tatkala pelukan wanita dengan
Taksi melaju cepat menuju kampus. Aku duduk berdampingan dengan Bang Lana di bangku belakang akan tetapi tak ada percakapan yang serius. Sejak tadi percakapan hanya seputar pelajaran yang akan aku ikuti. "Jangan banyak melamun kalau di dalam kelas. Jangan suka telat. Dengarkan kalau dosen memberi penjelasan, kalau sekiranya ada yang nggak ngerti jangan takut untuk bertanya. Malu bertanya sesat di jalan," ocehnya di sepanjang jalan menuju kampus, mungkin jika suasana hatiku sedang tidak baik-baik saja, aku akan stress bukan karena pelajaran melainkan karena mendengar ocehan yang terkesan klise.Setelah dirasa cukup memberi petuah-petuah yang berhasil membuat kepalaku sedikit berdenyut, ia pun memilih untuk menyalakan laptop, sedangkan aku memilih untuk menikmati roti sandwich yang entah karena perasaanku sedang bahagia atau rasanya memang lezat hingga lidahku seolah tak mau berhenti mengunyah."Enak?" tanyanya dengan pandangan yang terus fokus pada layar yang menunjukkan berbagai graf